Sabtu, 29 Januari 2011

Bagaimana Setelah Cancun?..


Sumber: www.foxnews.com


Dewasa ini, isu perubahan iklim telah menjadi isu yang sangat krusial tak hanya di dalam negri tapi juga dunia internasional. Hal ini tak dapat dipungkiri karena jutaan manusia di seluruh dunia merasakan secara langsung efek dari perubahan iklim tersebut. Baru-baru ini Eropa dan Amerika dilanda badai salju parah hingga melumpuhkan perekonomian. Belum lagi wilayah Asia dan Oceania yang menjadi langganan banjir.

Pada dasarnya, hampir semua orang tahu bahwa perubahan iklim secara abnormal ini di akibatkan oleh pemanasan global (global warming) akibat efek Gas Rumah Kaca (GRK). Konsentrasi GRK yang tinggi di atmosfir mengakibatkan panas matahari terperangkap sehingga mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Global warming inilah yang menyebabkan kacaunya iklim di bumi.

Semakin tingginya emisi GRK, merupakan konsekuensi logis dari model pembangungan yang selama ini dilakukan. Terhitung semenjak revolusi industri negara-negara maju di berbagai belahan dunia telah mengotori bumi dengan kemajuan teknologi. Penggunaan batu bara dan minyak bumi untuk kendaraan dan listrik, serta deforestasi yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian warga dunia membuat konsentrasi GRK meningkat.

Paradigma yang berkembang bahwa pembangunan ekuivalen dengan perusakan lingkungan inilah, yang membuat berbagai pihak seperti meremehkan efek perubahan iklim. Negara-negara berkembang enggan menurunkan emisinya yang berarti menurunkan laju pembangunan karena mereka masih miskin. Sementara negara-negara maju yang tergabung dalam annex 1 masih belum mau menurunkan emisinya secara tajam.

Dalam konteks kerangka kerja PBB atas konvensi perubahan iklim (UNFCCC), pihak annex 1 sebagai penyebab krisis iklim seharusnya wajib menurunkan emisinya lebih dulu barulah nanti diikuti negara berkembang. Hal ini di perlukan untuk menjamin prinsip keadilan iklim.

Satu-satunya perjanjian mengikat terkait perubahan iklim dalam skala internasional dalah protokol Kyoto. Protokol yang dirundingkan di Jepang pada tahun 1997 ini, memuat kewajiban-kewajiban negara-negara maju untuk menurunkan emisi GRK mereka. Sayangnya, tahapan pertama dari protokol Kyoto akan berakhir tahun 2012 dan sampai saat ini belum ada kesepakatan mengikat (legally binding) untuk meneruskan protokol Kyoto tahapan ke-2.

Pertemuan para pihak PBB (COP) ke-16 yang diadakan di Cancun Meksiko akhir tahun 2010 lalu belum juga menunjukkan gejala yang baik. Hal ini sebenarnya merupakan ekses dari perundingan COP-15 di Copenhagen yang hasilnya sangat jauh dari yang diharapkan. Jika pada awalnya COP-15 dimulai dengan optimisme yang begitu tinggi hingga memunculkan istilah “Hopenhagen”, nyatanya COP-15 ini hanya menghasilkan Copenhagen Accord yang kontroversial.

Maka tak heran jika COP-16 di Cancun kemarin dibuka dengan datar-datar saja. Tidak ada optimisme yang menggebu-gebu. Pihak-pihak terkait juga tidak berharap terlalu banyak di Cancun akan tercapai legally binding. Rupanya, pertemuan di Cancun ini lebih dimaksudkan sebagai restorasi saling percaya (trust restoration) antar warga dunia. Pasca kegagalan di Copenhagen, warga dunia memang mengalami krisis kepercayaan akibat perasaan saling curiga dan dikhianati.

Faktanya, Cancun memang berakhir tanpa solusi yang berarti. 200 delegasi negara yang hadir hanya menyepakati bahwa batas masksimal kenaikan suhu global di bumi adalah 2 %. Diatas angka tersebut, dunia akan mengalami perubahan iklim ekstrem yang akan sangat berbahaya bagi kehidupan di bumi. Soal pembiyaaan melawan perubahan iklim yang memang tidak murah, juga belum ada keputusan final. COP-16 hanya menyepakati akan menggelontorkan dana perubahan iklim tersebut tanpa menetapkan bagaimana memperoleh dana itu. Beberapa pihak menyatakan bahwa COP-16 di Cancun hanya menyelamatkan perundingan tanpa menyelamatkan iklim bumi itu sendiri.

Lantas bagaimana setelah Cancun?. Jika kita memperhatikan dua pertemuan terakhir di Copenhagen dan Cancun, rasanya sangat sulit untuk mengharapkan kemajuan signifikan terkait perubahan iklim. Tahun ini, beban berat akan dipikul warga dunia pada COP-17 di Durban Afrika Selatan. Pertemuan di Durban ini ibarat final yang akan sangat menentukan, apakah dunia pada akhirnya mempunyai kesepakatan mengikat setelah habisnya protokol Kyoto tahapan pertama 2012 nanti.

Mengingat bencana demi bencana yang terus melanda bumi akibat pemanasan global, sudah saatnya bagi semua pihak untuk mau berkontribusi menyelamatkan bumi. Durban tidak boleh lagi hanya menjadi titik singgah. Ia harus menjadi tempat dimana Amerika dan China sebagai penyumbang emisi terbesar harus mau menurunkan tingkat emisinya.

Proyek REDD+ di Indonesia

Semenjak COP-13 di Bali yang menghasilkan Bali Road Map, peran Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus pemilik hutan tropis, sangat penting dalam berbagai perundingan. Indonesia dipandang dunia sebagai kunci perubahan iklim yang menentukan bagaimana nasb dunia kelak.

Hal ini sesungguhnya tidak lepas dari keberadaan jutaan hektar hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, bebeberapa dekade terakhir deforestasi terjadi dengan cepat, hingga membuat Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ke-3 di dunia. Ilegalloging, penebangan hutan untuk perkebunan, kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi penyebab utama emisi Indonesia (Walhi: 2009).

Laju deforestasi di Indonesia yang mencapai 2 juta hektar, membuat dunia pada akhirnya memberikan perhatian serius. Dalam Bali Road Map, di sepakati proyek Reduction Emission From Degradation and Deforestation (REDD) sebagai aksi mitigasi demi melawan perubahan iklim. Pada COP-16 di Cancun beberapa waktu lalu, REDD juga menjadi salah satu hal yang dibahas.

Bagaimana sesungguhnya mekanisme REDD?. Secara garis besar, REDD dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab negara maju, dengan memberikan sejumlah uang kepada negara-negara berkembang untuk menghentikan laju deforestasi.

Meskipun terlihat sangat bermanfaat, menurut hemat penulis, REDD bukanlah solusi utama melawan perubahan iklim. REDD juga membuat negara-negara maju sebagai penghasil emisi dunia, melempar tanggung jawabnya untuk menurunkan emisi. Dengan dalih sudah ikut mendanai hutan-hutan tropis dari deforestasi, mereka enggan menurunkan emisinya yang sesungguhnya menjadi sebab utama pemanasan global.

Bagi negara berkembang, REDD cenderung menjadi skema perdagangan karbon (Carbon Trading). Sebagai pemilik hutan tropis, proyek REDD membuat negara berkembang bisa memperoleh uang panas yang jumlahnya sangat bersar.

Di Indonesia, penerapan REDD belum maksmal. Hal ini terkait masyarakat adat serta kelompok minoritas yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil hutan belum dipikirkan secara matang. Dari 230 juta penduduk Indonesia, 40 juta diantaranya adalah masyarakat yang menggatungkan hidup dari hasil hutan. Dengan diterapkannya proyek REDD pada hutan mereka, kemungkinan besar mereka akan terpinggirkan secara ekonomi, sosial dan politik.

Pada ahirnya, usaha apapun yang dilakukan warga dunia demi menahan perubahan iklim entu harus didukung. Namun, yang menjadi catatan adalah selama belum ada kesepakatan mengikat yang mewajibkan negara-negara maju menurunkan emisinya, semua itu akan sia-sia belaka.

Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk memastikan perundingan di Durban nanti berjalan sesuai jalurnya. Berbagai cara bisa dilakukan. Mulai dari menurunkan tingkat emisi dari konsumsi pribadi, hingga turut berperan aktif dalam berbagai forum lingkungan hidup baik di dunia maya maupun kehidupan nyata sehari-hari. Lalu siapkah kita melawan perubahan iklim?

Refrensi
Kompas. Kemana Cancun Menuju. Edisi 30 November 2010
Walhi. REDD Wrong Path Pathetic: Ecobusiness. 2009. Jakarta

Kamis, 13 Januari 2011

world class university?? mimpi kali ye.!

Sumber: www.kabartangsel.com


Saya kuliah di Universtas Islam Negri (UIN) Jakarta. Tepatnya di jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). Karena sudah semester 7, saya dan kawan-kawan sedang dilanda euphoria skripsi. Kami pun ramai-ramai mencari dan mengajukan judul skripsi. Walhasil, Kamis 13 Januari lalu saya bersama beberapa kawan mengikuti seminar judul skripsi, sebagai salah satu syarat awal dalam penyusunan tugas akhir S1 tersebut.

Saya yang tertarik pada disiplin ilmu Komunikasi Politik, kemudian mengajukan judul “Pola kampanye dan propaganda kelompok penekan (pressure group) dalam mengawal kebijakan publik (Studi pada Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam mengawal agenda reforma agraria)”.

Judul yang menurut beberapa dosen lumayan itu, ternyata sempat ditolak oleh beberapa dosen penguji dalam seminar judul kemarin. Anda tahu kenapa? bukan karena judul saya terlalu panjang, tapi karena katanya, judul saya itu tidak merepresentasikan ISLAMnya kampus kami.

Pada titik itu, saya merasa sangat heran dengan kampus ini. UIN yang dimotori oleh rektornya Komarudin Hidayat, dikenal karena menganut islam yang inklusif. Sayangnya, inklusifitas itu hanya slogan semata. Dalam kenyataannya, dari sisi akademisinya saja, UIN masih terjebak pada tataran islam eksklusif yang ortodoks.



Saya pikir, kita tidak bisa menilai islam tidaknya seseorang atau lembaga hanya secara tekstual saja. Misalnya jika sebuah organisasi memakai nama islam, belum tentu itu organisasi islam karena belum tentu juga mereka mempraktekan nilai-nilai yang islami. Begitu juga sebaliknya, organisasi yang tidak memakai nama islam, belum tentu tidak islami karena siapa tahu mereka mempraktekkan nilai-nilai yang islami.

Nah, hubungannya dengan cerita saya di atas, saya merasa lucu karena skripsi saya sempat ditolak hanya karena tidak mengangkat profil pressure group dengan embel-embel islam. Padahal, dalam pandangan dan pengalaman saya beberapa kali terlibat dengan SPI, mereka mempraktekan nilai-nilai islami seperti keadilan, demokrasi, kebenaran, humanisme, HAM dan lain-lain. Belum lagi terkait reforma agraria yang sesungguhnya merupakan bentuk pembelaan terhadap kaum mustadhafin (kaum lemah).

Rupanya bagi dosen-dosen di FDK UIN yang menguji kami hari itu, semua nilai-nilai keislaman itu belum cukup untuk diangkat menjadi tugas akhir kami. Mereka berargumen bahwasanya UIN adalah kampus dengan nama islam jadi harus mengangkat hal-hal yang sifatnya islami secara tekstual.

Padahal, UIN tidak hanya terdiri dari kata ISLAM saja, tapi juga NEGRI. Artinya, selain mengangkat nama islam, mahasiswa UIN juga harus berkontribusi terhadap bangsa dan negara Indonesia. Apalagi beberapa waktu lalu, UIN juga bercita-cita untuk menjadi worl class university.

Demi terbentuknya sebuah universitas kelas dunia, tentu bukan hanya dengan mengubah lambang saja yang bahkan juga sempat dipermasalahkan karena katanya, mirip lambang bintang David negara Israel. Tapi yang lebih penting lagi, paradigma pemikiran akademis UIN juga harus diubah.

UIN tidak boleh lagi terjebak pada pemikiran sempit tentang islam. UIN harus membuka diri terhadap dinamika perkembangan demokrasi di Indonesia dan dunia internasional. Cara-cara kuno dalam memandang mana yang islam dan islami harus dihilangkan. Semua itu tentu harus dimulai dari bawah yaitu dari jurusan, fakultas barulah tingkat universitas.

Sesungguhnya, yang menjadi alasan saya mengambil judul yang agak menyimpang dari skripsi mahasiswa FDK kebanyakan adalah, saya ingin menunjukkan bahwa mahasiswa UIN tidak hanya mengerti isu-isu keislaman. Tapi juga memahami dinamika demokrasi di Indonesia.

Jika anda berkunjung ke perpustakaan FDK, anda akan menemukan beberapa rak berisi skripsi-skripsi terdahulu yang isinya hampir seragam. Mulai dari penelitian kuantitatif terhadap majelis taklim A, strategi komunikasi Kyai haji B atau analisis wacana terhadap media islam C dan lain-lain yang hanya berbeda objek penelitiannya.

Saya bukan ingin merendahkan pekerjaan kawan-kawan yang sudah bersusah payah mengerjakan skripsi itu, namun yang harus dipahami bersama, pihak universitas tidak seharusnya membatasi objek penelitian mahasiswanya hanya yang berbau islam secara tekstual saja. Sebab, hal ini akan mematikan kreativitas mahasiswa sehingga cenderung berfikir praktis asal jadi saja.

FDK sebagai salah satu fakultas yang banyak diminati mahasiswa di UIN, tentu sudah melahirkan ribuan sarjana di bidang komunikasi. Oleh karena itu, jika dalam penyusunan skripsi masih juga dibatasi pada tataran islam tekstual, tentu ruang lingkup penelitian skripsi menjadi sangat terbatas. Maka tak heran jika pada akhirnya, skripsi mahasiswa tak akan jauh dari majelis taklim, film-film islam, pondok pesantren, kebijakan redaksional media islam, analisis isi, framing dan wacana media islam, atau semiotika media islam. Jika sudah begitu, mahasiswa lah yag akan di cap tidak kreatif atau bahkan plagiat oleh dosen.

Meskipun pada akhirnya judul saya tetap diterima, setelah ngotot dan ditakut-takuti tidak akan lulus ujian akhir skripsi nanti jika diuji oleh dosen yang kolot, menurut saya ini adalah alarm merah bagi para junior kami. Mereka tentu akan menjadi mahasiswa-mahasiswa yang menyusun skripsi karena ingin cepat lulus, bukan karena dorongan intelektual dan akademisnya.

Selama pola ini tidak berubah, world class university tentu hanya mimpi belaka. Sebab indikator universitas kelas dunia bukan di tunjukkan dengan rajinnya pak rektor nongol di media massa, tapi juga bagaimana mahasiswa universitas tersebut mampu melahirkan karya-karya monumental, yang berkontribusi besar bagi agama dan negara. Setuju??...

Keep spirit kawan..!! semoga birokrasi tai kucing tak menghambat kreativitasmu..!