Musim hujan begini naik
gunung? Kurang kerjaan memang. Selain jelas lebih beresiko, kabut dan rintik
hujan juga akan menghalangi pemandangan. Tapi apa daya. Tiket sudah terlanjur
dibeli. Keinginan untuk menikmati hutan belantara Merbabu juga sudah luber
kemana-mana.
Keputusan harus tetap
diambil. Apalagi perjalanan kali ini saya akan ditemani kawan-kawan karib yang
sudah lama tidak jalan-jalan bareng. Salahudin Yusuf alias Uchup Onta terakhir
kali jalan bareng 5 tahun lalu saat pendakian massal ke Gunung Gede. Begitupula
Misbah yang sudah 3 tahun tidak mendaki bersama.
Ujian untuk piknik
ceria kali ini memang bukan hanya soal cuaca. Sampai hari H keberangkatan,
Uchup si Onta sialan itu masih juga ragu jadi berangkat atau tidak. Padahal dia
bawa satu orang temen dalam pendakian ini. Tapi bagaimanapun saya toh
memutuskan tetap berangkat juga ke
meeting point di Stasiun Jakarta Kota.
Dari kantor saya di
bilangan Senopati Jakarta Selatan, saya pun numpang Trans Jakarta (TJ) sekitar
pukul 17.30 WIB. Ramainya penumpang saat jam pulang kantor, memaksa kami—saya
pulang bareng temen kantor—untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).
Jujur saja, saya jarang banget naik TJ. Jadi agak norak juga waktu sampai di
halte busway Jakarta Kota (sumpah saya baru tahu kalo di sana ada terowongan
gitu.. LOL).
Matahari sudah
tergelincir jauh saat saya tiba disana. Uchup akhirnya memutuskan jadi
berangkat hanya 2,5 jam sebelum kereta berangkat. Sementara Misbah si pemegang
tiket belum juga datang. Demi membunuh waktu, saya pun memutuskan lesehan di
peron sambil melahap Miracle of The Andes-nya
Nando Parrodo.
Tak lama menunggu,
Uchup akhirnya datang juga. Perut yang sudah keroncongan memaksa kami untuk
menyantap nasi goreng depan stasiun. Lagi-lagi, Uchup menunjukkan kebiasaan
lamanya. Dia yang memang gak doyan bawang goreng itu mengawasi abang tukang
nasi goreng biar gak masukin bawang. Gak percayaan amat sih Cup…!
Selesai makan, giliran
Misbah dan Bayu—temennya Uchup—tiba di stasiun. Saat itu masih pukul 20.00 WIB.
Karena di jadwal kereta masih setengah jam lagi berangkat, kami pun memutuskan
untuk beli logistik di minimarket dalam
stasiun. Keasikan belanja membuat kami mengindahkan pengumuman penting. Rupanya
kereta Serayu yang kami tumpangi tidak berangkat lewat Stasiun Kota, tapi lewat
Stasiun Senen..!
Waktu keberangkatan
yang semakin mepet membuat kami panik juga. Setelah cari-cari informasi,
akhirnya kami memutuskan untuk naik kereta terakhir ke Bekasi lalu turun di
Jatinegara. Berulang kali saya melirik angka di jam tangan yang terus merangkak
naik, sementara kereta yang ditunggu tak kunjung muncul.
Si ular besi itu
akhirnya tiba juga menjemput kami. Ia mengantar rombongan penumpang bingung
kereta Serayu dan Tawang Jaya ke Stasiun Jatinegara. Untung saja kami masih
berjodoh dengan si Serayu tujuan Kroya itu. Sisa malam kami habiskan dengan
main kartu, ngobrol tak penting dan tentu saja merajut mimpi-mimpi kosong.
Kota kecil Kroya
menyambut kami dengan segala keramahannya. Mendoan tak henti-hentinya dijajakan
saat kereta memasuki kawasan Banyumas. Aura yang berbeda saya dapatkan disini.
Logatnya, suasananya, kulturnya, semuanya.
|
Di Stasiun Kroya |
Sekitar pukul 08.00
kami keluar dari Stasiun Kroya. Dari sini kami meneruskan perjalanan
menggunakan bis ¾ menuju perempatan Buntu. Tak seperti namanya, Buntu merupakan
kawasan ramai yang mempertemukan antara jalur Jogja, Purwokerto, Banjar dan
Kroya.
Tanpa berlama-lama,
kami segera meneruskan perjalanan menuju Magelang. Dengan ongkos sebesar
Rp25.000, bus bobrok ini mengangkut kami selama 5 jam sampai terminal Tidar.
Rasa lapar segera menyergap akibat tak sempat sarapan. Tak pelak, arem-arem dan
tahu lezat nan gurih pun kami daulat sebagai pengganjal perut.
Matahari tepat diatas
kepala saat kami memasuki kawasan Terminal Tidar Magelang. Setelah packing sejenak, sarapan siang yang
tertunda serta menunaikan ibadah sholat dzuhur, kami memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan. Tak kurang dari 1 jam kami habiskan untuk mengarungi
jalan Magelang-Wekas yang dikepung hujan.
Gerimis masih menyambut
kami saat mendarat di gerbang desa Wekas. Angka di jam digital saya sudah
menunjukkan pukul 14.00. Setelah melengkapi logistik yang kurang, kami segera
beranjak menuju basecame pendakian.
Awalnya, kami berencana naik ojeg yang saat itu banyak nongkrong di depan
warung. Namun, pertemuan saya dengan mas Anto saat belanja logistik membuat
kami akhirnya memutuskan untuk mencarter L300 mas Anto yang jika dihitung
biayanya lebih murah daripada naik ojeg.
Hari semakin sore, tapi
hujan juga semakin deras. Basecame
Wekas menyambut kami dengan ramah. Sekitar 30 menit kami habiskan disini untuk
registrasi, packing ulang serta
mempersiapkan peralatan tempur. Jas hujan menjadi hal wajib demi melindungi
tubuh ini dari terjangan air yang jatuh dari langit.
|
Narsis di Basecame Wekas |
Mulai
Pendakian
Jalur awal pendakian
kita akan melewati jalan yang sudah di pavingblock.
Hujan masih setia mengiringi. Sementara celana jas hujan yang saya kenakan
sudah sobek disana-sini. Semakin lama robekan celana ini makin lebar. Dengan
sangat terpaksa, saya memutuskan untuk melepas celana jas hujan ini dan men-downgrade-nya menjadi sampah.
|
Peta Jalur |
Awal perjalanan
sebenarnya tidak terlalu menguras tenaga. Kami justru sering berhenti karena
Bayu, salah satu personel kami yang terlihat keteteran. Ini memang pendakian
pertamanya. Kami jadi sering sekali berhenti dalam waktu yang cukup lama.
Sementara hujan tak juga berhenti, hawa dingin semakin mengepung kami.
Sekitar 30 menit
menyusuri jalan ber-pavingblock, kami
pun tiba di sebuah shelter yang
ternyata adalah makam. Setelah itu, jalan mulai berubah menjadi jalan tanah
yang cukup licin. Tak lama berselang kami melewati sebuah sungai kecil. Seperti
biasa, saya selalu melakukan ritual yang selalu saya lakukan dalam setiap perjalanan.
Minum dan membasuh muka dari sumber air pertama yang saya temui dalam sebuah
pendakian.
Tanjakan terjal
akhirnya kami temui setelah melewati sungai kecil tersebut. Jalur yang licin
membuat kami harus sangat berhati-hati. Ranting dan akar-akar pohon sangat
membantu sebagai pegangan.
Di sini kami sempat
ragu sejenak. Salah satu personel kami sudah terlihat hampir menyerah. Beberapa
kali ia mengeluhkan dengkulnya yang bermasalah. Jadilah saya dan Uchup bergantian
membawakan kerilnya. Karena seringkali berhenti, hawa dingin akhirnya menyergap
saya. Jari-jari tangan saya sudah terlihat mengkerut akibat terlalu lama
berdiam diri. Sementara Pos II masih 2 jam perjalanan lagi.
Kami semakin bimbang
saat kawan kami itu enggan meneruskan perjalanan, tapi juga segan untuk kembali
turun. Awalnya, kami berencana untuk nge-camp di Pos III karena berencana turun
lewat Selo. Tapi rencana tinggal rencana. Dengan kondisi seperti ini, saya
pesimis bisa mencapai Pos III.
Setelah berdiskusi
sejenak dengan Uchup, saya akhirnya memutuskan untuk nge-camp di Pos II. Sementara
Uchup dan Misbah menemani Bayu, saya tancap gas menuju Pos II. Menurut rencana,
saya akan mendirikan tenda dulu di Pos II untuk kemudian menjemput mereka.
Ternyata Uchup dan
Misbah tak tahan juga berdiam diri lama-lama. Mereka mengejar saya untuk bisa
sama-sama mencapai Pos II. Sementara Bayu berjalan bersama 2 orang rombongan
dari Bekasi yang juga tertinggal dari rombongannya.
Jalur menuju Pos II
cukup jelas. Kita tinggal mengikuti pipa air yang terdapat di sepanjang jalur
pendakian. Matahari sudah menghilang sementara belum juga terlihat rimbanya. Saya
terus memacu kaki untuk terus melangkah. Untung saja hujan sudah tidak seganas
tadi. Jalur yang semakin landai menandakan Pos II sudah di depan mata.
|
Jalur pipa ke Pos II |
Sekitar pukul 18.30
akhirnya kami tiba di Pos II. Kawasan ini rupanya sudah ramai dipenuhi pendaki.
Belasan tenda terlihat hampir di setiap sudut. Dari survey yang saya lakukan, semua
yang mendaki hari itu akhirnya memutuskan untuk nge-camp di Pos II. Badai yang
diperkirakan akan menghantam Pos II malam ini membuat tidak ada satupun pendaki
yang nekat kesana.
Kami pun akhirnya
menemukan lapak tak jauh dari sumber air. Tak lama setelah meletakkan keril,
Misbah dan Uchup memutuskan untuk turun kembali menjemput Bayu yang masih
tertinggal. Sementara saya bertugas mendirikan 2 tenda seorang diri. Hujan yang
sedari tadi menjadi sahabat perjalanan kini berganti menjadi angin kencang.
Beberapa kali angin
menghempaskan tenda yang belum sempat saya pasak. Agak kesulitan juga
mendirikan tenda seorang diri ditengah kepungan angin begini. Setelah bersusah
payah, akhirnya 2 tenda kami berhasil tegak berdiri. Saya pun kemudian memasak
air demi menghangat tubuh yang sudah mulai menggigil.
|
Rumah-rumahan kami... |
Tak lama berselang,
Misbah, Uchup dan Bayu pun tiba. Kami pun segera memasak makan malam yang sudah
sangat dinantikan. Menunya cukup menggugah selera. Nasi, sayur sop yang isinya cuma
sosis dan bakso, telur dadar serta sambel terasi yang pedasnya naudzubillah. Sebenarnya saya ingin
membuat agar-agar untuk bekal esok hari. Sayang seribu sayang, kami tidak bisa
menemukan bekal gula kami yang entah terselip dimana.
Malam itu, hujan
kembali turun. Perut yang sudah kenyang terisi membuat kami mulai mengantuk. Angin
tak juga berhenti menggoda. Beberapa kali saya dibangunkan oleh suara tenda
yang cukup kencang tertiup angin. Tak lelap memang, tapi cukup untuk
mengistirahatkan tubuh yang lelah berhujan ria seharian ini.
Credit foto : Salahudin Yusuf, Misbahudin Wahid, Rezza Aji Pratama