Jumat, 03 Desember 2010

Nasi Uduk DI Ketinggian Puncak




Pernahkah terbayang dibenak anda nasi uduk di ketinggian 2750 meter di atas permukaan laut (mdpl)? Jika tidak persiapkan fisik dan mental anda lalu mendakilah ke gunung Gede.

Udara begitu dingin. Suhunya berkisar antara 20-250 celcius. Faris (27) menyibakkan gordin rumahnya. Embun terlihat menempel di kaca jendela. Hari masihlah gelap. Dipandanginya jarum jam di dinding yang baru menunjukkan pukul 04.32 WIB. Minah (24), istrinya sedang memasukkan puluhan bungkus nasi ke dalam sebuah tas hitam yang terlihat lusuh.



Faris masuk kedalam kamar mereka yang berukuran 3 X 4 meter. Tak lama kemudian, ia pun keluar dengan pakaian “seragamnya” setiap hari. Topi kupluk, jaket parasut, celana gunung, sepatu sket dan sarung tangan yang sudah bolong dibagian jempol kanannya. Ia juga membawa senter yang berisi dua buah baterai besar didalamnya.



Faris menyambar tas yang disodorkan istrinya dan segera membuka pintu. Angin langsung menghantam tubuhnya seketika. Ia tak perduli. Hawa dingin adalah kesehariannya. Dengan langkah pasti, Faris pun menyusuri jalan setapak berbatu yang semakin lama semakin menanjak.



Kang Faris, begitulah biasanya ia disapa adalah seorang penjual nasi uduk. Pekerjaan itu sudah dilakoninya selama hampir empat tahun. Uniknya, ia tidak menjual nasi uduk itu didepan rumah seperti yang biasa kita temukan di kota-kota. Namun, untuk menjualnya ia harus berjalan kaki selama dua sampai tiga jam ke lokasi penjualan setiap shubuh.

Faris adalah warga desa Gunung Putri Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Desa Gunung Putri sangat terkenal diantara pendaki gunung terutama di sekitaran Jabodetabek dan Jawa Barat. Sebab, desa di ketinggian ±1000 mdpl ini berada di kaki gunung Gede-Pangrango dan menjadi pos perijinan serta pintu masuk pendakian gunung Gede-Pangrango selain Cibodas.



Gunung Gede-Pangrango yang sudah dijadikan taman nasional sejat 1980 merupakan salah satu gunung yang paling sering didaki di Indonesia. Selain karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ibukota, hanya sekitar 100 km, jalur gunung Gede juga relatif mudah bagi pemula. Tentu juga karena pemandangann yang indah menawan.



Entah siapa yang memulai, beberapa warga desa Gunung Putri mulai memanfaatkan peluang bisnis yang menggiurkan seiring banyaknya pendaki yang memilih jalur Gunung Putri untuk mencapai puncak.



“Jalur Putri waktu tempuhnya relatif lebih pendek daripada Cibodas. Selain itu, para pendaki pengen nge-camp di Surya Kencana. Karena disana itu padang edelweiss. Bagus tempatnya,” ujar kang Budi, salah satu penjaga pos pendakian jalur Gunung Putri yang sering disebut ranger menanggapi banyaknya pendaki memilih jalur ini.



Beberapa orang warga kemudian menjadi penjual nasi uduk di alun-alun Surya Kencana. Kang Faris salah satunya. Pada malam hari, mereka memasak nasi uduk itu dirumah dan setelah subuh membawanya dan menjualnya di Surya Kencana.



“Setiap hari paling bawa 20 sampai 30 bungkus. Kalau lagi ramai kadang kita bisa bolak-balik” ujar kang Faris

Surya Kencana sendiri merupakan sebuah lembah datar seluas 50 hektar yang ditumbuhi bunga edelweiss. Jika sedang mekar, edelweiss ini terlihat cantik dan membuat Surya Kencana seperti berada di dunia lain. Ribuan edelweiss terhampar membuat paduan warna hijau dan kuning yang elegan. Ditambah lagi putihnya kabut terkadang ikut terbang rendah menutupi hijaunya pepohonan.



Namun, untuk mencapai Surya Kencana bukan perkara mudah. Tempat ini berada di ketinggian 2750 mdpl dan suhunya berkisar antara 10-180 celcius. Jika malam, akan turun menjadi 50 celcius. Tempat ini adalah basecamp terakhir sebelum puncak yang berada diketinggian 2958 mdpl. Disinilah biasanya para pendaki beristirahat dan mendirikan tenda sebelum menuju puncak.



Jarak tempuh dari pos pertama sampai Surya Kencana sekitar 7 km. Keterjalan jalurnya bervariasi antara 50-700. Lebih terjal dari jalur Cibodas. Sumber air hanya ada di pos pertama dan Surya Kencana. Biasanya, para pendaki menempuhnya dalam waktu 7 hingga 9 jam tergantung cuaca dan banyaknya rombongan.



Hebatnya, waktu terlama yang ditempuh kang Faris dan penjual nasi uduk lannya adalah 4 jam.

“Biasanya sih cuma 2 sampai 3 jam lah sampai Surya Kencana. Sudah biasa sih” ujar kang Faris dengan logat sundanya yang kental.



Dari segi kualitas, nasi uduk di Surya Kencana memang kurang memuaskan. Nasinya dingin dan hanya sedikit. Lauknya pun hanya sepotong kecil telur dadar, bihun dan sambal. Harganya Rp 5000/ bungkus. Namun, melihat jarak tempuh yang begitu melelahkan, rasanya nasi uduk itu terhitung sangat murah.



“Sepadanlah antara harga dan jerih payah tukang nasi uduk itu bawa kesini. Kita aja kemarin setengah mati untuk sampai Surya Kencana,” ujar Diki pendaki asal Tangerang.



Nah…jika suatu saat anda mendapat kesempatan mendaki gunung Gede lewat jalur Gunung Putri dan ngecamp di Surya Kencana, jangan kaget jika dipagi buta seorang pria melongok ke dalam tenda anda dan berteriak “Uduk…uduk”.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Kado Istimewa dari MK



Sejak zaman orde lama, pelarangan peredaran buku menjadi momok yang menakutkan bagi para penggiat intelektual. Menggunakan dalih keamanan negara, rezim Suharto pun dengan kewenangan penuh dapat menentukan mana buku yang layak dikonsumsi publik dan mana buku yang harus dibuang ke tong sampah.

Sayangnya, meskipun zaman dan rezim telah berganti, pelarangan peredaran buku masih mungkin dilakukan. Hal ini karena meskipun kesadaran pemerintah dan publik sudah sedikit tercerahkan, dari segi hukum tata negara perihal pelarangan peredaran buku ini masih sah dan legal diatur oleh undang-undang.

Dalam Pasal 1 UU No 4/PNPS/1963 tentang pelarangan Barang-barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum Juncto Pasal 30 Huruf C UU No 16/PNPS/1963 Tentang Kejaksaan disebutkan bahwa Kejaksaan Agung mempunyai hak untuk melarang peredaran buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.

Ini tentu saja sangat berbahaya bagi perkembangan paradigma intelektual di Indonesia. Memang sejak tahun 1998 sampai 2005 tidak satupun buku yang dilarang oleh Jaksa Agung. Namun sejak tahun 2006 sampai 2009 setidaknya ada 22 buku yang dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung. Hal ini sangat kontradiktif mengingat pada tahun yang sama, perumusan kedua UUD 1945 disahkan. Dalam pasal 28 UUD 1945, kebebasan mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan tulisan sangat dijamin. Apalagi sejak tahun 2005 pemerintah juga sudah turut merativikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.

Namun akhirnya, angin segar berhembus dari gedung Mahkamah Konstitusi (MK). MK akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU No 4/PNPS/1963 dan membatalkan kewenangan kejaksaan Agung dalam melarang peredaran buku. MK berpendapat Pasal 1 sampai 9 UU No 4/PNPS/1963 inkonstusional karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1).

Sejak bulan Februari lalu, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, penulis buku “Lekra Tidak Membakar Buku” memang melakukan judicial review atas UU No 4/PNPS/1963. Sebelumnya Darmawan penulis buku “Enam Jalan Menuju Tuhan” juga sempat mengajukan permohonan pengujian UU No 16 /PNPS/1963 Tentang Kejaksaan.

Ini tentu saja sebuah keputusan yang harus diapresiasi. Pelarangan peredaran buku merupakan ciri bangsa yang otoriter. Tindakan itu menggambarkan langkah pengecut dalam menghadapi arus informasi yang tidak bisa lagi dibendung.

Selama orde baru, entah sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus buku yang dilarang oleh Jaksa Agung peredarannya. Meski begitu, nyatanya buku-buku terlarang itu tak pernah benar-benar hilang ditelan zaman. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh nyata bagaimana sebuah buku bisa survive lewat peredarannya yang tersembunyi. Sungguh menggelikan membayangkan di zaman modern ini untuk transfer pengetahuan lewat buku harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti bertransaksi narkoba.

Kita tentu sepakat, bahwa cara terbaik melawan buku kontroversial adalah dengan buku pula. Riset harus dibalas dengan riset. Dengan memberikan kewenangan bagi Jaksa Agung untuk melarang peredaran buku yang secara subjektif dianggap meresahkan masyarakat, maka akan tercipta monoversi kebenaran.

Padahal untuk membangun sebuah bangsa yang berperadaban dibutuhkan unsur-unsur penyeimbang. Polemik selalu dibutuhkan dalam proses dialektika menuju perubahan. Jika gagasan-gagasan yang sedikit berbeda selalu disingkirkan sebelum dinilai publik, maka monopoli kebenaran akan selalu terjadi. Sejarah adalah hasil karya pihak penguasa. Itu telah dibuktikan oleh banyak bangsa di dunia.

Meski sudah sangat terlambat, keputusan MK untuk membatalkan kewenangan Kejaksaan dalam melawan buku merupakan kado yang istimewa. Memang pelarangan buku masih mungkin dilakukan. Namun mekanismenya harus melalui proses pengadilan.

Dalam proses di pengadilan, para penulis buku yang digugat bisa mempertahankan argumennya. Disinilah sesungguhnya letak jalan tengah antara wacana demokrasi dan dalih keamanan negara. Dalam proses persidangan akan tercipta debatable academic sehingga bisa dihindari monopoli tafsir terutama oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak berkompeten.

Meskipun keputusan masih tetap ditangan hakim, mekanisme ini dirasa lebih adil karena publik bisa turut serta dalam proses perdebatan itu dan arus informasinya tidak terputus. Selama ini gape informasi seringkali terjadi karena buku-buku yang mengangkat isu sensitif hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Yang menjadi PR kita selanjutnya adalah mengawasi agar peredaran buku-buku di Indonesia ini tetap terjamin keselamatannya. Meskipun mekanisme pelarangan peredaran buku telah diatur sedemikian rupa, pengkerdilan informasi lewat buku masih bisa dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab dengan cara-cara kotor.

Buku “Gurita Cikeas” karya George Junus Aditjondro adalah contoh nyata. Meskipun buku itu tidak dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung, “Gurita Cikeas” sempat menghilang dari pasaran hingga menjadi begitu langka. Publik tentu menjadi bertanya-tanya apa yang terjadi dibalik menghilangnya buku tersebut. Jangan sampai istilah “pembonsaiaan politik” juga dipakai sebagai “pembonsaiaan informasi”.

Kedepannya kita tentu berharap, keputusan MK ini menjadi pelestari keberagaman Indonesia yang tidak hanya terlihat dari agama, etnis dan budaya saja tapi juga dari segi ide dan gagasan sekaligus sebagai tonggak awal cita-cita luhur untuk mencerdaskan bangsa sesuai yang diamanatkan oleh Mukaddimah UUD 1945.

Sabtu, 02 Oktober 2010

Asa Baru TNI

Sumber; www.rebuplika.co.id


Dengan pembacaan Keputusan Presiden (Keppres) no.51/TNI/2010 tentang pengangkatan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Agus Suhartono menjadi panglima TNI menggantikan Djoko Santoso dan Keppres no.52/TNI/2010 tentang pengangkatan Laksamana Madya Soeparno menggantikan posisi yang ditinggalkan Agus Suhartono sebagai KSAL di Istana Negara (28/9) maka asa baru menaungi institusi TNI.

Agus Suhartono yang merupakan jebolan Akademi kelautan tahun 1978 disetujui secara bulat oleh DPR dengan beberapa catatan. Pertama, tentang persoalan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Tentu masih segar dalam ingatan kita kasus jatuhnya beberapa pesawat milik TNI yang diduga karena minimnya peremajaan terhadap persenjataan tempur itu.

Untuk tahun ini DPR menganggarkan 40,6 triliun atau naik sekitar 7 triliun tah dari tahun kemarin. Dengan terbatasnya anggaran, TNI tentu saja harus mempunyai skala prioritas. Jangan sampai TNI salah menentukan mana senjata yang harus dibeli. Apalagi jika sampai terjadi kebocoran anggaran.

Sebagai institusi yang dibiayai oleh APBN, maka TNI berperan sebagai instusi publik. Dan mengacu pada UU.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap Institusi publik wajib melaporkan segala anggaran yang dikeluarkannya kepada publik secara jelas dan transparan. Memang dalam UU tersebut ada pengecualian jika informasi keuangan itu menyangkut keamanan Negara maka kewajiban untuk melaporkan keuangan itu menjadi batal. Namun kita tentu berharap agar pengecualian itu tidak dijadikan alasan untuk melakukan kecurangan-kecurangan dengan alasan keamanan Negara.

Selanjutnya program pembangunan minimum essential force (MEF) bisa terus dijalankan untuk menyiasati Secara sederhana MEF sendiri adalah program pembangunan pertahanan dan persenjataan yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran. Program jangka panjang ini merupakan program utama yang diwariskan Djoko Santoso kepada panglima baru selain reformasi ditubuh TNI.

Kedua, soal reformasi ditubuh TNI termasuk didalamnya soal profesionalisme dan netralitas TNI sebagai alat ketahanan negara. Sejarah memang telah membuktikan loyalitas TNI terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setidaknya TNI tidak pernah melakukan kudeta langsung terhadap pemerintahan seperti yang terjadi di beberapa Negara. Namun TNI tetap saja masih rawan menjadi alat kepentingan politik setiap Pemilihan Umum (Pemilu). Hal ini tentu saja akan mencederai proses demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia.

Bahkan beberapa saat yang lalu sempat timbul wacana mengenai hak memilih TNI dalam Pemilu pada rapat pembahasan revisi UU. No.10 tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPRD dan DPD di DPR RI. Ini merupakan satu indikasi bahwa masih ada pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan institusi TNI dalam persaingan Pemilu 2014.

Memang di beberapa Negara maju, Tentara Nasionalnya diperbolehkan untuk memilih dalam pemilu. Namun, melihat watak dan ciri khas TNI yang masih kental aura patronase akan menjadi sangat berbahaya bagi demokrasi. Bayangkan jika ratusan ribu anggota TNI diarahkan oleh sang pucuk pimpinan untuk memilih partai tertentu. Rasanya, wacana untuk memberikan hak memilih bagi anggota TNI terlalu beresiko bagi demokrasi di Indonesia.

Memang setelah pelantikannya sang panglima baru telah berjanji untuk menjaga netralitas TNI dalam pemilu. Namun dalam revisi paket UU. Paket pemilu yang saat ini masih terus dibahas DPR harus terus dikawal ketat. Jangan sampai publik kecolongan oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan TNI sebagai pendulang suara 2014 nanti.

Ketiga, tentang wilayah perbatasan dan rawan konflik dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia. Sebagai alat utama pertahanan Negara, TNI harus bisa menunjukkan wibawanya kepada Negara tetangga. Hal ini menjadi penting mengingat Negara kita sering sekali bergesekan dengan Negara tetangga. Sebagai Negara maritim, daerah kelautan Indonesia terutama di selat Malaka menjadi begitu rawan. Dalam hal ini TNI AL memegang porsi tugas lebih.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga wilayah perbatasan mulai dari menambah persenjataan dan peningkatan personel di perbatasan, menindak tegas para pencuri ikan dari luar negri yang memasuki wilayah Indonesia tanpa izin hingga memberdayakan masyarakat lokal untuk ikut serta dalam menjaga wilayah perbatasan. Hal ini tentu saja harus dimulai dengan meningkatkan kebanggaan masyarakat perbatasan sebagai bagian dari NKRI.

Semua upaya itu akan berjalan lancar jika berbanding lurus dengan politik luar negri yang dijalankan Indonesia. Kita tentu berharap tidak terjadi lagi diplomasi antara pemerintahan Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pasca insiden penangkapan anggota Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang terlihat begitu lembek dan tidak menunjukkan kebanggan sebagai sebuah Negara besar.

Keempat, perihal kesejahteraan prajurit. Berbagai program yang dijalankan TNI akan jalan ditempat jika kesejahteraan prajurit tidak diperhatikan. Seperti yang kita ketahui bersama, prajurit TNI harus bertugas mempertahankan keutuhan Negara dengan taruhan nyawa. Para prajurit ini seringkali harus bertugas keluar daerah dalam jangka waktu yang cukup lama meninggalkan keluarga. Maka kesejahteraan garda depan Negara ini tidak boleh disepelekan.

Namun hal ini tentu saja dengan pertimbangan dan perhitungan yang jelas. Jangan sampai program kesejahteraan bagi prajurit ini di jadikan tameng untuk memperkaya para pembesar TNI. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa transparansi sangat diperlukan publik di era yang penuh dengan para koruptor ini.

Selain empat catatan dari DPR diatas, ada beberapa catatan tambahan yang harus diperhatikan oleh panglima baru TNI. Pertama, soal pola komunikasi antara TNI dan POLRI terutama dalam soal pemberantasan terorisme. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) no. 46 Tahun 2010 telah diatur Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Lembaga Pemerintah non-kementrian yang bertanggungjawab langsung kepada presiden ini diisi oleh Satuan-81 Gultor Kopassus, tiga batalyon Raider, Peleton Intai Tempur Kostrad dari TNI AD, Detasemen Jalamangkara (Denjaka) dari TNI AL, Detasemen Bravo 90 dari TNI AU dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri.

Bergabungnya pasukan-pasukan terbaik dalam satu badan ini terkadang malah membuat arogasi institusi mencuat. Komunikasi yang intens antar lembaga TNI-Polri mutlak diperlukan agar tidak terjadi konflik internal. BNPT harus bisa meredam ego lembaga demi memberantas terorisme yang kian marak saja.

Kedua, tentang dosa-dosa masa lalu TNI. Patut dicatat, Daerah Operasi Militer (DOM) yang pernah diterapkan di Aceh dan Timor-Timor masih menyisakan luka mendalam bagi masyarakat setempat. Belum lagi kasus Talangsari, Tanjung Priok dan kasus penembakan serta penghilangan paksa mahasiswa dan aktivis tahun 1998. Ada indikasi pelanggaran HAM serius pada kasus tersebut.

Memang sulit untuk mengusut tuntas kasus tersebut mengingat fakta dan datanya yang saling tumpang tindih dengan berbagai kepentingan. Harus ada kemauan keras dari pemerintah untuk mencari dalang dibalik peristiwa tersebut. Mengingat keluarga dan masyarakat luas masih menanti kejelasan kisah pilu dari masa lalu itu.

Akhirnya, kita berharap pengangkatan Laksamana Agus Suhartono sebagai panglima baru TNI ini memberikan asa baru bagi TNI. Selamat bertugas semoga TNI mampu menjadi garda terdepan Negara yang bersih dan berwibawa.

Minggu, 26 September 2010

Sengketa Agraria dan Pengentasan Kemiskinan

Sumber: www.rimanews.com



Jumat 24 September 2010 ribuan orang petani turun ke jalan-jalan di ibukota untuk memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang jatuh pada hari itu. 24 September 50 tahun silam, merupakan tonggak perjuangan petani Indonesia. Sebab pada hari itulah disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU.PA).

Dengan usianya yang sudah setengah abad ini, UU. PA nampaknya belum menjadi pijakan bagi pengambil kebijakan di negri ini. Terbukti dengan masih banyaknya permasalahan yang dialami petani. Mulai dari tidak tersedianya lahan, harga bibit dan pupuk yang melangit, harga jual hasil panen yang rendah hingga masalah yang rawan namun seringkali diabaikan, sengketa agraria.

Jika dicermati lebih lanjut, sengketa agraria seringkali disertai dengan kekerasan dan penangkapan terhadap petani kecil. Menurut data yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), dari tahun 2000-Juni 2010 sedikitnya ada 1012 kasus sengketa yang melibatkan petani dan nelayan di Indonesia (Kompas, 29 Juli 2010). konflik agraria biasanya terjadi antara petani dengan perusahaan besar dan sudah terjadi puluhan tahun tanpa ada penyelesaian. Akibatnya, sengketa agraria cenderung disertai pelanggaran HAM terhadap petani.

Dalam banyak kasus, kekerasan ini dilakukan oleh aparat kepolisian. Mulai dari kasus penembakan petani di Desa Rengas, Ogan Ilir Sumsel, Buton Sulawesi Tenggara, Banggai Sulawesi Tengah, dan Kuala Senggigi Riau. Tak kurang dari 80 orang petani meninggal dalam aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama semester pertama tahun 2010 di seluruh Indonesia.

Jika disederhanakan, konflik agraria bermuara pada perebutan hak kepemilikan dan hak pengusahaan atas tanah sebagai sumber penghidupan. Pada awalnya, kepemilikan tanah di mana pun di dunia ini dimulai dengan kemampuan manusia dalam menggarap dan membuka tanah terlantar untuk penghidupannya. Asumsinya, kepemilikan tanah ditentukan oleh tanaman yang ditanam di atasnya.

Dalam semangat seperti inilah UU. PA terlahir. Undang-Undang inilah yang menjadi pedoman pengelolaan agraria sekaligus menjadi undang-undang payung hukum bagi UU agraria lain yang terbit setelahnya. Sayangnya, selama masa Orde Baru, UU PA ini dipetieskan dan keberadaannya antara ada dan tiada. Hal ini karena meskipun tidak dihapuskan, UU ini tidak lagi digunakan dan menerbitkan UU yang bertolak belakang dengan UU PA seperti UU Penanaman Modal Asing (UU PMA), UU perkebunan, dan UU Sumberdaya Air.

Dengan lahirnya UU PMA, perusahaan-perusahaan agribisnis berskala besar mulai berinvestasi membuka perkebunan berorientasi ekspor seperti sawit, karet, tebu, dan sebagainya. Dalam prosesnya, lahan yang dialihkan menjadi perkebunan seringkali merupakan lahan produktif para petani kecil. Dengan menggandeng pejabat dan aparat setempat, perusahaan-perusahaan ini memaksa warga melepaskan tanah mereka tanpa ganti rugi ataupun dengan ganti rugi yang tidak rasional.

Sebagai contoh, dalam proses advokasi sengketa agraria yang terjadi antara PT. Perkebunan Nusantara VII (PT.PN VII) dan masyarakat Ogan Ilir Sumsel diketahui bahwa proses ganti rugi yang dilakukan PTPN VII pada tahun 1982 disertai dengan intimidasi oleh militer. Selain itu, hanya lahan yang ada tanam tumbuhnya dan lahan yang bersertifikat saja yang diganti rugi, sebesar Rp. 150.000/ha. Padahal dalam PP no 24 tahun 1997 ditegaskan bahwa surat-surat tanah bukan satu-satunya pedoman kepemilikan tanah.

Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa baru 30 % tanah di Indonesia yang sudah bersertifikat. Oleh karena itu UU Pokok Agraria menjelaskan, bahwa hak yang paling tinggi merupakan hak milik, yaitu hak turun temurun. Hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang hanya bisa dimiliki warga negara Indonesia.
Program Pembaruan Agraria Nasional

Sengketa Agraria yang disertai dengan kekerasan terhadap petani ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Hampir diseluruh negara bercorak agraris pernah mengalami konflik serupa. Hal ini disebabkan pasca berakhirnya masa-masa penjajahan, struktur agraria di negara-negara bekas jajahan ini sangatlah timpang. Ada satu orang yang menguasai ratusan bahkan ribuan hektar tanah, disisi lain banyak yang tidak punya tanah sama sekali sehingga hanya menjadi buruh tani.

Melihat permasalahan tersebut, reforma agraria (landreform) menjadi agenda mendesak yang sangat penting. Dalam sebuah dokumen penting Bank Dunia yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP), Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.

Reforma agraria sebenarnya juga sudah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2007 lewat Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sebelumnya, pemerintah juga sudah mengeluarkan Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun seperti yang sudah diduga sebelumnya implementasi dari program penting tersebut sangat minim.

Reforma agraria sejati, berprinsip pada penataan ulang ketimpangan kepemilikan tanah. Esensi dari reforma agraria adalah membagikan tanah kepada para petani kecil dan tak bertanah dengan seadil mungkin. Dari sini, tentu saja dibutuhkan kemauan politik yang sangat kuat dari pemerintah.

Dengan menjalankan reforma agraria, kita akan merasakan efek domino. Pertama, reforma agraria akan memberikan kesejahteraan pada para petani tak bertanah di pedesaan. Kedua, Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga memuluskan kenaikan perekonomian nasional. Ketiga, Dengan tersedianya lapangan pekerjaan di pedesaan maka secara otomatis akan menekan angka urbanisasi. Sehingga penumpukan penduduk di Ibukota dan kota-kota besar lainnya bisa ditekan. Keempat, Dengan menurunnya angka urbanisasi maka permasalahan-permasalahan sosial seperti kriminalitas, kemacetan, polusi, kaum gelandangan dan pengemis di kota-kota besar lebih mudah diatasi. Kelima, Pengelolaan tanah oleh para petani kecil, ikut berdampak pada pengurangan emisi demi menjaga suhu bumi. Hal ini karena, petani berbasis keluarga biasanya mengguanakan teknologi sederhana yang ramah lingkungan. Keenam, reforma agraria akan menyelesaikan sengketa-sengketa agraria yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga tingkat pelanggaran HAM terhadap petani bisa dikurangi.

Sabtu, 25 September 2010

Urbanisasi dan Reforma Agraria




Untuk menjawab persoalan Urbanisasi, tentu kita harus mengetahui latar belakang dari terjadinya urbanisasi itu sendiri. Urbanisasi pada dasarnya diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan ini biasanya bersifat masif dan berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Orang-orang dari berbagai daerah berdatangan ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung maupun Surabaya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Ada dua hal yang membuat Urbanisasi kini menjadi masalah. Pertama, Setiap tahunnya tingkat urbanisasi semakin meningkat. Hal ini membuat kota-kota besar tak lagi mampu menampung arus kaum urban yang ingin mencari pekerjaan. Jakarta misalnya, pada malam hari penduduknya mencapai 8,5 juta jiwa dan akan lebih membludak lagi pada siang hari mengingat datangnya para pekerja dari kota-kota satelit seperti Tangerang, Depok maupun Bekasi. Maka wajar saja jika kemudian ada wacana pemindahan ibukota, sebab dengan kepadatan hampir 13000 jiwa/km2 Jakarta tentu saja sudah kelebihan muatan.

Kedua, Banyak dari warga daerah yang melakukan Urbanisasi ini tidak dibekali pendidikan dan ketrampilan yang memadai. Mereka hanya bermodalkan kenekatan dan bayang-bayang akan perubahan nasib yang akan mereka dapatkan di kota besar. Sayangnya, kehidupan keras di perkotaan membuat persaingan menjadi tidak rasional dan akhirnya bukan kesejahteraan yang diperoleh malah kesengsaraan.

Berbagai faktor urbanisasi inilah yang kini ditenggarai menjadi pemicu permasalahan sosial di kota-kota besar. Mulai dari kemacetan, tingginya angka kriminalitas, menjamurnya pemukiman kumuh di bantaran sungai dan rel-rel kereta, pedagang kaki lima dikawasan terlarang, praktek prostitusi, hingga beredarnya kaum gelandangan dan pengemis anak-anak dan lansia.

Berbagai permasalahan diatas, memang mau tak mau akan dihubungkan dengan urbanisasi. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah. Mulai dari penggusuran, razia KTP dan gepeng, hingga mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang menuai kontroversi karena salah satu isinya melarang siapapun untuk memberikan sumbangan bagi gelandangan, pengemis, pengamen dan pengelap mobil.

Sayangnya, berbagai upaya itu nampaknya tidak berhasil untuk menekan angka urbanisasi. Sebab, upaya-upaya tersebut hanya menyentuh kulit luarnya saja tanpa mengkaji lebih dalam latar belakang dari urbanisasi itu sendiri.

Mengapa orang-orang sampai melakukan urbanisasi?..pertanyaan itulah yang harus dijawab terlebih dulu jika kita memang ingin mengatasi persoalan urbanisasi. Kebanyakan kaum urban beralasan ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar. Lantas mengapa mereka ingin mencari pekerjaan dikota-kota besar meski tentu mereka tahu segala resikonya ? Tentu ini bukan sekedar mencari pengalaman belaka. Hal ini ternyata disebabkan karena didaerah mereka sudah sulit mencari pekerjaan. Kata kunci inilah yang harus dipahami oleh semua pihak.

Negara kita adalah Negara agraris, hampir seluruh masyarakat yang tinggal di pedesaan bekerja sebagai petani. Kecuali yang tinggal dikawasan pantai tentu saja. Sayangnya, masih ada jutaan petani gurem diluar sana yang hanya menguasai 0,5 ha untuk penghidupannya. Disisi lain, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta ha lahan produktif di Indonesia. Ini tentu saja sebuah ironi.
Ketimpangan dalam pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria inilah yang sebenarnya mengakibatkan tingkat urbanisasi begitu tinggi setiap tahunnya. Sebab, lahan-lahan produktif para petani ini banyak yang dialihfungsikan menjadi perumahan, pabrik-pabrik maupun menjadi lahan perkebunan perusahaan-perusahaan besar yang berorientasi ekspor. Jadi wajar saja jika masyarakat pedesaan memilih hijrah ke perkotaan karena memang mereka tidak memiliki pekerjaan atau hanya menjadi buruh tani yang penghasilannya jauh dari cukup.

Sebenarnya, pemerintah sudah pernah menelurkan program yang berpotensi menekan angka urbanisasi. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan tahun 2007 lalu. Pada intinya, PPAN bertujuan membagikan 9,3 juta hektar tanah terlantar kepada para petani di pedesaan. Jika satu Kepala keluarga mendapat jatah 2 hektar, maka akan ada lebih dari 4,5 juta KK yang akan terselamatkan dan mendapat pekerjaan.

Sayangnya, Program ini hanya tinggal program belaka. Sampai sekarang belum ada realisasinya. Maka wajar saja jika angka kemiskinan di pedesaan yang berujung pada urbanisasi dan akhirnya mengakibatkan permasalahan sosial diperkotaan tak kunjung usai. Daripada repot-repot melakukan penggusuran disana-sini yang bertentangan dengan nurani tentu akan lebih bijaksana jika pemerintah kembali menggalakkan program Pembaruan Agraria Nasional ini untuk menekan angka pengangguraan di pedesaan.

Nb: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia (25 September 2010)

Selasa, 23 Maret 2010

Ruang Publik Dalam Dunia Maya



Dalam bahasa Jurgen Habermas, negri ini mempunyai sebuah ruang publik yang menyimpan kekuatan-kekuatan demokratis. Ruang publik ini bersifat independen dan bersih dari intervensi-intervensi. Didalamnya suara-suara rakyat saling berkomunikasi dan berwacana demi satu cita-cita luhur, demokrasi deliberatif.

Demokrasi deliberatif yang menjadi wacana Habermas sebagai efek berjalannya ruang publik akan mengakomodir dan meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pembentukan aspirasi dan opini, agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.

Namun dalam kenyataannya, ruang publik yang terlembaga dalam DPR RI seperti kehilangan perannya sehingga kebijakan-kebijakan yang dilahirkan tidak lagi legitimate. Dalam kasus terbaru perseteruan antara POLRI vs KPK saja DPR terlihat memble. Suara-suara yang dilontarkan masyarakat dari balik megahnya gedung perwakilan rakyat yang menuntut penyelesaian kasus dugaan kriminalisasi KPK hanya ditanggapi sekilas dan setelah itu hilang begitu saja. Hal ini menandakan bahwa intensitas partisipasi masyarakat tidak mendapatkan tempat.

Tak heran jika fenomena yang muncul saat ini, masyarakat lebih suka menyuarakan aspirasinya lewat dunia maya. Dalam kasus Chandra Hamzah-Bibit S. Riyanto saja lebih dari 1000.000 orang Facebooker turut berpartisipasi. Belum lagi jutaan komentar, status dan artikel yang tersebar di berbagai situs seperti Facebook, Twitter maupun Blog.

Hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari revolusi media pada paruh abad ke-20. Bermula dari perkembangan teknologi komunikasi sejak masa Yunani hingga penemuan mesin cetak oleh Gutenberg, pola komunikasi memang selalu berubah sebagai efek revolusi industri. Ditambah lagi dengan merajalelanya internet, kini dunia sudah menjadi global village (kampung global).

Dalam unsur komunikai, source, message, channel, receiver (SMCR), internet memang menjadi channel atau saluran komunikasi yang paling mudah dan murah bagi terlaksananya komunikasi horizontal antar masyarakat maupun komunikasi vertikal dari masyarakat kepada kaum elite politik. Ketika ruang publik DPR dibungkam dan media-media seperti koran dan TV tidak lagi objektif, internet memang bisa menjadi tempat pelarian yang pas. Sikap kritis yang dilontarkan masyarakat lewat dunia maya membuat batas-batas ruang publik itu tak lagi kentara.

Gejala-gejala yang muncul memang sudah mengubah persepsi orang tentang konsep media. Televisi dan koran kini tak lagi menjadi arus utama. Internet yang menjanjikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi menjadi tempat menjamurnya beragam fenomena sosial di masyarakat. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang akan muncul gerakan-gerakan grasroot lewat pemanfaatan dunia maya.

Dengan mengarus-utamanya internet dalam kehidupan sehari-hari bukan tidak mungkin masyarakat akan terjebak periode akhir sosial di mana manusia tidak lagi merasa nyata. Jika sudah begitu, pergerakan dalam ranah praksis akan semakin berkurang. Padahal dunia akan menjadi tidak seimbang jika suara-suara kritis dan pergerakan sosial hanya terkonsentrasi di wilayah virtual.

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah untuk mempertimbangkan fungsi yang dijalankan dunia maya sebagai pranata sosial. Sebab suara-suara kritis masyarakat yang terdengar dari balik layar monitor yang membuat dunia semakin sempit itu adalah suara rakyat yang peduli terhadap bangsanya. Selain itu, pemerintah juga harus membuka kembali keran-keran komunikasi vertikal yang selama ini tersumbat beragam kepentingan. Hal ini menjadi penting agar kasus penangkapan Prita Mulyasari dalam kasus dengan RS Omni International beberapa waktu lalu yang berusaha menjalankan parlemen online tak lagi terulang.

Seputar Indonesia 18 November 2009

Sabtu, 02 Januari 2010

Keputusan Gegabah FTA Asean-Cina

Sumber: www.cerasis.com


BERAWAL dari konsensus Washington, neoliberalisme mencakup tiga hal yang menjadi senjata utama kaum neoliberalis yaitu liberalisasi,deregulasi, dan privatisasi. Liberalisasi perdagangan berarti meniadakan segala hambatan dan proteksi yang dilakukan sebuah negara terhadap barang-barang yang masuk ke wilayahnya.

Bagi negara-negara maju, ini tentu sebuah keuntungan besar sebab barang-barang dari negara maju yang menyerbu masuk ke negara berkembang jelas lebih berkualitas dan akan menguasai pasar setempat. Ditambah lagi dengan iklan-iklan yang menggiurkan, kini barang-barang dari negara maju menjelma menjadi barang yang diburu meskipun tidak terlalu diperlukan konsumen. Lantas apa dampak dari liberalisasi ini bagi negara berkembang? Dalam kasus Indonesia,liberalisasi berarti Indonesia mengekspor bahanbahan mentah dengan murah ke negara maju untuk kemudian dijadikan barang jadi dan diimpor lagi ke Indonesia dengan harga selangit.

Hal inilah yang membuat negara maju berambisi mengeksploitasi Indonesia untuk diambil sumber barang mentahnya sekaligus dijadikan pangsa pasar yang menggiurkan bagi negara maju. Negara maju bahkan hanya memoles sedikit barang mentah dari Indonesia. Akibatnya, industri manufaktur dalam negeri kocar-kacir. Belum lagi perilaku konsumerisme yang turut melanda masyarakat. Jika Indonesia terus mau didikte untuk meliberalisasi berbagai sektor industrinya, Indonesia akan kebanjiran produk luar negeri yang akhirnya akan membuat industri dalam negeri gulung tikar. Jika sudah begitu, angka pengangguran akan meningkat.

Peningkatan angka pengangguran tentu saja akan mendongkrak angka kemiskinan pula. Sayangnya, saat ini pemerintah malah meneken perjanjian FTA ASEAN-China per 1 Januari 2010.Hal itu berarti terhitung 1 Januari 2010 produk-produk China akan menyerbu pasar dalam negeri. Ketika industri dalam negeri baru mulai berbenah setelah diterjang krisis global, mereka juga diharuskan untuk bertarung melawan gempuran produk dari China. Kekhawatiran seperti inilah yang membuat pelaku ekonomi dari berbagai sektor industri dalam negeri menolak FTA ASEAN-China. Sementara itu, China menyetujui FTA ini.

China sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi paling konsisten di dunia hingga angka 10 % per tahun tentu saja mempunyai kapasitas produksi yang besar.Barang-barang hasil produksi inilah yang akan mendapatkan pasarnya jika Indonesia menyetujui FTA ASEAN-China. Data perdagangan dengan China menyebutkan,Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan nonmigas USD1,3 miliar pada 2007 dan menjadi USD9,2 miliar pada 2008. Sedangkan pada kurun waktu Januari–Oktober 2009 saja,defisit sudah mencapai USD3,9 miliar.

Hal ini karena impor dari China sudah mencapai angka 17,2 % dari total impor nonmigas. Sedangkan China hanya menyerap 8,7% dari keseluruhan ekspor Indonesia. Dari data ini, pemerintah seharusnya tidak gegabah menyetujui FTA ASEAN-China.Kredibilitas Indonesia memang akan turun di mata dunia, namun menyelamatkan industri dalam negeri yang sama artinya dengan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan tentu saja jauh lebih penting.

Dengan menyepakati FTA ASEAN-China sama saja menggali kuburan sendiri bagi Indonesia sekaligus menjawab perdebatan masa kampanye dulu tentang haluan apakah yang dianut? Ekonomi kerakyatan atau neoliberalisme.(*)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputarr Indonesia edisi Sabtu, 2 Januari 2010