|
Sumber: www.foxnews.com |
Dewasa ini, isu perubahan iklim telah menjadi isu yang sangat krusial tak hanya di dalam negri tapi juga dunia internasional. Hal ini tak dapat dipungkiri karena jutaan manusia di seluruh dunia merasakan secara langsung efek dari perubahan iklim tersebut. Baru-baru ini Eropa dan Amerika dilanda badai salju parah hingga melumpuhkan perekonomian. Belum lagi wilayah Asia dan Oceania yang menjadi langganan banjir.
Pada dasarnya, hampir semua orang tahu bahwa perubahan iklim secara abnormal ini di akibatkan oleh pemanasan global (global warming) akibat efek Gas Rumah Kaca (GRK). Konsentrasi GRK yang tinggi di atmosfir mengakibatkan panas matahari terperangkap sehingga mengakibatkan kenaikan suhu bumi. Global warming inilah yang menyebabkan kacaunya iklim di bumi.
Semakin tingginya emisi GRK, merupakan konsekuensi logis dari model pembangungan yang selama ini dilakukan. Terhitung semenjak revolusi industri negara-negara maju di berbagai belahan dunia telah mengotori bumi dengan kemajuan teknologi. Penggunaan batu bara dan minyak bumi untuk kendaraan dan listrik, serta deforestasi yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian warga dunia membuat konsentrasi GRK meningkat.
Paradigma yang berkembang bahwa pembangunan ekuivalen dengan perusakan lingkungan inilah, yang membuat berbagai pihak seperti meremehkan efek perubahan iklim. Negara-negara berkembang enggan menurunkan emisinya yang berarti menurunkan laju pembangunan karena mereka masih miskin. Sementara negara-negara maju yang tergabung dalam annex 1 masih belum mau menurunkan emisinya secara tajam.
Dalam konteks kerangka kerja PBB atas konvensi perubahan iklim (UNFCCC), pihak annex 1 sebagai penyebab krisis iklim seharusnya wajib menurunkan emisinya lebih dulu barulah nanti diikuti negara berkembang. Hal ini di perlukan untuk menjamin prinsip keadilan iklim.
Satu-satunya perjanjian mengikat terkait perubahan iklim dalam skala internasional dalah protokol Kyoto. Protokol yang dirundingkan di Jepang pada tahun 1997 ini, memuat kewajiban-kewajiban negara-negara maju untuk menurunkan emisi GRK mereka. Sayangnya, tahapan pertama dari protokol Kyoto akan berakhir tahun 2012 dan sampai saat ini belum ada kesepakatan mengikat (legally binding) untuk meneruskan protokol Kyoto tahapan ke-2.
Pertemuan para pihak PBB (COP) ke-16 yang diadakan di Cancun Meksiko akhir tahun 2010 lalu belum juga menunjukkan gejala yang baik. Hal ini sebenarnya merupakan ekses dari perundingan COP-15 di Copenhagen yang hasilnya sangat jauh dari yang diharapkan. Jika pada awalnya COP-15 dimulai dengan optimisme yang begitu tinggi hingga memunculkan istilah “Hopenhagen”, nyatanya COP-15 ini hanya menghasilkan Copenhagen Accord yang kontroversial.
Maka tak heran jika COP-16 di Cancun kemarin dibuka dengan datar-datar saja. Tidak ada optimisme yang menggebu-gebu. Pihak-pihak terkait juga tidak berharap terlalu banyak di Cancun akan tercapai legally binding. Rupanya, pertemuan di Cancun ini lebih dimaksudkan sebagai restorasi saling percaya (trust restoration) antar warga dunia. Pasca kegagalan di Copenhagen, warga dunia memang mengalami krisis kepercayaan akibat perasaan saling curiga dan dikhianati.
Faktanya, Cancun memang berakhir tanpa solusi yang berarti. 200 delegasi negara yang hadir hanya menyepakati bahwa batas masksimal kenaikan suhu global di bumi adalah 2 %. Diatas angka tersebut, dunia akan mengalami perubahan iklim ekstrem yang akan sangat berbahaya bagi kehidupan di bumi. Soal pembiyaaan melawan perubahan iklim yang memang tidak murah, juga belum ada keputusan final. COP-16 hanya menyepakati akan menggelontorkan dana perubahan iklim tersebut tanpa menetapkan bagaimana memperoleh dana itu. Beberapa pihak menyatakan bahwa COP-16 di Cancun hanya menyelamatkan perundingan tanpa menyelamatkan iklim bumi itu sendiri.
Lantas bagaimana setelah Cancun?. Jika kita memperhatikan dua pertemuan terakhir di Copenhagen dan Cancun, rasanya sangat sulit untuk mengharapkan kemajuan signifikan terkait perubahan iklim. Tahun ini, beban berat akan dipikul warga dunia pada COP-17 di Durban Afrika Selatan. Pertemuan di Durban ini ibarat final yang akan sangat menentukan, apakah dunia pada akhirnya mempunyai kesepakatan mengikat setelah habisnya protokol Kyoto tahapan pertama 2012 nanti.
Mengingat bencana demi bencana yang terus melanda bumi akibat pemanasan global, sudah saatnya bagi semua pihak untuk mau berkontribusi menyelamatkan bumi. Durban tidak boleh lagi hanya menjadi titik singgah. Ia harus menjadi tempat dimana Amerika dan China sebagai penyumbang emisi terbesar harus mau menurunkan tingkat emisinya.
Proyek REDD+ di Indonesia
Semenjak COP-13 di Bali yang menghasilkan Bali Road Map, peran Indonesia sebagai negara kepulauan sekaligus pemilik hutan tropis, sangat penting dalam berbagai perundingan. Indonesia dipandang dunia sebagai kunci perubahan iklim yang menentukan bagaimana nasb dunia kelak.
Hal ini sesungguhnya tidak lepas dari keberadaan jutaan hektar hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia. Sayangnya, bebeberapa dekade terakhir deforestasi terjadi dengan cepat, hingga membuat Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ke-3 di dunia. Ilegalloging, penebangan hutan untuk perkebunan, kebakaran hutan dan pengeringan lahan gambut menjadi penyebab utama emisi Indonesia (Walhi: 2009).
Laju deforestasi di Indonesia yang mencapai 2 juta hektar, membuat dunia pada akhirnya memberikan perhatian serius. Dalam Bali Road Map, di sepakati proyek Reduction Emission From Degradation and Deforestation (REDD) sebagai aksi mitigasi demi melawan perubahan iklim. Pada COP-16 di Cancun beberapa waktu lalu, REDD juga menjadi salah satu hal yang dibahas.
Bagaimana sesungguhnya mekanisme REDD?. Secara garis besar, REDD dimaksudkan sebagai bentuk tanggungjawab negara maju, dengan memberikan sejumlah uang kepada negara-negara berkembang untuk menghentikan laju deforestasi.
Meskipun terlihat sangat bermanfaat, menurut hemat penulis, REDD bukanlah solusi utama melawan perubahan iklim. REDD juga membuat negara-negara maju sebagai penghasil emisi dunia, melempar tanggung jawabnya untuk menurunkan emisi. Dengan dalih sudah ikut mendanai hutan-hutan tropis dari deforestasi, mereka enggan menurunkan emisinya yang sesungguhnya menjadi sebab utama pemanasan global.
Bagi negara berkembang, REDD cenderung menjadi skema perdagangan karbon (Carbon Trading). Sebagai pemilik hutan tropis, proyek REDD membuat negara berkembang bisa memperoleh uang panas yang jumlahnya sangat bersar.
Di Indonesia, penerapan REDD belum maksmal. Hal ini terkait masyarakat adat serta kelompok minoritas yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil hutan belum dipikirkan secara matang. Dari 230 juta penduduk Indonesia, 40 juta diantaranya adalah masyarakat yang menggatungkan hidup dari hasil hutan. Dengan diterapkannya proyek REDD pada hutan mereka, kemungkinan besar mereka akan terpinggirkan secara ekonomi, sosial dan politik.
Pada ahirnya, usaha apapun yang dilakukan warga dunia demi menahan perubahan iklim entu harus didukung. Namun, yang menjadi catatan adalah selama belum ada kesepakatan mengikat yang mewajibkan negara-negara maju menurunkan emisinya, semua itu akan sia-sia belaka.
Maka, sudah sepatutnya bagi kita untuk memastikan perundingan di Durban nanti berjalan sesuai jalurnya. Berbagai cara bisa dilakukan. Mulai dari menurunkan tingkat emisi dari konsumsi pribadi, hingga turut berperan aktif dalam berbagai forum lingkungan hidup baik di dunia maya maupun kehidupan nyata sehari-hari. Lalu siapkah kita melawan perubahan iklim?
Refrensi
Kompas. Kemana Cancun Menuju. Edisi 30 November 2010
Walhi. REDD Wrong Path Pathetic: Ecobusiness. 2009. Jakarta