Rabu, 13 November 2013

Mempertanyakan Kebenaran



Suatu petang di antara syahdunya suara gerimis, seorang kawan mengajukan pertanyaan yang memaksa saya memikirkan ulang soal kebenaran. Ia mengambil sebuah harian nasional dan menunjukkan sepenggal berita soal Ahmadiyah.

“Kalo dari kacamata teologi kamu, Ahmadiyah ini bener atau salah?” tanyanya lugas.

Saya menjawabnya dengan membakar sebatang rokok. Nampaknya pertanyaan singkat ini akan memancing diskusi panjang. Sampai hisapan ketiga saya masih bingung harus memulai dari mana. Memang saya hanya perlu menjawab “benar atau salah”. Tapi jelas tidak akan sesimpel itu.

“Oke..begini,” ujar saya sok bijaksana. “Kita gak bisa memandang ini dari satu sisi. Harus jelas dulu bagaimana sejarah Ahmadiyah,”.

Saya kemudian berargumen kesana-kemari soal sejarah Ahmadiyah. Sampai akhirnya kawan yang cerdik itu menyadari kalo saya lagi ngeles. “Jadi intinya benar atau salah?,” ia semakin memojokkan.
Sejujurnya saya gelagapan juga dicecar pertanyaan yang sama seperti itu. Saya hanya mengenal Ahmadiyah kulit luarnya saja, tidak mendalami isinya. Saya merasa tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Benar atau salah? Dari kacamata orang awam aja,” ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
Saya mengambil nafas panjang. Mengerutkan dahi sambil duduk bersila ditemani asap rokok yang terus mengepul. Saya merasa ada yang ganjil.

“Kebenaran seperti apa yang kamu maksud?” saya balik bertanya.

Ia terdiam sejenak. Matanya menerawang tampak sedang memikirkan sesuatu. Suasana menjadi hening meski hujan di luar semakin deras. Kami saling tersenyum. Kalo ada yang melihat, mungkin akan menyangka kami sedang cinlok. Sepertinya kami harus clear dulu soal kebenaran yang dimaksud.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin kami mengukur sesuatu dengan “kebenaran” jika kebenaran itu sendiri sulit diukur? Maksud saya begini. Saat kita hendak mengukur berat daging yang dihasilkan dari seekor kambing misalnya, kita memiliki alat dan satuan ukur yang jelas. Ukuran berat itu disepakati semua pihak. Mulai dari ton, kwintal, kilogram sampai ons dan gram. Alat dan satuan ukur yang jelas itulah yang membantu kita bisa berteriak dengan lantang bahwa berat daging itu adalah 30 kilogram misalnya.

Lantas bagaimana caranya mengukur Ahmadiyah benar atau salah? Alat dan satuan ukur seperti apa yang akan kita pakai? Apakah “kebenaran” yang kita pakai untuk mengukur sudah “benar-benar” benar? Bagaimana “kebenaran” yang kita anggap benar untuk mengukur suatu “kebenaran” bisa menunjukkan “kebenaran”? Begitu kompleksnya soal kebenaran ini sampai membuat kami harus kembali meninjau ulang soal kebenaran.

Selama ini saya merasa kebenaran dimonopoli oleh sekelompok orang. Kebenaran dipahami sebagai sebuah kesepakatan bersama suatu tatanan masyarakat. Masa Orde Baru misalnya, orang-orang bertato dianggap identik dengan premanisme. Hal tersebut dianggap sebuah kebenaran yang disepakati oleh masyarakat. Persoalan tato dikonstruksi sedemikian rupa hingga menjadi “kebenaran” di tengah khalayak ramai.

Tapi hari ini kebenaran itu dilucuti. Tato tak lagi dianggap tabu. Masyarakat insaf bahwa yang selama ini dianggap sebuah kebenaran menjadi hal yang biasa saja. Buat saya, nilai-nilai kebenaran yang disepakati  bersama telah memudar. Kebenaran absolut itu hilang begitu saja.

Saya termasuk orang yang tidak percaya andagium “kebenaran pasti menang”. Karena faktanya, “pemenanglah yang menjadi kebenaran”. Jadi bagaimana kita bisa menggantungkan diri pada kebenaran yang tidak selamanya benar itu?

Hari ini, kebenaran sudah tidak bisa lagi dipatok, dimiliki dan dikuasai oleh sekelompok orang. Kebenaran sudah seperti rasa. Hadir di setiap pribadi. Menjelma lewat argumentasi. Kebenaran menjadi bias dan masuk ke setiap relung sanubari. Lantas, untuk apa lagi kita mempertanyakan kebenaran?

Dalam konteks inilah pertanyaan kawan saya soal benar dan tidaknya Ahmadiyah menjadi tidak relevan. Kami tidak bisa menemukan alat dan satuan ukur yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maka, masih relevankah kita mempertanyakan kebenaran, jika kebenaran saja sudah menjadi ranah privasi orang per orang?


Rabu, 22 Mei 2013

Usai Newsweek Siapa Lagi?...



Seperti daun yang rontok di musim gugur, satu per satu media cetak tersungkur. Era digital memaksa mereka untuk bertransformasi atau mati.

#LastPrintIssue. Tulisan itu terpampang cukup besar pada halaman depan majalah berita mingguan Newsweek edisi Desember tahun lalu. Gedung kantor lama Newsweek di Manhattan New York yang menjadi latar belakang dicetak buram, seakan menggambarkan betapa nelangsanya majalah yang didirikan oleh Thomas J.C Martin ini beberapa tahun terakhir. 

Setelah 80 tahun tanpa henti mewartakan berita dalam 12 bahasa, riwayat Newsweek harus terhenti setelah berusaha bertahan menghadapi serbuan digital. Newsweek memang tidak mati. Newsweek hanya bertransformasi menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan tuntutan bisnis. Mulai awal 2013, majalah ini akan beralih ke format digital dan online. Versi digital majalah ini akan dijual sama dengan harga cetaknya (sekitar US$4,99).  

Langkah drastis ini memang mau tidak mau harus diambil oleh pihak manajemen. Pasalnya, sejak tahun 2005 sirkulasi Newsweek merosot 50% hingga menjadi 1,5 juta eksemplar saja. Sementara pengiklan juga anjlok hampir 80%. Tak pelak, Newsweek juga harus kehilangan potensi keuntungan hingga US$40 juta per tahun.
Gonjang-ganjing Newsweek mulai sangat terasa saat Washington Post Co.—pemilik Newsweek sejak 1961—menjual majalah ini kepada seorang pengusaha stereo, Sydney Harman pada 2010. Sebelum meninggal, Harman akhirnya menggabungkan Newsweek dengan The Daily Beast yang saat itu dipimpin oleh Tina Brown.

Bukan Yang Pertama
Apa yang menyebabkan media sebesar dan sekelas Newsweek bangkrut, dan mengakhiri penetrasinya selama 80 tahun ke kios-kios majalah di seantero jagat?  Benarkah era digital yang menjadi “malaikat maut” bagi sekumpulan majalah cetak konvensional, yang menghabiskan banyak sekali uang untuk biaya produksi dan distribusi?

Sebagai media konvensional, eksistensi media cetak sangat bergantung pada oplah dan pemasang iklan. Saat kedua elemen penting tersebut hilang, maka saat itulah sebuah media terancam eksistensinya.  Hal itulah yang harus dialami bahkan oleh media dengan pengalaman segudang seperti Newsweek.

Newsweek memang bukan yang pertama. Sebelumnya sudah tak terhitung jumlah media cetak yang harus gulung tikar ataupun mengganti platform cetak menjadi digital. Mulai dari Chicago Tribune,  Los Angeles Time, The Rocky Mountain News, San Juan Stars hingga Kentucky Post adalah contoh-contoh media cetak di Amerika yang tak lagi hadir di tengah masyarakat.

Berbagai upaya untuk membendung kerugian dari media cetak sudah dilakukan. Mulai dari mengurangi jumlah halaman serta ukuran kertas—seperti yang dilakukan oleh The Tribune Company di Amerika—hingga mengurangi durasi penerbitan dari setiap hari menjadi 3 kali seminggu—seperti yang dilakukan oleh harian New Orleans Times Picayune.

Senada dengan di Amerika, media-media asal Inggris pun mengalami nasib serupa. Media terkemuka seperti The Independent, Daily Mail, The Derby Telegraph, The Bristol Evening Post dan Leicester Mercury ramai-ramai menyatakan akan merumahkan sebagian besar pekerjanya. Beban operasional yang semakin besar, membuat nafas media cetak kembang-kempis.

Selain bukan menjadi yang pertama, banyak kalangan memandang Newsweek juga bukan media cetak terakhir yang akan pindah haluan. Dua media besar asal Inggris—The Guardian dan The Observer—juga diprediksi akan segera mengikuti langkah Newsweek. Beberapa tahun terakhir, pemilik The Guardian harus berjuang untuk membendung kerugian yang mencapai ₤44 juta.

Senjakala media cetak juga tergambar dari hasil riset yang dilakukan oleh USC Annenberg Center for the Digital Future. Dengan tingkat penetrasi internet yang luar biasa pesatnya di Amerika, lembaga riset ini berani memprediksi media cetak Amerika akan mati dalam kurun waktu 5 tahun.

“Hanya 4 media besar seperti The New York Time, USA Today, the Washington Post dan the Wallstreet Journal yang akan bertahan pada versi cetak,” ujar Jeffrey I. Cole, direktur USC Annenberg. 
Rupert Murdoch, sang taipan pemilik raksasa media dunia—News Corporation—bahkan berani memprediksi media massa akan mati dalam 20 tahun lagi.

Bukan Hal Yang buruk
Lantas apa yang salah dari konversi media cetak ke ranah digital? Tentu tidak ada. Apa yang dilakukan oleh Newsweek sebenarnya merupakan sebuah strategi untuk bertahan hidup. Dalam sejarah perjalanannya, bukan sekali media cetak diproyeksikan akan runtuh.

Media cetak terlahir dari pergulatan sejarah yang panjang. Riwayatnya merentang jauh mulai dari era sebelum masehi, hingga mengalami perkembangan pesat saat Johannes Gutenberg hadir dengan mesin cetak inovasinya. Dengan pengalaman panjang ini, media cetak sebenarnya memiliki karakteristik tersendiri.
Saat Marconi menemukan radio pada 1895 banyak yang memprediksi media cetak akan kehilangan pamornya. Tapi ternyata gulungan koran dan majalah tetap dibaca banyak orang. Begitupula ketika televisi mulai menjajah rumah-rumah di seantero jagat. Banyak media cetak yang gugur, tapi tak sedikit pula yang bertahan.

Kini saat orang mulai meneriakkan new media, muncul kekhawatiran untuk kesekian kalinya bahwa media cetak tak akan bertahan. Pro dan kontra bermunculan. Tapi jika bertransformasi untuk menjadi yang lebih baik bagi pembaca, tak ada yang salah bukan? 
------------
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Teknopreneur edisi Maret 2013

Minggu, 03 Februari 2013

Mencumbu Kabut Merbabu (Bagian II : Habis)

si kembar Sindoro-Sumbing dari Pos II..

Summit Attack

Pagi menjelang. Di sebelah barat tampak si kembar Sindoro-Sumbing dengan gagahnya. Pagi di gunung memang selalu menyenangkan, meski selalu dilalui dengan rutinitas yang hampir sama. Ngopi, bikin sarapan, foto-foto narsis sambil membicarakan angin kencang semalam. Saya seperti biasa, sangat menyukai memasak di pagi hari. Meskipun hanya sekedar menggoreng roti ataupun membuat teh dan kopi.

Foto keluarga di Pos II...

Pagi itu kami masih bingung dengan rencana selanjutnya. Apakah tetap dengan rencana awal: muncak membawa segenap perabotan lenong lantas turun lewat Selo, atau ada opsi lain. Sementara kawan-kawan mempercayakan keputusan kepada saya, maka saya pun silaturahmi kepada para tetangga sebelum mengambil keputusan.

Soulmate Misbah & Uchup...

Dari hasil obrolan dengan para pendaki lain, saya dapat kesimpulan tidak ada satupun pendaki yang berani lewat Selo saat ini. Cuaca yang cukup ekstrem membuat para pendaki harus membuat keputusan cerdas. Saat itu, cuaca di Merbabu memang sedikit banyak dapat diprediksi. Cerah dari pagi hingga jam 13.00, lalu kemudian hujan akan terus turun dan berpotensi menjadi badai semakin malam. Turun lewat Selo dengan jalur savana yang terbuka di sore hari sangat berpotensi dicumbu badai.

Jalur pendakian menuju Pos III
Sebelum Pos III

Pada akhirnya, kami pun memutuskan untuk summit attack dan turun kembali lewat Wekas. Persiapan segera dilakukan. Kami hanya membawa bekal berupa roti dan biskuit, air secukupnya, serta trangia untuk jaga-jaga jika diperjalanan tiba-tiba ngidam kopi.

Bayu, dengan kondisinya yang tidak memungkinkan untuk summit attack memutuskan untuk menunggu di tenda. Sekitar pukul 07.30, saya, Misbah dan Uchup pun melangkahkan kaki menuju puncak. Kami rombongan ke-2 yang summit attack hari itu. Sementara rombongan pertama sudah berangkat sejak dini hari demi mengejar lahirnya sang mentari.

Perjalanan awal kami lalui dengan lancar. Jalurnya tidak terlalu terjal tapi juga tidak terlalu landai. Perjalanan sempat break sejenak demi menunggu Uchup melaksanakan hajatnya di pagi hari. Sekitar 1 jam lebih kami berjalan, akhirnya kami tiba di Pos III. Disini ada aliran air yang cukup jernih. Padahal biasanya air hanya bisa ditemukan di Pos II. Kami pun segera mengganti air perbekalan kami dengan air di Pos III ini. Maklum, air di Pos II rasanya sudah tercampur belerang sehingga sangat tidak enak diminum langsung.


Pertigaan Pemancar-Puncak


Di pertigaan antara ke puncak dan pemancar kami berhenti cukup lama untuk bernarsis ria. Pada awalnya kami mengira sudah cukup dekat dengan puncak. Rupanya setelah berjalan agak jauh, saya menemukan plang yang bertuliskan:
Puncak Kentheng Songo à 1,6 KM
Pos Helipad à 0,2 KM


Masih jauh ciiiinggg....

Melihat hal itu, saya segera berteriak kepada Uchup dan Misbah untuk bergegas. Jika tidak ingin berhujan-hujan ria, kami harus sudah sampai kembali di Pos II sebelum jam 13.00. Sebelum mencapai pos Helipad, kami dihadapkan pada tanjakan yang cukup terjal. Entah apa rasanya jika bawa keril melewati jalur ini. Di Pos Helipad inilah kami mulai membuka perbekalan kami. Roti tawar berselimut susu coklat. Lumayan mengganjal perut.


Asik kali ya guling2 disitu...


Bukan gw-nya kok yang keren..tapi pemandangannya..hehe

Lepas dari Helipad, jalur mulai sering dikunjungi kabut. Perjalanan ke puncak ini seringkali menipu. Jalurnya naik turun. Beberapa kami kami tertipu karena memperkirakan sebuah spot sebagai puncak, nyatanya hanyalah bukit.


Melipiiiirrr.....

Tak jauh dari pertigaan Puncak Syarif-Puncak Kentheng Songo, kami bertemu dengan para pendaki lain yang hendak turun. Atas saran dari mereka, kami harus sudah turun dari puncak sebelum jam 12, jika tidak ingin diguyur hujan atau bahkan badai. Dengan keputusan bersama, akhirnya kami pun memilih untuk mengunjungi Puncak Kentheng Songo saja.

Merbabu yang memiliki 3 puncak—Syarif, Kentheng Songo dan Triangulasi—memang benar-benar luar biasa. Jalan setapak yang terkadang berselimut kabut dengan dominasi warna hijau di sekeliling menimbulkan sensasi tersendiri. Perpaduan antara putihnya kabut, hijaunya dedaunan, birunya langit serta coklatnya pohon dan tanah membuat perjalanan kami sangat menyenangkan.

Setelah melahap tanjakan yang cukup menguras tenaga, akhirnya puncak Kentheng Songo berhasil kami rengkuh. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 10.30 saat itu. Plang penanda puncak sekaligus batu-batu berlubang tak ayal menjadi objek nasis kami. Saat itu, kami adalah satu-satu rombongan yang ada di puncak.


Puncak yang dikepung kabut

Tak lebih dari 20 menit, kami segera turun. Seluruh penjuru mata angin sudah dikepung warna putih. Sayang memang. Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling keindahan alam Merbabu terhalang oleh kabut.

Perjalanan turun jelas lebih menyenangkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Di sebelah sana awan hitam mulai berkumpul siap untuk bekerja. Kami semakin bergegas. Tak jauh dari pertigaan puncak ke puncak Syarif, kami bertemu dengan rombongan besar yang baru akan menuju puncak. Tak kurang dari 23 orang yang tergabung. Kami berani memprediksi, mereka pasti akan kehujanan saat turun.

Sebelum mencapai pos Helipad, kami tergoda untuk ngopi sejenak. Jadilah trangia dan spirtus keluar dari persembunyiannya. Ditemani gulungan Samsoe dan segelas kopi, kamipun bercanda ditengah hawa dingin yang mengepung. Saat sedang asyik menggilir segelas kopi, 3 orang pendaki melewati kami lengkap dengan keril besar mereka.

“Mau turun lewat Selo mas?,” iseng saya bertanya.
“Enggak, lewat Wekas juga,” jawab salah seorang dari mereka pendek.

Seperti diburu waktu mereka pun bergegas melanjutkan perjalanan. Tinggallah kami yang geleng-geleng kepala keheranan. Mau turun lewat Wekas juga tapi tetap membawa segenap perabotan lenong ke puncak? Hanya orang saktilah yang mampu melakukannya.

Sekitar pukul 13.00 kami pun tiba kembali di tenda kami yang nyaman. Dan benar saja. Tak lama kemudian hujan mengguyur dengan derasnya. Entah bagaimana nasib para pendaki yang tadi kami temui saat turun. Yang pasti hujan akan mengguyur mereka dengan dahsyatnya.

Perjalanan dari puncak tadi membuat kami kelaparan. Uchup yang dalam perjalanan kali ini kami daulat sebagai koki utama segera melakukan eksperimennya. Dan hasilnya, berupa nasi goreng kornet dengan sosis dan bakso goreng. Yang lebih istimewa, nasi goreng ini pedasnya luar biasa. Tak ayal sempat memakan beberapa orang korban yang langsung sibuk mencari semak-semak pasca menyantap nasi goreng ini.

Kami menunggu dengan bosan. Hujan tak kunjung reda, sementara kami harus segera turun. Demi membunuh waktu saya dan Misbah yang memang satu tenda memutuskan untuk bermain kartu. Lantunan suara merdu dari Bossanova menambah syahdu siang itu. Hujan, di dalam tenda, alunan jazz romantis, aaaahhh….bisakah si Misbah ini dituker aja dengan seorang wanitaaa??

Sekitar pukul 15.00 rombongan dari puncak turun. Tubuh mereka basah kuyup tanpa menyisakan satu celahpun yang kering. Saya segera berinisiatif membuatkan kopi. Disinilah bencana terjadi. Kondisi gerimis memang memaksa kami untuk masak di vestibulate tenda. Kalian tahu sendiri, vestibulate si oranye lafuma kecil sekali. Perpaduan antara besarnya api dari trangia serta sempitnya vestibulate Lafuma akhirnya membakar tenda kami. Jilatan api itu berhasil melubangi tenda dengan diameter sekitar 2 cm. Ya sudahlah terima nasib saja. Hikss…!

Waktu semakin sore tapi hujan justru semakin deras. Akhirnya kami memutuskan untuk packing ditengaj hujan. Tenda jelas menjadi kendala utama dalam packing seperti ini. Karena sayalah yang bertugas membawa 2 tenda ini, saya menjadi orang terakhir yang packing. Jika sebelumnya di Manglayang saya harus merasakan nikmatnya mendirikan tenda ditengah hujan, kini saya harus merasakan membongkar sekaligus packing tenda ditemani rintik air hujan.

Sulit juga ternyata. Packing menjadi tidak maksimal hingga memakan banyak ruang. Keril saya sudah sangat tidak seimbang. Bahkan fly sheet tenda justru tidak muat akibat packing asal-asalan. Karena malas membongkar lagi ditengah hujan begini, fly sheet ini pun akhirnya saya tenteng saja.

Perjalanan turun tak juga membuat hujan semakin ramah. Bahkan semakin menjadi. Angin menderu-deru. Suaranya yang menghantam ranting dan dedaunan membuat merinding juga. Sekitar 1,5 jam turun kami harus berjuang dengan guyuran hujan, jalur yang licin dan bahkan menjadi aliran air serta angin yang bertiup kencang.

Akhirnya perjuangan kami usai sudah. Malam menjelang saat kami tiba kembali di basecame Wekas. Disinilah kami membersihkan badan dan numpang bermalam. Disini pulalah kami disuguhi nasi, sayur dan telur dadar yang rasanya sumpah nikmat alhamdulillah. Saya bahkan sampai nambah beberapa kali. Setelah perut kenyang dan membersihkan badan. Kami pun terlelap. Namun petualangan kami tak hanya berhenti sampai sini. Esok kami akan bertransformasi dari seorang hiker menjadi traveller. See you Jogjaaaa.


Pulaaaannggg
Credit foto : Uchup & Misbah

Sabtu, 02 Februari 2013

Mencumbu Kabut Merbabu (Bagian I)

Musim hujan begini naik gunung? Kurang kerjaan memang. Selain jelas lebih beresiko, kabut dan rintik hujan juga akan menghalangi pemandangan. Tapi apa daya. Tiket sudah terlanjur dibeli. Keinginan untuk menikmati hutan belantara Merbabu juga sudah luber kemana-mana.

Keputusan harus tetap diambil. Apalagi perjalanan kali ini saya akan ditemani kawan-kawan karib yang sudah lama tidak jalan-jalan bareng. Salahudin Yusuf alias Uchup Onta terakhir kali jalan bareng 5 tahun lalu saat pendakian massal ke Gunung Gede. Begitupula Misbah yang sudah 3 tahun tidak mendaki bersama.

Ujian untuk piknik ceria kali ini memang bukan hanya soal cuaca. Sampai hari H keberangkatan, Uchup si Onta sialan itu masih juga ragu jadi berangkat atau tidak. Padahal dia bawa satu orang temen dalam pendakian ini. Tapi bagaimanapun saya toh memutuskan tetap berangkat juga ke meeting point di Stasiun Jakarta Kota.

Dari kantor saya di bilangan Senopati Jakarta Selatan, saya pun numpang Trans Jakarta (TJ) sekitar pukul 17.30 WIB. Ramainya penumpang saat jam pulang kantor, memaksa kami—saya pulang bareng temen kantor—untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Jujur saja, saya jarang banget naik TJ. Jadi agak norak juga waktu sampai di halte busway Jakarta Kota (sumpah saya baru tahu kalo di sana ada terowongan gitu.. LOL).

Matahari sudah tergelincir jauh saat saya tiba disana. Uchup akhirnya memutuskan jadi berangkat hanya 2,5 jam sebelum kereta berangkat. Sementara Misbah si pemegang tiket belum juga datang. Demi membunuh waktu, saya pun memutuskan lesehan di peron sambil melahap Miracle of The Andes-nya Nando Parrodo.
Tak lama menunggu, Uchup akhirnya datang juga. Perut yang sudah keroncongan memaksa kami untuk menyantap nasi goreng depan stasiun. Lagi-lagi, Uchup menunjukkan kebiasaan lamanya. Dia yang memang gak doyan bawang goreng itu mengawasi abang tukang nasi goreng biar gak masukin bawang. Gak percayaan amat sih Cup…!

Selesai makan, giliran Misbah dan Bayu—temennya Uchup—tiba di stasiun. Saat itu masih pukul 20.00 WIB. Karena di jadwal kereta masih setengah jam lagi berangkat, kami pun memutuskan untuk beli logistik di minimarket dalam stasiun. Keasikan belanja membuat kami mengindahkan pengumuman penting. Rupanya kereta Serayu yang kami tumpangi tidak berangkat lewat Stasiun Kota, tapi lewat Stasiun Senen..!

Waktu keberangkatan yang semakin mepet membuat kami panik juga. Setelah cari-cari informasi, akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta terakhir ke Bekasi lalu turun di Jatinegara. Berulang kali saya melirik angka di jam tangan yang terus merangkak naik, sementara kereta yang ditunggu tak kunjung muncul.

Si ular besi itu akhirnya tiba juga menjemput kami. Ia mengantar rombongan penumpang bingung kereta Serayu dan Tawang Jaya ke Stasiun Jatinegara. Untung saja kami masih berjodoh dengan si Serayu tujuan Kroya itu. Sisa malam kami habiskan dengan main kartu, ngobrol tak penting dan tentu saja merajut mimpi-mimpi kosong.

Kota kecil Kroya menyambut kami dengan segala keramahannya. Mendoan tak henti-hentinya dijajakan saat kereta memasuki kawasan Banyumas. Aura yang berbeda saya dapatkan disini. Logatnya, suasananya, kulturnya, semuanya.

Di Stasiun Kroya

Sekitar pukul 08.00 kami keluar dari Stasiun Kroya. Dari sini kami meneruskan perjalanan menggunakan bis ¾ menuju perempatan Buntu. Tak seperti namanya, Buntu merupakan kawasan ramai yang mempertemukan antara jalur Jogja, Purwokerto, Banjar dan Kroya.

Tanpa berlama-lama, kami segera meneruskan perjalanan menuju Magelang. Dengan ongkos sebesar Rp25.000, bus bobrok ini mengangkut kami selama 5 jam sampai terminal Tidar. Rasa lapar segera menyergap akibat tak sempat sarapan. Tak pelak, arem-arem dan tahu lezat nan gurih pun kami daulat sebagai pengganjal perut.

Matahari tepat diatas kepala saat kami memasuki kawasan Terminal Tidar Magelang. Setelah packing sejenak, sarapan siang yang tertunda serta menunaikan ibadah sholat dzuhur, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Tak kurang dari 1 jam kami habiskan untuk mengarungi jalan Magelang-Wekas yang dikepung hujan.

Gerimis masih menyambut kami saat mendarat di gerbang desa Wekas. Angka di jam digital saya sudah menunjukkan pukul 14.00. Setelah melengkapi logistik yang kurang, kami segera beranjak menuju basecame pendakian. Awalnya, kami berencana naik ojeg yang saat itu banyak nongkrong di depan warung. Namun, pertemuan saya dengan mas Anto saat belanja logistik membuat kami akhirnya memutuskan untuk mencarter L300 mas Anto yang jika dihitung biayanya lebih murah daripada naik ojeg.

Hari semakin sore, tapi hujan juga semakin deras. Basecame Wekas menyambut kami dengan ramah. Sekitar 30 menit kami habiskan disini untuk registrasi, packing ulang serta mempersiapkan peralatan tempur. Jas hujan menjadi hal wajib demi melindungi tubuh ini dari terjangan air yang jatuh dari langit.

Narsis di Basecame Wekas

Mulai Pendakian

Jalur awal pendakian kita akan melewati jalan yang sudah di pavingblock. Hujan masih setia mengiringi. Sementara celana jas hujan yang saya kenakan sudah sobek disana-sini. Semakin lama robekan celana ini makin lebar. Dengan sangat terpaksa, saya memutuskan untuk melepas celana jas hujan ini dan men-downgrade-nya menjadi sampah.

Peta Jalur

Awal perjalanan sebenarnya tidak terlalu menguras tenaga. Kami justru sering berhenti karena Bayu, salah satu personel kami yang terlihat keteteran. Ini memang pendakian pertamanya. Kami jadi sering sekali berhenti dalam waktu yang cukup lama. Sementara hujan tak juga berhenti, hawa dingin semakin mengepung kami.

Sekitar 30 menit menyusuri jalan ber-pavingblock, kami pun tiba di sebuah shelter yang ternyata adalah makam. Setelah itu, jalan mulai berubah menjadi jalan tanah yang cukup licin. Tak lama berselang kami melewati sebuah sungai kecil. Seperti biasa, saya selalu melakukan ritual yang selalu saya lakukan dalam setiap perjalanan. Minum dan membasuh muka dari sumber air pertama yang saya temui dalam sebuah pendakian.

Tanjakan terjal akhirnya kami temui setelah melewati sungai kecil tersebut. Jalur yang licin membuat kami harus sangat berhati-hati. Ranting dan akar-akar pohon sangat membantu sebagai pegangan.

Di sini kami sempat ragu sejenak. Salah satu personel kami sudah terlihat hampir menyerah. Beberapa kali ia mengeluhkan dengkulnya yang bermasalah. Jadilah saya dan Uchup bergantian membawakan kerilnya. Karena seringkali berhenti, hawa dingin akhirnya menyergap saya. Jari-jari tangan saya sudah terlihat mengkerut akibat terlalu lama berdiam diri. Sementara Pos II masih 2 jam perjalanan lagi.

Kami semakin bimbang saat kawan kami itu enggan meneruskan perjalanan, tapi juga segan untuk kembali turun. Awalnya, kami berencana untuk nge-camp di Pos III karena berencana turun lewat Selo. Tapi rencana tinggal rencana. Dengan kondisi seperti ini, saya pesimis bisa mencapai Pos III.

Setelah berdiskusi sejenak dengan Uchup, saya akhirnya memutuskan untuk nge-camp di Pos II. Sementara Uchup dan Misbah menemani Bayu, saya tancap gas menuju Pos II. Menurut rencana, saya akan mendirikan tenda dulu di Pos II untuk kemudian menjemput mereka.

Ternyata Uchup dan Misbah tak tahan juga berdiam diri lama-lama. Mereka mengejar saya untuk bisa sama-sama mencapai Pos II. Sementara Bayu berjalan bersama 2 orang rombongan dari Bekasi yang juga tertinggal dari rombongannya.

Jalur menuju Pos II cukup jelas. Kita tinggal mengikuti pipa air yang terdapat di sepanjang jalur pendakian. Matahari sudah menghilang sementara belum juga terlihat rimbanya. Saya terus memacu kaki untuk terus melangkah. Untung saja hujan sudah tidak seganas tadi. Jalur yang semakin landai menandakan Pos II sudah di depan mata.

Jalur pipa ke Pos II

Sekitar pukul 18.30 akhirnya kami tiba di Pos II. Kawasan ini rupanya sudah ramai dipenuhi pendaki. Belasan tenda terlihat hampir di setiap sudut. Dari survey yang saya lakukan, semua yang mendaki hari itu akhirnya memutuskan untuk nge-camp di Pos II. Badai yang diperkirakan akan menghantam Pos II malam ini membuat tidak ada satupun pendaki yang nekat kesana.

Kami pun akhirnya menemukan lapak tak jauh dari sumber air. Tak lama setelah meletakkan keril, Misbah dan Uchup memutuskan untuk turun kembali menjemput Bayu yang masih tertinggal. Sementara saya bertugas mendirikan 2 tenda seorang diri. Hujan yang sedari tadi menjadi sahabat perjalanan kini berganti menjadi angin kencang.

Beberapa kali angin menghempaskan tenda yang belum sempat saya pasak. Agak kesulitan juga mendirikan tenda seorang diri ditengah kepungan angin begini. Setelah bersusah payah, akhirnya 2 tenda kami berhasil tegak berdiri. Saya pun kemudian memasak air demi menghangat tubuh yang sudah mulai menggigil.

Rumah-rumahan kami...

Tak lama berselang, Misbah, Uchup dan Bayu pun tiba. Kami pun segera memasak makan malam yang sudah sangat dinantikan. Menunya cukup menggugah selera. Nasi, sayur sop yang isinya cuma sosis dan bakso, telur dadar serta sambel terasi yang pedasnya naudzubillah. Sebenarnya saya ingin membuat agar-agar untuk bekal esok hari. Sayang seribu sayang, kami tidak bisa menemukan bekal gula kami yang entah terselip dimana.

Malam itu, hujan kembali turun. Perut yang sudah kenyang terisi membuat kami mulai mengantuk. Angin tak juga berhenti menggoda. Beberapa kali saya dibangunkan oleh suara tenda yang cukup kencang tertiup angin. Tak lelap memang, tapi cukup untuk mengistirahatkan tubuh yang lelah berhujan ria seharian ini.



Credit foto : Salahudin Yusuf, Misbahudin Wahid, Rezza Aji Pratama