Tiara Dewanty (18) terlihat khusyuk
menekuni smartphone di hadapannya.
Beberapa aktivitas dilakukannya sekaligus. Mulai dari browsing sampai ngobrol via Whatsap. Mahasiswi di sebuah
universitas swasta di Tangerang ini mengaku baru mengenal ponsel pintar sejak
beberapa bulan lalu.
Sejak itu, dia rela menyisihkan uang
minimal Rp50.000 setiap bulan untuk membeli paket data. Bagi Tiara, Intenet
memang sudah seperti candu. Pernah suatu hari handphone gadis ini tertinggal di
rumah saat berangkat ke kampus. “Rasanya gak tenang,” ujarnya, “Jadi saya
pulang lagi ke rumah buat ambil handphone,”.
Meskipun tidak sama persis, hal serupa
juga dialami oleh Fauzan Jamaludin (24). Tahun lalu, pria asal Tegal yang
berprofesi sebagai wartawan ini hanya mengandalkan ponsel Blackberry untuk
berkomunikasi. Semakin hari dia merasa perangkat itu saja tidak cukup. Kepada
Bisnis, dia menunjukkan smartphone Android canggih yang baru dibelinya beberapa
waktu lalu.
Apa yang dialami oleh Tiara dan Fauzan
menggambarkan tren masyarakat modern yang kian akrab dengan gadget canggih dan
koneksi Internet. Beberapa tahun lalu, kriteria ponsel canggih hanya dilihat
dari spesifikasi kamera atau kemampuan memutar lagu.
Tapi masa itu kini telah lewat.
Kecanggihan ponsel sekarang dilihat dari seberapa cepat dia bisa melakukan
beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking) dan jaringan generasi berapa yang
diusungnya. Secanggih apapun sepesifikasi suatu gadget, jika dia hanya berjalan
di teknologi 2G niscaya harga jualnya lebih murah.
Tuntutan masyarakat untuk mengakses
Internet berkecepatan tinggi pada akhirnya membawa konsekuensi serius. Orang
tak puas hanya dengan mengakses Facebook dan media sosial lainnya. Kini mereka
mulai menggunakan layanan data untuk menonton video streaming yang membutuhkan
trafik data tinggi. Tren ini rupanya juga melanda seluruh dunia.
Laporan terbaru dari Ericssson
Mobility Report memprediksi pada 2019 smartphone akan digunakan oleh 7,2 miliar
penduduk bumi atau sekitar 80% dari total populasi. Angka ini jelas akan membuat trafik data
melonjak tajam. Jika saat ini rata-rata pengguna smartphone hanya menghabiskan
600 megabyte per bulan, pada 2019 konsumsi tersebut akan melonjak hingga 2,5
gigabyte. Secara global, trafik data smartphone pada tahun itu akan mencapai 16
miliar gigabyte.
Hardyana Syntawati, Kepala Divisi
Pemasaran dan Komunikasi Ericsson Indonesia, mengatakan peningkatan trafik data
ini menjadi tantangan bagi operator telekomunikasi. Apalagi teknologi 4G yang
membutuhkan lebih banyak trafik data juga akan segera diluncurkan. Menurutnya,
peningkatan kebutuhan trafik data ini harus disikapi oleh operator
telekomunikasi.
Di Indonesia, peningkatan konsumsi
data ini tercermin dari kenaikan pelanggan data operator telekomunikasi. Dalam
laporan perusahaan semester I 2014, rata-rata jumlah pelanggan data sudah
mencapai setengah dari total pelanggan operator.
PT Telekomunikasi Seluler misalnya, kini memiliki jumlah pelanggan
data sebanyak 63,4 juta. Sementara itu, PT XL Axiata berhasil menggaet 32,2
juta pelanggan data. Sedangkan PT Indosat Tbk. telah melayani 27,4 juta
pelanggan data. Operator lain yang berbasis code division multiple access
(CDMA), PT Smartfren Telecom Tbk. sendiri telah memiliki 6 juta pelanggan data.
Direktur Service Management PT XL Axiata Tbk. Ongki Kurniawan
menuturkan setidaknya tiga hal yang memicu peningkatan trafik data di kalangan
pengguna. Pertama, saat ini konsumen dimanjakan dengan beragam paket data yang
ditawarkan operator. Strategi ini dinilai sangat efektif untuk merayu pelanggan
agar menggunakan Internet.
Faktor kedua datang dari penetrasi smartphone yang semakin pesat.
Data dari International Data Corporation (IDC) Indonesia menyebutkan pengapalan
smartphone dan tablet pada 2013 masing-masing mencapai 14 juta dan 4 juta unit.
Dari jumlah tersebut, 30% di antaranya merupakan ponsel pintar dengan banderol
murah seharga US$50-US$150.
Ketiga, beragam aplikasi yang membutuhkan bandwitdh besar kini juga mulai tumbuh.
Artinya, pelanggan tidak hanya sebatas menggunakan Internet untuk membuka e-mail atau chatting, tetapi juga membuka konten digital lainnya seperti video
streaming.
Dilema Trafik Data
Peningkatan trafik layanan data
rupanya juga menjadi pisau bermata dua bagi operator telekomunikasi. Pasalnya,
ketika permintaan trafik dari pelanggan melonjak operator harus menggelontorkan
dana untuk membangun infrastruktur jaringan. Ini seperti petani yang harus
membuka lahan lebih luas ketika permintaan beras naik tajam.
Menariknya, selama ini operator sudah
terlanjur nyaman dengan pendapatan yang diperoleh dari layanan suara dan SMS.
Ketika Internet booming, pendapatan dari kedua layanan tersebut perlahan mulai
merosot. Sementara pendapatan dari layanan data juga juga belum maksimal.
Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan permintaan trafik
data ini membuat operator harus berfikir keras untuk memaksimalkan pundi-pundi
dari lini bisnis itu.
Sialnya, mau tidak mau operator harus
mengikuti tren tersebut dengan membangun infrastruktur guna menyediakan layanan
data. Ini tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Belanja modal yang dikeluarkan
masing-masing operator lapis satu—Indosat, Telkomsel, dan XL—setiap tahun
hampir menyentuh angka Rp10 triliun. Belanja modal ini mayoritas digunakan
untuk membangun base transceiver receiver 3G dan perlengkapan jaringan lainnya.
“Operator memang harus bangun jaringan
data. Karena kalau enggak begitu pasti ditinggalkan pelanggan,” ujarnya.
Hal ini membuat Alexander hanya bisa
menggeleng saat ditanya target pendapatan data Indosat setelah menggelar
modernisasi jaringan. Dia menilai hal tersebut sulit diprediksi karena operator
masih menjajal formula bisnis yang tepat guna menggenjot pendapatan data.
Jika mengacu pada beberapa laporan,
kinerja operator telekomunikasi di Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk.
Riset terbaru dari Credit Suisse menyebutkan pada kuartal II 2014, pendapatan
seluler di Indonesia naik
9,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini bahkan lebih besar dari
China yang hanya tumbuh 4,8%.
Pendapatan
dari trafik data justru masih tertinggal jika dibandingkan beberapa negara lain
di Asia. Jika Taiwan, China, dan Thailand berhasil mencatatkan pertumbuhan di
atas 20% pada kuartal II tahun ini, layanan data di Tanah Air hanya tumbuh 13%.
Menariknya, pendapatan data sudah berkontribusi setengah terhadap terhadap
total pendapatan operator telekomunikasi. Angka ini merupakan yang tertinggi
dibandingkan negara lain yang disurvei Credit Suisse.
Sementara
itu, PT XL Axiata Tbk. dalam laporan keuangan paruh pertama 2014 menyebutkan
pendapatan dari layanan data dan VAS mencapai Rp2,9 triliun atau naik 42% dari
periode yang sama tahun sebelumnya. Telkom sendiri berhasil meraup Rp12,44
triliun dari sektor data, Internet, dan IT services yang naik 16,06% year on
year (YoY).
Penaikan Harga
Di tengah
dilema trafik data yang dialami operator telekomunikasi, salah satu opsi yang
mengemuka adalah menaikkan harga tarif layanan data. Hal ini juga telah diungkapkan
Alexander Rusli. Dia beralasan harga layanan data saat ini terlalu murah karena
hanya sekitar Rp0,06 per kilobyte . Padahal, di negara lain harga layanan
serupa bisa mencapai Rp0,10-Rp0,15 per kilobyte.
“Untuk di
Indonesia harga yang ideal mungkin Rp0,10 per kilobyte,” katanya.
Deputy CEO
PT Smartfren Tbk. Djoko Tata Ibrahim juga mengamini soal rencana penaikkan
tarif data tersebut. Menurutnya, banderol tarif data bisa naik 30% dari harga
saat ini. Kendati demikian, langkah penaikan harga ini tidak bisa begitu saja
dilakukan operator. Pasalnya, kualitas layanan yang ditawarkan saat ini juga
belum maksimal. Alexander menuturkan operator harus meningkatkan infrastruktur
jaringan sebelum menaikkan harga.
Rencana
tersebut rupanya juga turut menjadi perhatian pemerintah. Anggota Badan
Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M. Ridwan Effendi menuturkan pihaknya
tengah mengkaji penerbitan beleid soal formula tarif data. Jika rencana
tersebut terealisasi, setiap operator akan memiliki acuan tarif batas bawah
seperti yang selama ini diterapkan pada tarif SMS dan interkoneksi.
Menurut
regulator, aturan ini akan mengakomodir kebutuhan konsumen terutama dari
kalangan pemula. Selain itu, akan diatur juga formula untuk memberikan
kenyamanan bagi pemakai Internet dengan kebutuhan tinggi. Selain itu, BRTI juga
mulai memperhatikan ongkos produksi layanan data guna melindungi investasi.
“Ini masih
tahap awal banget. Masih banyak alternatifnya,” katanya.
Bagaimana
tanggapan operator? Alexander Rusli justru meminta pemerintah tidak ikut campur
penentuan tarif layanan data. Kebijakan ini dinilai akan menyulitkan gerak
operator. Tarif tersebut seharusnya dibiarkan berdasarkan mekanisme pasar.
“Dalam
jangka pendek memang bagus untuk menjada profitabilitas. Tapi untuk jangka panjang
justru akan merugikan industri,” paparnya.