Sabtu, 25 September 2010

Urbanisasi dan Reforma Agraria




Untuk menjawab persoalan Urbanisasi, tentu kita harus mengetahui latar belakang dari terjadinya urbanisasi itu sendiri. Urbanisasi pada dasarnya diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan ini biasanya bersifat masif dan berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Orang-orang dari berbagai daerah berdatangan ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung maupun Surabaya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Ada dua hal yang membuat Urbanisasi kini menjadi masalah. Pertama, Setiap tahunnya tingkat urbanisasi semakin meningkat. Hal ini membuat kota-kota besar tak lagi mampu menampung arus kaum urban yang ingin mencari pekerjaan. Jakarta misalnya, pada malam hari penduduknya mencapai 8,5 juta jiwa dan akan lebih membludak lagi pada siang hari mengingat datangnya para pekerja dari kota-kota satelit seperti Tangerang, Depok maupun Bekasi. Maka wajar saja jika kemudian ada wacana pemindahan ibukota, sebab dengan kepadatan hampir 13000 jiwa/km2 Jakarta tentu saja sudah kelebihan muatan.

Kedua, Banyak dari warga daerah yang melakukan Urbanisasi ini tidak dibekali pendidikan dan ketrampilan yang memadai. Mereka hanya bermodalkan kenekatan dan bayang-bayang akan perubahan nasib yang akan mereka dapatkan di kota besar. Sayangnya, kehidupan keras di perkotaan membuat persaingan menjadi tidak rasional dan akhirnya bukan kesejahteraan yang diperoleh malah kesengsaraan.

Berbagai faktor urbanisasi inilah yang kini ditenggarai menjadi pemicu permasalahan sosial di kota-kota besar. Mulai dari kemacetan, tingginya angka kriminalitas, menjamurnya pemukiman kumuh di bantaran sungai dan rel-rel kereta, pedagang kaki lima dikawasan terlarang, praktek prostitusi, hingga beredarnya kaum gelandangan dan pengemis anak-anak dan lansia.

Berbagai permasalahan diatas, memang mau tak mau akan dihubungkan dengan urbanisasi. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah. Mulai dari penggusuran, razia KTP dan gepeng, hingga mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang menuai kontroversi karena salah satu isinya melarang siapapun untuk memberikan sumbangan bagi gelandangan, pengemis, pengamen dan pengelap mobil.

Sayangnya, berbagai upaya itu nampaknya tidak berhasil untuk menekan angka urbanisasi. Sebab, upaya-upaya tersebut hanya menyentuh kulit luarnya saja tanpa mengkaji lebih dalam latar belakang dari urbanisasi itu sendiri.

Mengapa orang-orang sampai melakukan urbanisasi?..pertanyaan itulah yang harus dijawab terlebih dulu jika kita memang ingin mengatasi persoalan urbanisasi. Kebanyakan kaum urban beralasan ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar. Lantas mengapa mereka ingin mencari pekerjaan dikota-kota besar meski tentu mereka tahu segala resikonya ? Tentu ini bukan sekedar mencari pengalaman belaka. Hal ini ternyata disebabkan karena didaerah mereka sudah sulit mencari pekerjaan. Kata kunci inilah yang harus dipahami oleh semua pihak.

Negara kita adalah Negara agraris, hampir seluruh masyarakat yang tinggal di pedesaan bekerja sebagai petani. Kecuali yang tinggal dikawasan pantai tentu saja. Sayangnya, masih ada jutaan petani gurem diluar sana yang hanya menguasai 0,5 ha untuk penghidupannya. Disisi lain, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta ha lahan produktif di Indonesia. Ini tentu saja sebuah ironi.
Ketimpangan dalam pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria inilah yang sebenarnya mengakibatkan tingkat urbanisasi begitu tinggi setiap tahunnya. Sebab, lahan-lahan produktif para petani ini banyak yang dialihfungsikan menjadi perumahan, pabrik-pabrik maupun menjadi lahan perkebunan perusahaan-perusahaan besar yang berorientasi ekspor. Jadi wajar saja jika masyarakat pedesaan memilih hijrah ke perkotaan karena memang mereka tidak memiliki pekerjaan atau hanya menjadi buruh tani yang penghasilannya jauh dari cukup.

Sebenarnya, pemerintah sudah pernah menelurkan program yang berpotensi menekan angka urbanisasi. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan tahun 2007 lalu. Pada intinya, PPAN bertujuan membagikan 9,3 juta hektar tanah terlantar kepada para petani di pedesaan. Jika satu Kepala keluarga mendapat jatah 2 hektar, maka akan ada lebih dari 4,5 juta KK yang akan terselamatkan dan mendapat pekerjaan.

Sayangnya, Program ini hanya tinggal program belaka. Sampai sekarang belum ada realisasinya. Maka wajar saja jika angka kemiskinan di pedesaan yang berujung pada urbanisasi dan akhirnya mengakibatkan permasalahan sosial diperkotaan tak kunjung usai. Daripada repot-repot melakukan penggusuran disana-sini yang bertentangan dengan nurani tentu akan lebih bijaksana jika pemerintah kembali menggalakkan program Pembaruan Agraria Nasional ini untuk menekan angka pengangguraan di pedesaan.

Nb: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia (25 September 2010)

0 komentar:

Posting Komentar