Selasa, 24 November 2009

Reformasi Institusi Penegak Hukum Ala Presiden

Apa yang salah dengan negri ini hingga bisa terjadi kasus memalukan yang melibatkan tiga institusi bergengsi (Polri, Kejaksaan Agung dan KPK) serta bahkan presiden sekalipun?. Bagi banyak kalangan, jawaban atas pertanyaan ini bisa saja sangat beragam. Namun yang pasti, sedang terj$adi krisis kemanusiaan, keadilan dan kebenaran di tubuh institusi penegak hukum republik ini.

KIni pertentangan bukan lagi terjadi diantara kelas borjuis dan kelas pekerja seperti kata Marx, namun pertentangan juga sudah merambah antara elite politik yang seharusnya mengurusi rakyat Indonesia .

Bak pertunjukan drama ataupun adegan film-film Hollywood , kasus bank Century menggelinding seperti bola liar menyeret pengusaha, kepolisian, Makelar Kasus (Markus), Jaksa, pemberantas korupsi hingga presiden dan media untuk terjerumus ke dalamnya. Dan yang paling mencengangkan tentu saja keberanian polisi untuk memperkarakan dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit S. Riyanto dan Chandra Chamzah meskipun tidak ada cukup bukti.

Meskipun pada akhirnya presiden menginstruksikan kepada polisi untuk mengehentikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas rekomendasi Tim 8, citra polisi sebagai institusi penegak hukum yang tidak professional sudah terlanjur berkembang. Ditambah lagi dengan pemanggilan dua buah Koran nasional Seputar Indonesia dan Kompas oleh Mabes Polri.

Disaat masyarakat sedang geleng-geleng kepala menyaksikan ketidakmampuan polisi menyeret Anggodo yang sudah jelas-jelas memproklamirkan dirinya di berbagai media massa sebagai pelanggar hukum, masyarakat dikagetkan dengan kasus dipenjaranya seorang nenek tua yang mengambil tiga biji kakao untuk ditanam dirumah. Disini terlihat jelas bahwa kaum pengusaha sudah bisa “membeli” kepolisian untuk memudahkan mereka mengeruk keuntungan.

Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi presiden SBY untuk mereformasi lembaga penegak hukum di Indonesia . Sebelum Polri dan kejagung terlanjur jauh berubah dari lembaga penegak hukum menjadi lembaga “penjual hokum”, pemerintah terutama SBY harus segera meluruskan kedua lembaga penegak hukum ini.

Dukungan yang diberikan oleh masyarakat, harus segera dijawab dengan tegas. Reformasi institusi penegak hukum bukan hanya pencopotan jabatan orang per orang. Reformasi juga harus menyentuh aspek paling dasar dari institusi penegak hukum. Keberadaan Makelar kasus dan mafia peradilan yang membuat citra polisi menjadi buruk harus segera diberantas.

Sayangnya, presiden SBY tidak bisa mengambil momen perubahan itu dalam konfrensi pers untuk menanggapi rekomendasi tim 8 di Istana Merdeka kemarin. SBY bukannya menegaskan langkah reformasi institusi hokum malah semakin membuat bingung masyarakat.Statemen yang keluar pada peristiwa penting itu terlalu bertele-tele dan tidak tegas seperti menangani kasus biasa yang tidak penting.

Hal inilah yang akan semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap penindakan hukum di Indonesia. Seharusnya sebagai pemimpin tertinggi presiden harus mampu menjamin keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Tentu kita masih harus menunggu seberani apa SBY mampu mereformasi institusi penegakkan hukum di Indonesia.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Kesejahteraan Rakyat dan Utang Luar Negri

Sumber: www.teropongbisnis.com


SBY yang kini didampingi oleh Boediono telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari sebagian rakyat Indonesia untuk memimpin bangsa 5 tahun kedepan. Artinya SBY akan menikmati 10 tahun dari masa hidupnya untuk bercokol di istana sebagai pemimpin bangsa.

Selama masa kampanye yang mendebarkan kemarin, ketiga capres dan cawapres saling mencitrakan dirinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Mega-Pabowo dengan ekonomi kerakyatannya. JK-Wiranto dengan kemandirian ekonomi dan SBY-Boediono yang awalnya disebut-sebut sebagai neoliberalis ikut-ikutan latah mengaku akan mengutamakan kepentingan rakyat dengan slogan ekonomi jalan tengah.

Kini yang patut di soroti tentu saja kubu SBY-Boediono yang tak lama lagi akan dilantik menjagi presiden Indonesia ke-7. Pada masa kampanye SBY-Boediono mengikrarkan 15 janji politik jika ia terpilih sebagai presiden. Janji-janji tersebut mencakup isu-isu strategis seperti ekonomi, lingkungan, infrastuktur, pertahanan, korupsi, Hak Asasi Manusia dan otonomi daerah yang jika di sarikan akan mengarah pada dua kata: kesejahteraan rakyat.

Maka mulai dari sekarang SBY-Boediono harus segera memutar otak untuk memikirkan langkah-langkah demi terwujudnya janji-janji politiknya yang sudah terlanjur diikrarkan.

Sebagai langkah awal, ada baiknya SBY-Boediono menengok ke belakang untuk mengevaluasi apa yang sudah dilakukannya 5 tahun yang lalu semasa SBY masih berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Di bidang ekonomi, sebuah data dari Koalisi Anti Utang (KAU) membeberkan pada tahun 2004 utang Indonesia mencapai Rp 1275 triliun. Sedangkan pada tahun ini utang luar negri Indonesia sudah mencapai Rp 1704 triliun. Artinya selama menjabat sebagai presiden masa bakti 2004-2009 SBY telah berhasil meningkatkan utang pemerintah rata-rata 97 triliun per tahun. Sebuah prestasi yang tidak pantas dibanggakan tentu saja.

Sayangnya, beberapa waktu lalu menteri keuangan kita menjustifikasi kewajaran berhutang negri ini. Sri Mulyani menyatakan bahwa bertambahnya utang Indonesia bukanlah bencana karena rasio utang luar negri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menurun.

Hal ini tentu saja menjadi dilema. Sebab penambahan utang berarti penambahan beban rakyat Indonesia . Kini setiap jiwa penduduk Indonesia harus terbebani secara paksa sebanyak Rp 7 juta/ kepala. Selain itu, APBN Indonesia pun akan tersedot oleh pembayaran utang tiap tahunnya yang sangat besar.

Menurut kajian dari Komite Penghapusan Utang Negara Selatan (Committee for Abolition Third World Debt) utang jangka panjang pemerintah Indonesia mencapai 67 Milyar USD (2007). Jumlah ini menjadikan Indonesia termasuk penghutang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Masalah utang ini menjadi penting sebab, selain bunga utang yang sangat besar sehingga menyedot dana APBN dalam jumlah besar pula, utang akan membuat Indonesia kehilangan kewibawaanya. Sebagai Negara kreditur Indonesia akan mudah di dikte oleh lembaga-lembaga pemberi utang untuk menjalankan agenda neoliberal. Privatisasi, deregulasi dan liberalisasi.

Oleh karena itu tak heran jika satu persatu muncul Undang-Undang neoliberal di berbagai sektor. UU Migas No. 22/2001, UU Ketenagalistrikan No. 20/2002, UU Sumber Daya Air No. 7/2004 hingga UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU tersebut membuktikan bahwa Indonesia sudah seperti kerbau yang di cuk Indonesia akibat jeratan utang oleh agen-agen neoliberal untuk memuluskan agendanya.

Pertanyaanya kemudian adalah, bagian mana dari utang yang tidak dipahami sebagai bencana oleh pemerintah jika Undang-Undang saja sudah di intervensi demikian hebatnya?..

Di pandang dari logika manapun, mekanisme pemberian utang selalu tidak pernah murni “membantu”. Apalagi jika utang itu di berikan oleh lembaga-lembaga kapitalis seperti IMF, ADB, World Bank dan lain-lain yang jelas-jela mempunyai kepentingan di Indonesia. Selalu ada syarat-syarat tertentu yang sangat memberatkan bagi si penghutang. Dalam hal ini syarat-syarat yang disodorkan kepada pemerintah bersifat memaksa dan mencederai hak-hak rakyat yang sudah di jamin konstitusi.

Oleh karena itu, jika SBY-Boediono memang benar-benar ingin mensejahterakan rakyat Indonesia , pemerintah harus mau mengambil sikap tegas terhadap masalah utang ini. Sebab pada dasarnya tidak ada kesejahteraan rakyat tanpa penyetopan utang luar negri.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Menggalang Barisan Oposisi

Pemilu sudah berakhir. Meskipun berbagai pihak menuntut pengulangan pemilu, sudah hamper pasti kubu SBY-Boediono lah yang akan memegang tampuk kepemimpinan bangsa. Dengan mengantongi 60 % suara menurut LSI kemungkinan besar pemilu 2009 ini akan diadakan satu putaran.

Akan tetapi selama KPU belum mengeluarkan pengumuman resminya, semua pihak harus tetap bersabar. Profesionalitas harus dijunjung tinggi untuk menunjukkan etika politik bangsa yang baik.

Dalam catur perpolitikan sebuah negara demokratis seperti Indonesia ini, barisan kabinet yang akan disusun nantinya haruslah mencerminkan pluralitas bangsa. Sebagai eksekutif yang membawahi jutaan rakyat Indonesia kabinet yang dikepalai oleh presiden terpilih harus terbebas dari nepotisme.

Artinya, presiden terpilih harus mengesampingkan ego pribadi untuk menaikkan pamor keluarga maupun sahabat dekatnya. Apalagi jika ternyata masih ada orang lain yang lebih berkompeten dalam bidangnya.

Hal ini menjadi penting untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukanlah perusahaan pribadi sang presiden. Logika dasarnya adalah presiden bukan pemegang tampuk kekuasaan. Presiden hanyalah pengabdi rakyat Indonesia . Sebab rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada sang presiden terpilih.

Selain itu, negara demokratis yang baik harus tetap diisi oleh barisan oposisi. Barisan oposisi menjadi penting sebagai penyeimbang kebijakan-kebijakan pemerintah. Bisa dikatakan oposisi juga berperan pengontrol dan pemerhati segala perilaku pemerintahan beserta kabinetnya.

Di Indonesia ini peluang untuk menggalang barisan oposisi sangatlah besar. Persaingan politik terjadi amat tajam dalam Pemilu 2009. Mulai dari jargon politik hingga idiologi partai. Demokrat dan koalisinya sebagai kandidat terkuat pemenang pemilu 2009 sudah pasti akan menempatkan kader-kadernya di kabinet.

Barisan oposisi bisa diisi kelompok nasionalis dan islam yang kurang mendapat tempat di pemilu kali ini. Barisan oposisi seperi kelompok islam dan nasionalis tentu saja akan mengkritisi barisan koalisi. Proses ini akan menjadikan bangsa Indonesia semakin belajar berdomokrasi secara berkesinambungan.
Jika kita melihat hasil perolehan suara pasangan SBY-Boediono yang tinggi serta dukungan besar di parlemen dari koalisi partai pendukung dengan total kursi di parlemen sekitar 314 kursi. Partai-partai lain sangat berpeluang menjadi barisan oposisi.

Baik Golkar (Golongan Karya), PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) maupun Hanura (Hati Nurani Rakyat) bisa membuat koalisi demi terwujudnya barisan oposisi. Dengan demikian fungsi chek and balance akan berjalan dengan baik.

Jika kekuatan koalasi partai pendukung pemerintahan di legislatif terlalu kuat, proses demokrasi di Indonesia akan berjalan timpang. Oposisi bisa memberikan keseimbangan yang baik.

Akan tetapi perlu di perhatikan pula, oposisi ini bukan berarti hendak menggerogoti kewibawaan pemerintah. Pemerintahpun harus bersaing secara sehat dengan barisan oposisi ini.

Insiden politik di berbagai Negara yang terjadi di berbagai belahan dunia antara pemerintah dan oposisi tidak boleh terjadi. Oposisi yang terlalu menyimpang akan menimbulkan benih-benih separatisme. Sedangkan jika pemerintah sendiri terlalu menekan oposisi, pemerintah akan lebih terlihat seperti pemerintahan otoriter dan dictator.

Oleh karena itu sebagai Negara yang menjadikan demokrasi sebagai azas politiknya Indonesia harus bias menyeimbangkan susunan cabinet dan oposisi di tengah kemajemukan rakyat.

Jumat, 17 Juli 2009

Aku dan Dunia

Kita memang tak pernah berpikir tentang makna kehidupan. Jiwa yang penuh emosi dikekang sepenuhnya oleh kebebasan. Ya...manusia adalah makhluk yang bebas sesungguhnya. Namun, terkadang ia justru terkekang akan kebebasannya itu sendiri. Iblis yang bebas berekspresi adalah bukti ketidakmampuannya menyelami dunia yang fana.

Ah...hidup hanyalah sebuah kehampaan. Kehampaan yang harus terus diisi dengan semangat peradaban. Peradaban memang tak pernah lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari pemikiran yang radikal hingga berujung pada pergerakan yang progresif.

Kita memang wayang yang dinamis. Namun kita adalah wayang yang dapat bergerak tanpa bantuan sang dalang. Wayang kehidupan, itulah namanya. Nafsu yang membara selalu terjangkiti virus kemanusiaan. Ujungnya hanyalah dunia yang tak pernah diketahui oleh manusia manapun. Sebab, bumi kita saat ini adalah neraka. Tentu jika kita tidak bergerak.

Rabu, 15 Juli 2009

Mengevaluasi Kinerja KPU

PEMILU baru saja usai. Tahap demi tahap proses demokrasi di Indonesia sudah terlewati. Kini bangsa ini tinggal memetik hasil dari pemilihan yang digelar 8 Juli lalu.

Tak sampai satu bulan lagi Indonesia akan menjadi bangsa percontohan di mana pemilu dapat digelar dengan begitu meriah. Hal ini karena Indonesia merupakan bangsa majemuk dengan beragam suku, agama, dan aliran. Pada pemilu tahun ini, banyak pihak yang turut serta mengawal pesta lima tahunan.

Semua elemen masyarakat mulai dari LSM, paguyuban, organisasi kepemudaan, pers, partai politik hingga warga kampus memberikan kontribusinya yang cukup besar. Peranan segenap rakyat inilah yang membuat gelaran memilih pemimpin bangsa ini berjalan mulus. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu kali ini juga bukan tanpa cela.
Masalah timbul satu per satu seiring bergulirnya waktu. Tentu saja yang harus disoroti dalam hal ini adalah kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU sebagai penyelenggara resmi pemilu dinilai masih sangat kurang maksimal. Kinerja badan pemerintah yang satu ini banyak menimbulkan pertanyaan di masyarakat.

Apakah pemilihan anggota KPU hanya main tunjuk saja sehingga kurang profesional? Hal inilah yang mesti segera dipertanggungjawabkan. Salah satunya masalah daftar pemilih tetap (DPT). Masalah ini menjadi sangat penting karena DPT merupakan pintu gerbang bagi terpenuhinya hak politik rakyat Indonesia.

Di berbagai daerah terbukti banyak penduduk yang tercatat sebagai pemilih ganda. Atau yang lebih parah lagi banyak dari penduduk yang tidak terdaftar sebagi pemilih meskipun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan penduduk yang tidak terdaftar memilih dengan menunjukkan KTP. Pemangkasan hak politik masyarakat juga terjadi ketika hari H pelaksanaan pemilu.

Seperti tidak tersedianya tempat pemungutan suara (TPS) di sebagian ruang publik seperti lembaga pemasyarakatan dan rumah sakit. Orang-orang Indonesia yang kini berada di luar negeri pun kurang leluasa mencontreng karena tidak terfasilitasi dengan baik. Dalam hal ini KPU tidak belajar dari apa yang sudah terjadi pada pemilihan legislatif sebelumnya. Ketika pemilu legislatif, kekisruhan DPT juga menjadi masalah utama.

Namun nyatanya masalah ini terulang kembali pada pilpres. Koordinasi antara KPU pusat dengan daerah masih tergolong lemah. Selain DPT yang berujung pada pemangkasan hak politik, kekurangan KPU yang lain adalah kenetralan KPU masih diragukan. Terbukti dengan kasus munculnya spanduk yang menguntungkan salah satu capres dan cawapres.

Spanduk KPU yang terlihat memihak salah satu peserta capres ini pertama kali ditemukan di Lampung. Sebagai penyelenggara pemilu yang independen, kesalahan seperti ini tentu saja sangat mencoreng kinerja KPU. Tak hanya itu, ketegasan KPU dalam memberi sanksi bagi tim sukses yang melanggar aturan kampanye juga masih sangat kurang.

Black campaign yang terjadi belakangan seperti pencemaran nama baik dan diskriminasi ras dan suku kurang mendapat tanggapan dari KPU. Apalagi jika yang melakukan black campaign tersebut merupakan orang ternama. Yang berperan dalam masalah itu justru pers. Oleh karena itu, meski pesta demokrasi lima tahunan ini sudah memasuki tahap akhir, KPU harus memperbaiki diri dan bertanggung jawab atas kinerjanya kepada masyarakat luas.

Sebab jika tidak dilakukan, kepercayaan masyarakat terhadap KPU di masa mendatang akan semakin menipis. Di saat-saat akhir inilah KPU tidak boleh lagi melakukan kesalahan- kesalahan sekecil apa pun. Jangan sampai malah nanti masalah melebar karena ada dugaan kecurangan dalam penghitungan suara resmi. Semoga KPU dan masyarakat Indonesia bisa terus belajar agar pada pemilu selanjutnya kesalahan-kesalahan tersebut tidak lagi dilakukan.(*)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 13 Juli 2009

Kamis, 02 Juli 2009

Membedah Langkah Konkret Ekonomi Kerakyatan

Sumber: www.jurnalsumatra.com


TEMA kemandirian ekonomi menjadi polemik pada ajang pertarungan capres dan cawapres saat ini. Pasangan Megawati-Prabowo mengecap dirinya prorakyat, pasangan SBY-Boediono mengecap dirinya juga tak kalah prorakyat--dan dengan sengit menepis label neoliberalisme- JK-Wiranto juga berkali-kali berusaha menunjukkan pemihakannya kepada rakyat dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri.

Ekonomi kerakyatan sejatinya merupakan amanah konstitusi yang diwariskan oleh para founding fathers kita. Bisa dikatakan ekonomi kerakyatan --dan berbagai varian namanya— yang dikampanyekan ketiga pasangan hanya menyentuh kulit luarnya saja, belum sampai pada tataran konkret. Lantas, apa langkah konkret dari ekonomi kerakyatan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengacu pada UUD 1945.
Dalam Pasal 33 ayat 3 termaktub dengan jelas bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sepenggal kalimat sakti itulah mestinya ekonomi kerakyatan dibangun.

Seharusnya semua kekayaan alam yang tersebar di seluruh pelosok negeri mulai dari mineral, bahan tambang hingga hutan dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya kesejahteraan pejabat dan pengusaha saja. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah bangsa Indonesia sudah mengkhianati UUD-nya sendiri dengan menjual kekayaan nasional kepada investor asing.

Oleh karena itu, para capres dan cawapres yang menggembar-gemborkan ekonomi kerakyatan harus berani mencanangkan langkah menasionalisasi semua perusahaan asing yang saat ini bergelimang kekayaan di atas penderitaan rakyat. Selain itu, mereka juga harus menyetop utang luar negeri yang selama ini mencekik perekonomian bangsa.
Dalam bidang pertanian, ekonomi kerakyatan harus bisa mengadakan reformasi agraria dan kedaulatan pangan. Langkah-langkah ini memang tergolong ekstrem dan berbahaya bagi si pelaksana jika benar-benar diterapkan. Sebab jika seseorang sudah berani mengikrarkan ekonomi kerakyatan, berarti juga mengikrarkan pernyataan perang terhadap korporasi-korporasi MNC's (multi-national corporation) dan TNC's (trans-national corporation) serta lembaga-lembaga pemberi utang seperti World Bank, IMF, dan ADB.

Selama ini kekayaan alam yang dikelola asing lebih banyak dilarikan ke luar negeri. Sebagai produsen, Indonesia justru hanya mendapatkan sisa dan menjadi pangsa pasar. Lewat jeratan utang Indonesia "dipaksa" menandatangani sejumlah kesepakatan yang merugikan bangsa dalam pergaulan internasional.

Neoliberalisme dengan jargonnya deregulasi, privatisasi dan liberalisasi sangat mencolok. Meskipun saat ini semua orang emoh dicap neoliberalis, kenyataan berbicara sebaliknya. Hal itu terbukti dengan disahkannya UU Penanaman Modal No 25/2007. UU inilah yang kemudian melahirkan peraturan yang menyatakan para investor bisa memiliki hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun, hak guna bangunan (HGB) 80 tahun, dan hak pakai (HP) 70 tahun.

Maka mengacu semua permasalahan di atas, semua kandidat harus menjamin bahwa kekayaan Indonesia adalah untuk rakyatnya. Caranya bukan dengan mengelak dan berteriak dengan lantang "saya bukan neoliberal", tetapi dengan mengeluarkan undang-undang yang menjamin ketersediaan tanah, air, dan benih bagi petani kecil.
Harus ada juga gerakan konkret, bahkan pada saat mereka belum terpilih saat ini. Jika semua itu sudah dilaksanakan, barulah para pasangan capres dan cawapres itu boleh mengaku sebagai pengusung ekonomi kerakyatan.(*)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi 1 Juli 2009

Jumat, 24 April 2009

Negara Tanpa Presiden

Pemilu 2009 ini memang tergolong aneh. Selain banyak kekurangan-kekurangan yang terjadi sehingga banyak yang beranggapan pemilu kali ini sebagai pemilu terburuk yang pernah dilaksanakan, pemilu kali ini juga membuat bangsa ini sekarang seperti negara tanpa presiden.

Statement ini bukan tanpa alasan. Secara formal memang Indonesia masih di kepalai oleh seorang presiden dan wakilnya. Namun lihat saja ternyata presiden wakil presiden Indonesia saat ini sudah turun derajat menjadi “ bakal calon presiden” dan “ bakal calon wakil presiden”.

Sebenarnya kurang tepat juga memakai istilah “ bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden” bagi kepala negara yang saat ini masih secara resmi menjabat. Tapi entahlah, karena hal ini belum pernah terjadi mungkin para ahli politik belum menyepakati satu “istilah” untuk kepala negara yang masih resmi menjabat namun terlalu sibuk untuk mengurusi partainya dan tentu saja pencalonan kembali dirinya 5 tahun kedepan.

Di berbagai media photo-photo presiden dan wakil presiden kita selalu dibubuhi keterangan sebagai pejabat teras partai dan kegiatan partainya. Bukan sebagai presiden ataupun wapres. Artinya kegiatan presiden dan wapres Indonesia saat ini lebih banyak tercurah untuk partai-partai mereka.

Apalagi pada masa kampanye kemarin, presiden dan wakil presiden sibuk “menjual diri” pada masyarakat lewat pidato-pidatonya yang mengatasnamakan partai. Mereka seperti lupa pada 200 juta rakyat Indonesia yang saat ini masih menjadi tanggung jawab mereka. Inilah yang saat ini terjadi pada Indonesia saat ini. Negara tanpa presiden dan wakilnya.

Lalu di tangan siapakah tonggak kepemimpinan Indonesia saat ini dipegang? Tentu kita bertanya-tanya jika pejabat resminya saja saat ini sudah harus “mengabdi” pada partai bukan pada rakyat. Kegiatan presiden dan wakil presiden saat ini hanya berkutat masalah koalisi, rapat partai dan tentu saja strategi pencalonan diri pada pilpres mendatang.

Memang banyak yang menganggap hal ini sah-sah saja. Namun menjadi tidak sah jika harus sampai mengorbankan kepentingan rakyat. Padahal kampanye yang baik adalah kampanye yang selalu memperhatikan rakyat. Jika masih menjabat presiden saja sudah sibuk ingin mencalonkan diri sebagai presiden dengan menjadi “budak” kepentingan partai bagaimana mau dipilih rakyat?

Kamis, 09 April 2009

Catatan Akhir Pekan: Pendakian Ceremai



Kami terlambat satu jam dari yang direncanakan ketika tiba di stasiun Senen. Kereta Matarmaja yang akan membawa kami ke Cirebon sudah berangkat pukul dua tadi. Untung saja masih ada kereta Tegal Arum jurusan Jakarta-Tegal. Akan tetapi si Tegal Arum ini sudah kehabisan tempat duduk. Maka aku memilih menjadi penumpang gelap. Agar tidak terlalu merasa rugi jika harus berdiri 4 jam sampai Cirebon.

Perlahan kereta mulai bergerak ke timur. Lepas dari Jatinegara, langit mulai memuntahkan airnya dengan begitu deras. Aku yang berada tepat di pintu gerbong tak urung terkena cipratan air. Apalagi pintu kereta yang tak layak pakai lagi. Ya sudahlah... Lantai gerbong mulai digenangi air beberapa senti. Jika kalian mau tahu, itulah kereta rakyat. Tapi ketika pak Kondektur memeriksa karcis aku tinggal menyodorkan uang 5000-an. Tongzir, kawanku, memberi uang Rp 10000. Padahal jika lewat jalur resmi kami harus membayar Rp 13000. Sekali lagi itulah kereta rakyat.
Tepat pukul 7, kami mendarat di stasiun Cirebon Prujakan. Ini kedua kalinya aku singgah di kota ini. Namun untuk mencapai alun-alun kota, cukup bingung juga aku. Sebab ketika itu aku turun di stasiun Cirebon kejaksan.

Malam sabtu di Cirebon ternyata cukup ramai. Sepanjang jalan Kartini kaum muda-mudi memenuhi warung-warung lesehan yang banyak tersebar di trotoar. Ketika melewati sebuah alfamart kulihat sekolompok remaja tanggung sedang menggilir bir bintang dengan raut muka setengah teler. Beberapa botol bekas berserakan disekitarnya. Hmmm…cukup bebas juga ternyata Cirebon ini.

Kami sendiri setelah bolak-balik menyusuri jalan Kartini, memesan seporsi nasi bakar isi jamur, tuna dan lalapan. Nikmat sekali. Sayang...untuk orang kelaparan sepertiku ini seporsi rasanya masih sangat kurang.

Ah ya…mungkin kalian bertanya mengapa aku dan Tongzir harus pergi ke Cirebon. Baiklah akan ku beritahu. Kami akan mendaki gunung Ceremai kawan. Hanya berdua?? Ya hanya berdua. Biar lebih romantis. Hehe…

Ketika kami sedang bingung akan tidur dimana malam ini, tiba-tiba seorang remaja menegur kami. Setelah tahu kami hendak mendaki, ia pun mengajak kami singgah di Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) Gunati. Mapalanya Unswagati (Universitas Sunan Gunung Jati).

Kawan-kawan baru Mapala Gunati menyambut kami layaknya tamu. Benar-benar ramah dan menyenangkan. Karena bersikap terbuka, kami jadi cepat akrab. Bahkan ketika tahu kami belum pernah mendaki gunung Ceremai sebelumnya, mereka menawarkan diri untuk jadi pemandu. Ah…sesama pendaki memang saudara.

Akhirnya sore itu pukul 3, aku, Tongzir, Afor, Ringgo, Mj (baca; emji) dan Busik sebagi leader memulai pendakian dari jalur Linggarjati. Namun kami tidak melewati jalur Cibunar sebagai pos resminya. Biasa, nyari gratisan. Kami memilih jalur Linggasana yang dulunya merupakan jalur resmi. Karena jarang dipakai, jalur Linggasana ini benar-benar menantang. Treknya tertutup ilalang sepinggang. Sumber air pun hanya ada di pos pertama saja. Jalur Linggasana ini nantinya berakhir di Condang Amis. Pos ketiga jika lewat jalur resmi Cibunar.

Gunung Ceremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat ini sebenarnya mempunyai 3 jalur pendakian. Jalur Apuy di Majalengka, Palutungan, dan Linggarjati di Cirebon. Akan tetapi Jalur Linggarjati-lah yang katanya paling menantang. Bahkan untuk ukuran nasional Jalur Ceremai Linggarjati ini termasuk yang paling menguras mental dan tenaga. Tak heran ada istilah, belum naik Ceremai jika belum lewat Linggarjati.

Dan memang itulah yang kutemukan disini. Tak ada perkenalan sama sekali dari awal. Jalurnya mempunyai kemiringan 45-600. Maka kami harus berpegangan akar pepohonan yang menggelantung sepanjang pendakian. Benar-benar menyiksa. Ketika tiba pos 4 yaitu Kuburan Kuda, jam sudah menunjukkan pukul 18.11. Dan uniknya, di Kuburan Kuda ini kami masih sempat mendengar adzan maghrib lho.

Dan inilah trek terparah. Dari Kuburan Kuda sampai Pangalap yang merupakan pos 5. Tanjakannya benar-benar membuat nyali menciut. Untung saja pendakian kami di malam hari. Di Pangalap lagi-lagi kami mendengar adzan isya. Sayang hanya mendengar saja.
Pendakian di malam hari memang mengasyikkan. Selain kita tidak perlu melihat treknya yang dipastikan bisa bikin senewen itu, pemandangan kota Cirebon di malam hari terlihat sangat eksotis. Dari ketinggian Cirebon dan Kuningan nampak seperti miniatur yang dipasangi lampu-lampu. Selain itu, pendakian malam juga lebih mengirit air. Untuk gunung dengan jalur pendakian ekstrim tapi miskin air seperti Ceremai ini, pendakian malam tentu sangat bermanfaat.

Namun, pendakian malam bukan tanpa resiko. Penguasaan medan yang mumpuni menjadi syarat mutlak terutama bagi leader. Udara pun akan menjadi sangat dingin. Maka peralatan-peralatan seperti senter dan jaket tentu sangat krusial.

Apalagi ketika sampai di pos 6 (Tanjakan Binbin) hujan mulai turun. Meskipun hanya gerimis, namun hal itu semakin membuat lambung kami berteriak minta diisi, tubuh kami bergetar kedinginan dan mental kami yang merosot. Maka ketika sampai di pos 7 (Bapa Tere) kami memutuskan untuk membuat mie rebus. Saat sedang asyik memasak, hujan semakin deras. Tadinya kami memutuskan untuk nge-camp disini dulu. Namun akhirnya kami memutuskan untuk menyantap dinner kami diiringi air hujan. Kopi yang tadinya tinggal setengah gelas kini jadi penuh lagi. Hmmm…benar-benar selera petualang!

Di Bapa Tere ini kawan-kawanku mulai mengenakan jaket. Hanya aku dan Ringgo yang masih bertahan dengan style awal kami. Celana pendek dan kaus. Aku bukannya tidak kedinginan, namun aku ingin mengadaptasikan tubuhku dulu. Lagipula jaketku ada di dasar keril. Males ngambilnya.

Sebelum mencapai pos 8 (Batulingga), kami bertemu dangan pendaki lainnya yang sedang nge-camp. Kami mampir sebentar untuk bertukar cerita dan ngopi-ngopi. Begitulah sesama pendaki. Saling toleransi. Setelah Batulingga, kami tiba di pos 9 (Sangga Buana I). Sekali lagi treknya benar-benar menyesakkan. Dari Sangga Buana I ke Sangga Buana II, trek didominasi oleh bebatuan. Tentu saja masih dengan kemiringan yang dahsyat.

Ketika sampai di Sangga Buana II, kami berhasil mendapatkan air. Karena hanya berbentuk cekungan yang airnya bersumber dari rembesan, tak banyak pendaki yang tahu sumber air ini. Lagipula sumber air ini tidak selalu ada.

Setelah itu, trek masih didominasi oleh bebatuan besar dan kerikil. Keseimbangan tubuh benar-benar berperan disini. Karena kalau tidak, salah-salah kita akan terpeleset. Sekitar pukul 3, kami tiba di pos terakhir sebelum puncak. Pengasinan. Disini kami langsung memasak dan mendirikan tenda. Tadinya kami berniat mengambil momen sunrise di puncak. Namun karena kelelahan kami memutuskan menikmati sunrise disini saja.

Ketika yang lain langsung meringkuk di tenda, aku memilih mengeluarkan sleeping bag dan berbaring di luar. Aku ingin menikmati langit, angin tanah dan juga kabut sambil pacaran lewat telepon. Oh ya… di Pos 11 ini memang ada sinyal. Meskipun putus-putus.
Maka ketika pagi datang akulah yang pertama kali melihat keindahan itu. Tepat di hadapanku terhampar panorama Kota Cirebon dan Kuningan yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Semuanya terlihat. Lautnya, pantainya dan bahkan situ patok pun terlihat jelas.

Ketika menengok ke kanan, gunung Slamet menjulang dengan begitu megahnya. Di belakangnya terlihat gunung Sindoro dan gunung Sumbing yang masih dibalut warna oranye. Dan ketika menengok ke kiri, Gunung Palimanan seperti malu-malu bersembunyi di balik kabut.

Akhirnya pukul 7 kami memulai start ke puncak. Sepanjang perjalanan edelweiss banyak mendominasi meskipun belum berbunga. Sejam mendaki akhirnya aku bisa berdiri di titik tertinggi di jawa barat! Kawah Ceremai yang cukup besar terlihat tidak beraktivitas. Inilah klimaks dari perjuanganku.

Di puncak kami makan besar. Sayur, telur, kerupuk, tehu, tempe, ikan asin dan sambel menjadi menu kami pagi itu. Meskipun rasanya aneh karena dimasak asal-asalan, kami benar-benar menikmati. Dahsyat kawan.

Pukul 11 kami turun dari puncak. Kukira akan lebih mudah, ternyata tidak. Hujan deras mengguyur dari Pangalap sampai Condang Amis. Hampir 3 jam kami berjalan ditemani hujan. Entah sudah berapa kali aku terpeleset. Dan sialnya persediaan air kami sudah habis. Aku sendiri sudah benar-benar dehidrasi. Terpaksa aku menjilati setiap dedaunan yang basah oleh air hujan. Untung saja di condang amis aku berhasil meneguk air hujan yang ditampung dengan botol yang kotor sekali. Air hujan rasa tanah, kawan. Kalian berminat??

Ketika turun kami tidak lagi lewat linggasana. Kami memilih lewat jalur resmi agar kami tahu jalur Leuweung Datar dan Cibunar. Namun ketika sampai pos pendaftaran, seorang penjaga menanyakan karcis kami. Dengan terpaksa kami berbohong dengan mengatakan bahwa kami lewat jalur Palutungan dan tidak mendapatkan tiket. Sialnya penjaga itu malah menyuruh kami membayar tiket. Jadilah kami naik gunung seperti naik angkot. Naik dulu baru bayar.

Itulah sepenggal ceritaku minggu ini. Berpetualang bersama kawan-kawan mapala Gunati yang sangat mengerti arti persahabatan. Esoknya kami harus bertolak ke Jakarta. Dan lagi-lagi aku memilih kabur ketika pak kondektur datang. Maka bolak-balik Cirebon Jakarta aku hanya membayar Rp 5000 saja.




bersantai sejenak di puncak

Kamis, 19 Maret 2009

Catatan Akhir Pekan: Rumah Dunia



Apakah kalian tahu jiwa sang pengelana?
Mengejar bayangannya hingga ke tempat tanpa nama
Menari di antara kegelisahan di jalan tak berujung


Aku tak tahu apakah ini pantas disebut sebagai sebuah kegilaan. Itu kalian sendiri yang menilai. Bagiku ini hanyalah obsesi kecil dari jiwaku yang gelisah dan selalu haus akan sesuatu yang baru. Ide itu telahir begitu saja. Tak tahu kapan ia muncul di otakku. Yang jelas aku hanya ingin pergi ke Rumah Dunia di Serang dengan bersepeda. Awalnya banyak yang tidak percaya dengan rencanaku ini. Namun aku tetap konsisten dengan apa yang kuinginkan. Sebab itulah eksistensi bung.

Hari itu Sabtu 14 Maret 2009 aku mengayuh sepeda butut milik seorang temanku dengan semangat membara. Dari rumahku di daerah Ciledug aku menembus belantara kota Tangerang sejak pukul 06.00 pagi. Selain menghindari terik matahari yang membakar aku juga ingin menikmati denyut kotaku bersama golongan manusia lainnya. Pedagang, orang kantoran, sopir angkutan dan tentu saja “pekerja sosial’ di perempatan.
Sampai Kb. Nanas, perjalananku masih aman dan nyaman. Rasa optimis pun masih menguasai jiwaku. Maklum baru kukayuh sepedaku sekitar setengah jam.

Sampai di Jatake, semangatku mulai merosot. Penyebabnya adalah aku hampir saja disenggol truk senewen yang sopirnya seperti sudah menahan buang air sehari semalam dan ingin segera mencari toilet. Kuhela nafas dengan begitu berat. Kejadian seperti ini kuyakin bakal terjadi lagi nanti. Mengingat sepanjang Jl. Raya Serang yang akan kulalui banyak sopir-sopir truk dan bus yang merasa dirinya sebagai Michel Schumacher saja. Debu dan sopir-sopir sialan itu hampir mengubur semangat petualanganku.

Di Sebuah pom bensin di Cikupa, aku benar-benar hampir putus asa. Sudah hampir dua jam bersepeda tapi bahkan belum sampai setengah perjalanan. Ingin rasanya aku mengurungkan niatku ini. Namun, tiba-tiba bayangan wajahnya berkelebat begitu saja. Gadisku. Ia memang menjadi motivatorku. Mengingat wajah teduhnya hatiku kembali bergelora. Semangat yang berserakan itu kembali kupunguti dan kurangkai menjadi tekad membaja. Aku sudah memulainya, maka pantang bagiku untuk mengakhirinya dengan tidak terhormat. Itulah jiwa lelaki.

Setelah itu aku memang seperti diatas angin. Entah mengapa aku merasa setiap orang tersenyum dan memberi semangat padaku. Jika kalian mau tahu, itulah kekuatan cinta, kawan. Setiap ada turunan yang membuat sepedaku melaju dengan sendirinya, kulepas topiku agar angin membelai rambutku dan dengan pede-nya kuteriakan kata sayang dan cinta untuknya. Ah...norak sekali. Tapi begitulah, baru teringat wajahnya saja aku sudah berani berteriak melawan bisingnya kendaraan apalagi jika bertemu dengannya?

Di Balaraja aku kembali beristirahat. Sejauh ini perjalananku lancar-lancar saja. Semakin dekat, bisikku dalam hati. Akhirnya tepat pukul 11 siang aku berhasil mendarat di bumi Daar El- Qolam. Ah...betapa rindunya aku dengan almamaterku ini. Wajahnya memang sudah banyak berubah, namun ruhnya tetap kurasakan seperti dulu. Begitu religius ketika waktu sholat dan sangat duniawi selepas itu. Kalian tentu paham maksudku.

Keesokan harinya aku segera bergegas. Waktu semalam bagiku rasanya sudah cukup untuk melepas rinduku pada pondok ini. Jam 6 pagi aku mulai bergerak ke barat. Ke kota Serang tepatnya. Dalam perjalanan ke-2 ini lagi-lagi musuhku adalah truk-truk dan bus-bus besar. Sebagai pengguna sepeda tentu saja aku sadar diri dengan mengambil jalan sepinggir mungkin. Namun truk-truk brengsek itu masih saja mengklaksonku tanpa perasaan. Ah...begitu sensitifnya mereka dengan sepeda.

Tak terasa akhirnya aku tiba di Pasar Ciruas. Dengan sigap kuparkir sepedaku dengan sedikit pesan kepada seorang penjual mie ayam. “Nitip bentar ya, mas!” Tujuanku memang ingin mencari sebuah toko emas di pasar itu. Bukan untuk membeli perhiasan untuk si dia tentu saja, tetapi aku ingin bertemu dengan Ferdi. Salah seorang kawanku yang kudengar bekerja di salah satu toko emas di pasar ini.

Tanpa kesulitan aku berhasil menemuinya. Dari raut wajahnya aku tahu kalau ia agak kaget juga. Apalagi melihat wajahku yang kotor dan tampak kelelahan “Makin jelek aja lo!” ujarnya. Sekitar setengah jam aku bernostalgia dengannya. Ketika mengambil sepedaku kembali, penjual mie ayam itu menyindirku sambil tertawa. “Katanya bentar doang!” Dan aku hanya tersenyum.

Perjalanan selanjutnya begitu menyenangkan. Dengan bertanya sana-sini, akhirnya sekarang aku telah berdiri di gerbang Rumah Dunia. Inilah ujung pengembaraanku minggu ini. Tinggal berpikir bagaimana kembali ke rumah saja. Di depan gerbangnya yang seperti gapura dan terlihat sederhana, aku justru termenung. Bertemu dengan sesuatu yang sudah bertahun-tahun kita inginkan rasanya aneh sekali. Hampir 10 menit aku terdiam dan tak berani melangkah masuk.

Sampai akhirnya ada seorang relawan setempat yang mempersilahkanku masuk. Melewati gapura aku terus menerus memasang senyum semanis mungkin walau kenyataannya mungkin tak telihat menyenangkan. Para relawan itu langsung menyambutku. Bertanya ini itu dan sedikit tak percaya dengan cerita perjalananku. Setelah memperhatikan kondisi tubuhku yang serba berantakan barulah mereka percaya.

Relawan Rumah Dunia sebenarnya ada banyak sekali. Namun hanya tujuh orang yang kesehariannya selalu berada di RD dan sebagian besar dari mereka masih SMA. RD adalah bentuk bakti Gola Gong dan Tias Tatanka kepada masyarakat. Konsepnya sederhana saja. RD tak jauh beda dengan sanggar kebudayaan. Di dalamnya ada pangung dan perpustakaan. Yang membedakannya, RD tidak memungut biaya apapun pada setiap acaranya. Mulai dari pementasan teater, musikalisasi puisi, kelas menulis ataupun acara lainnya.

Relawannya yang ramah membuatku cepat akrab dengan mereka. Apalagi ketika sore harinya ada kelas menulis yang dibimbing langsung oleh mas Gong. Asal tahu saja, Gola Gong adalah guruku secara tidak langsung yang telah mengajariku lewat karya-karyanya. Maka bertemu dengannya secara langsung adalah pengalaman yang sangat kunantikan sejak dulu.

Setelah mendapat izin menginap dari relawan RD, aku diajak keliling kota Serang malam harinya oleh Rozi, salah satu relawan RD. Alun-alun Serang malam hari tak jauh beda dengan kota-kota lain yang pernah kukunjungi. Ramai dan remang-remang. Kami hanya menyantap Rabeg (makanan khas Serang) malam itu di kawasan Royal.

Esoknya, lagi-lagi aku memulai perjalanan pukul 6 pagi. Hanya Oki saja relawan RD yang sudah bangun di pagi itu. Dengan sangat terpaksa aku meninggalkan RD dan kawan-kawan baruku tanpa pamit. Ah.. biarlah lain kali aku memang berjanji untuk kembali ke sini dengan si dia.

Wajah Serang Timur pagi hari tak ubahnya seperti kota lain. Truk dan bus sudah berkeliaran menguasai jalanan. Di depan SMA 1 Ciruas aku berhenti. Kudengar seorang kawanku yang bernama Halili tak jauh rumahnya dari sekolah ini. Selain ingin sekedar say hello, jujur saja aku ingin numpang makan. Tak sulit ternyata mencari rumahnya. Dan ketika melihat seorang pemuda yang dibanjiri keringat di atas sadel sepeda di depan rumahnya, ia tampak kaget. Tamu macam apa yang bertandang sepagi ini dengan naik sepeda? Begitu pasti pikirnya.

Tak lama setelah numpang sarapan, aku bergegas melanjutkan perjalanan ke timur. Di daerah Kragilan, sebuah truk kontainer menyentuhku dengan lembut. Sepedaku oleng dan tepat menuju ke arah selokan. Untung saja sepersekian detik sebelumnya aku berhasil melompat dari sepedaku. Maka hanya sepedaku lah yang menabrak sebuah pohon tak bersalah. Tentu saja aku mengumpat truk sialan itu dengan sedikit emosi. Tapi sepertinya truk itu bahkan tidak melihat seorangpun yang naik sepeda di depannya tadi. Kurang ajar betul.!

Tiga setengah jam sudah aku bersepeda. Kutuntun sepedaku di jalanan perumahan Tigaraksa yang gersang dan berbatu. Tak sanggup lagi aku mengayuhnya. Ini bukan masalah semangat kawan, ini murni masalah tenaga. Ya...tenagaku rasanya sudah sangat terkuras. Maka disinilah aku sekarang, memutuskan untuk naik kereta dari stasiun Tigaraksa sampai Serpong. Setelah menimbang-nimbang, rasanya aku bisa mati lemas jika kupaksakan mengayuh sepeda menyusuri Jl. Raya Serang yang panas dan dipenuhi truk-truk gila itu selama 7 jam. Jika naik kereta setidaknya aku hanya perlu bersepeda 4 jam setengah+ 1 jam naik kereta.

Itulah sepenggal perubahan kecilku minggu ini kawan. Mencari hal-hal baru demi memuaskan dahagaku akan petulangan. Dari ekspedisiku itulah aku banyak belajar tentang kehidupan. Membuka wawasanku bahwa ternyata di daerah Cisoka masih dengan mudah kita temukan sapi, kerbau ataupun kambing yang berkeliaran bebas di sawah, kebun ataupun halaman rumah. Bahkan terkadang kendaraan harus mengalah untuk memberikan kesempatan pada sekelompok kambing egois yang ingin menyeberang. Sungguh aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa masih ada daerah Tangerang yang seperti itu.
Maka inilah laboratorium kehidupan itu. Mendengarkan sepenggal kisah menarik dari seorang gadis cilik yang sudah naik turun kereta sejak usia belia demi mengumpulkan rupiah dari nasi bungkus yang dijualnya. Ah...lagi lagi aku hanya mampu tersenyum pahit.

Thanks to mojang Bandung yang selalu setia mendukung semua rencana gilaku. Jangan bosen2 nemenin bocah badung ini ya.

Kamis, 26 Februari 2009

Kepunahan Intelektual Anak Negeri

Sumber: www.agatestudio.com

Anak adalah aset bangsa, agama, dan tentu saja setiap orang tua. Sebab di tangan anak-anaklah terpantul masa depan umat manusia. Maka barang siapa yang mewariskan ilmu dan pengalamannya kepada sang anak, ialah pahlawan kehidupan. Sebaliknya yang bermain-main dalam mendidik buah hatinya sesungguhnya ia tengah berdiri bibir jurang.

Anak dan pendidikan adalah dua buah kata yang tidak bisa dipisahkan. Saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Saling menjaga. Semakin lebar jengkal tanah ilmu yang dilahap oleh seorang anak maka peluangnya untuk menjadi sampah masyarakat akan semakin menipis. Oleh karena itu,pendidikan seyogyanya menjadi menu utama. Tak hanya pendidikan formal yang dikomandoi oleh seorang guru namun juga pendidikan nonformal lewat tangan lembut ayah dan ibunda.

Namun yang terjadi di negeri ini berbalik 180 derajat dari apa yang dikumandangkan oleh para ahli anak diseluruh penjuru dunia. Anak dan pendidikan terpisah begitu jauh seakan tak ada celah untuk bersua. Yang marak menghiasi media-media massa adalah kasus kekerasan terhadap anak, trafficking, mahalnya biaya pendidikan, pekerja dibawah umur hingga gedung sekolah yang semakin menyalahi aturan dasar arsitektur karena dimakan usia. Tak jarang kita menyaksikan anak-anak bermental baja yang harus rela menempati kelas-kelas darurat demi menaklukkan rimba pengetahuan yang begitu kompeks.

Hati siapa yang tak akan menangis menyaksikan bocah-bocah belia mengais rupiah demi rupiah di jalan-jalan ibukoa.Bukankah saat itu adalah waktu mereka bermain dan merasakan hangatnya pelukan sang ibu? Ke manakah para punggawa negeri ini ketika keterbatasan ekonomi menjadi alasan untuk bercerai dari gemerlapnya dunia pendidikan? Memang banyak yang peduli, namun lebih banyak lagi yang menutup mata dan telinga menyaksikan elegi di tanah subur ini.

Padahal bangsa ini butuh regenerasi. Kaum tua sudah saatnya duduk menikmati hasil perjuangannya sambil memberi arahan bagi penerusnya. Namun apalah daya prospek anak-anak Indonesia begitu muram. Kemanakah ibu pertiwi akan dibawa ke depan?

Inilah tugas kita sebagai manusia. Mempersiapkan bibit-bibit unggul di masa depan bukan hanya tugas orang tua dan guru, namun juga setiap jiwa yang masih mempunyai nurani. Masa kita sekarang akan sangat berbeda dengan masa yang akan dihadapi oleh generasi penerus kita. Seleksi alam akan semakin menerjang. Realita sejarah membuktikan generasi yang tumpul hanya akan menumbuhkan komunitas yang tertindas.

Inilah waktu yang tepat untuk bergerak. Membeberkan fakta hanya akan menambah duka dan derita. Bukan lagi menjadi rahasia tentang kelas yang roboh ataupun janji pejabat tentang sekolah gratis. Memang terlaksana di kota-kota besar tentang digulirkanya sekolah gratis. Namun semua itu hanya sebatas wacana di daerah-daerah terpencil. Bukankah Indonesia terdiri dari belasan ribu pulau? Bukan hanya Jakarta dan sekitarnya.

Tak perlu lagi ada perdebatan tentang apa yang harus dilakukan. Entah program subsidi silang ataupun dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Langkah apapun harus segera diambil. Sebab,anak-anak Indonesia tak lagi sanggup menunggu kepunahan intelektual yang mengintainya.