Sabtu, 29 Maret 2014

Dilema Trafik Data



Tiara Dewanty (18) terlihat khusyuk menekuni smartphone di hadapannya. Beberapa aktivitas dilakukannya sekaligus. Mulai dari browsing sampai ngobrol via Whatsap. Mahasiswi di sebuah universitas swasta di Tangerang ini mengaku baru mengenal ponsel pintar sejak beberapa bulan lalu.

Sejak itu, dia rela menyisihkan uang minimal Rp50.000 setiap bulan untuk membeli paket data. Bagi Tiara, Intenet memang sudah seperti candu. Pernah suatu hari handphone gadis ini tertinggal di rumah saat berangkat ke kampus. “Rasanya gak tenang,” ujarnya, “Jadi saya pulang lagi ke rumah buat ambil handphone,”.

Meskipun tidak sama persis, hal serupa juga dialami oleh Fauzan Jamaludin (24). Tahun lalu, pria asal Tegal yang berprofesi sebagai wartawan ini hanya mengandalkan ponsel Blackberry untuk berkomunikasi. Semakin hari dia merasa perangkat itu saja tidak cukup. Kepada Bisnis, dia menunjukkan smartphone Android canggih yang baru dibelinya beberapa waktu lalu.

Apa yang dialami oleh Tiara dan Fauzan menggambarkan tren masyarakat modern yang kian akrab dengan gadget canggih dan koneksi Internet. Beberapa tahun lalu, kriteria ponsel canggih hanya dilihat dari spesifikasi kamera atau kemampuan memutar lagu.

Tapi masa itu kini telah lewat. Kecanggihan ponsel sekarang dilihat dari seberapa cepat dia bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking) dan jaringan generasi berapa yang diusungnya. Secanggih apapun sepesifikasi suatu gadget, jika dia hanya berjalan di teknologi 2G niscaya harga jualnya lebih murah.

Tuntutan masyarakat untuk mengakses Internet berkecepatan tinggi pada akhirnya membawa konsekuensi serius. Orang tak puas hanya dengan mengakses Facebook dan media sosial lainnya. Kini mereka mulai menggunakan layanan data untuk menonton video streaming yang membutuhkan trafik data tinggi. Tren ini rupanya juga melanda seluruh dunia.

Laporan terbaru dari Ericssson Mobility Report memprediksi pada 2019 smartphone akan digunakan oleh 7,2 miliar penduduk bumi atau sekitar 80% dari total populasi.  Angka ini jelas akan membuat trafik data melonjak tajam. Jika saat ini rata-rata pengguna smartphone hanya menghabiskan 600 megabyte per bulan, pada 2019 konsumsi tersebut akan melonjak hingga 2,5 gigabyte. Secara global, trafik data smartphone pada tahun itu akan mencapai 16 miliar gigabyte.

Hardyana Syntawati, Kepala Divisi Pemasaran dan Komunikasi Ericsson Indonesia, mengatakan peningkatan trafik data ini menjadi tantangan bagi operator telekomunikasi. Apalagi teknologi 4G yang membutuhkan lebih banyak trafik data juga akan segera diluncurkan. Menurutnya, peningkatan kebutuhan trafik data ini harus disikapi oleh operator telekomunikasi.

Di Indonesia, peningkatan konsumsi data ini tercermin dari kenaikan pelanggan data operator telekomunikasi. Dalam laporan perusahaan semester I 2014, rata-rata jumlah pelanggan data sudah mencapai setengah dari total pelanggan operator.

PT Telekomunikasi Seluler misalnya, kini memiliki jumlah pelanggan data sebanyak 63,4 juta. Sementara itu, PT XL Axiata berhasil menggaet 32,2 juta pelanggan data. Sedangkan PT Indosat Tbk. telah melayani 27,4 juta pelanggan data. Operator lain yang berbasis code division multiple access (CDMA), PT Smartfren Telecom Tbk. sendiri telah memiliki 6 juta pelanggan data.

Direktur Service Management PT XL Axiata Tbk. Ongki Kurniawan menuturkan setidaknya tiga hal yang memicu peningkatan trafik data di kalangan pengguna. Pertama, saat ini konsumen dimanjakan dengan beragam paket data yang ditawarkan operator. Strategi ini dinilai sangat efektif untuk merayu pelanggan agar menggunakan Internet.

Faktor kedua datang dari penetrasi smartphone yang semakin pesat. Data dari International Data Corporation (IDC) Indonesia menyebutkan pengapalan smartphone dan tablet pada 2013 masing-masing mencapai 14 juta dan 4 juta unit. Dari jumlah tersebut, 30% di antaranya merupakan ponsel pintar dengan banderol murah seharga US$50-US$150.

Ketiga, beragam aplikasi yang membutuhkan bandwitdh besar kini juga mulai tumbuh. Artinya, pelanggan tidak hanya sebatas menggunakan Internet untuk membuka e-mail atau chatting, tetapi juga membuka konten digital lainnya seperti video streaming.

Dilema Trafik Data

Peningkatan trafik layanan data rupanya juga menjadi pisau bermata dua bagi operator telekomunikasi. Pasalnya, ketika permintaan trafik dari pelanggan melonjak operator harus menggelontorkan dana untuk membangun infrastruktur jaringan. Ini seperti petani yang harus membuka lahan lebih luas ketika permintaan beras naik tajam.

Menariknya, selama ini operator sudah terlanjur nyaman dengan pendapatan yang diperoleh dari layanan suara dan SMS. Ketika Internet booming, pendapatan dari kedua layanan tersebut perlahan mulai merosot. Sementara pendapatan dari layanan data juga juga belum maksimal. Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan permintaan trafik data ini membuat operator harus berfikir keras untuk memaksimalkan pundi-pundi dari lini bisnis itu.

Sialnya, mau tidak mau operator harus mengikuti tren tersebut dengan membangun infrastruktur guna menyediakan layanan data. Ini tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Belanja modal yang dikeluarkan masing-masing operator lapis satu—Indosat, Telkomsel, dan XL—setiap tahun hampir menyentuh angka Rp10 triliun. Belanja modal ini mayoritas digunakan untuk membangun  base transceiver receiver 3G dan perlengkapan jaringan lainnya.

“Operator memang harus bangun jaringan data. Karena kalau enggak begitu pasti ditinggalkan pelanggan,” ujarnya.

Hal ini membuat Alexander hanya bisa menggeleng saat ditanya target pendapatan data Indosat setelah menggelar modernisasi jaringan. Dia menilai hal tersebut sulit diprediksi karena operator masih menjajal formula bisnis yang tepat guna menggenjot pendapatan data.

Jika mengacu pada beberapa laporan, kinerja operator telekomunikasi di Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk. Riset terbaru dari Credit Suisse menyebutkan pada kuartal II 2014, pendapatan seluler di Indonesia naik 9,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini bahkan lebih besar dari China yang hanya tumbuh 4,8%.

Pendapatan dari trafik data justru masih tertinggal jika dibandingkan beberapa negara lain di Asia. Jika Taiwan, China, dan Thailand berhasil mencatatkan pertumbuhan di atas 20% pada kuartal II tahun ini, layanan data di Tanah Air hanya tumbuh 13%. Menariknya, pendapatan data sudah berkontribusi setengah terhadap terhadap total pendapatan operator telekomunikasi. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lain yang disurvei Credit Suisse.

Sementara itu, PT XL Axiata Tbk. dalam laporan keuangan paruh pertama 2014 menyebutkan pendapatan dari layanan data dan VAS mencapai Rp2,9 triliun atau naik 42% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Telkom sendiri berhasil meraup Rp12,44 triliun dari sektor data, Internet, dan IT services yang naik 16,06% year on year (YoY).

Penaikan Harga

Di tengah dilema trafik data yang dialami operator telekomunikasi, salah satu opsi yang mengemuka adalah menaikkan harga tarif layanan data. Hal ini juga telah diungkapkan Alexander Rusli. Dia beralasan harga layanan data saat ini terlalu murah karena hanya sekitar Rp0,06 per kilobyte . Padahal, di negara lain harga layanan serupa bisa mencapai Rp0,10-Rp0,15 per kilobyte.
“Untuk di Indonesia harga yang ideal mungkin Rp0,10 per kilobyte,” katanya.

Deputy CEO PT Smartfren Tbk. Djoko Tata Ibrahim juga mengamini soal rencana penaikkan tarif data tersebut. Menurutnya, banderol tarif data bisa naik 30% dari harga saat ini. Kendati demikian, langkah penaikan harga ini tidak bisa begitu saja dilakukan operator. Pasalnya, kualitas layanan yang ditawarkan saat ini juga belum maksimal. Alexander menuturkan operator harus meningkatkan infrastruktur jaringan sebelum menaikkan harga.

Rencana tersebut rupanya juga turut menjadi perhatian pemerintah. Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M. Ridwan Effendi menuturkan pihaknya tengah mengkaji penerbitan beleid soal formula tarif data. Jika rencana tersebut terealisasi, setiap operator akan memiliki acuan tarif batas bawah seperti yang selama ini diterapkan pada tarif SMS dan interkoneksi.

Menurut regulator, aturan ini akan mengakomodir kebutuhan konsumen terutama dari kalangan pemula. Selain itu, akan diatur juga formula untuk memberikan kenyamanan bagi pemakai Internet dengan kebutuhan tinggi. Selain itu, BRTI juga mulai memperhatikan ongkos produksi layanan data guna melindungi investasi.

“Ini masih tahap awal banget. Masih banyak alternatifnya,” katanya.

Bagaimana tanggapan operator? Alexander Rusli justru meminta pemerintah tidak ikut campur penentuan tarif layanan data. Kebijakan ini dinilai akan menyulitkan gerak operator. Tarif tersebut seharusnya dibiarkan berdasarkan mekanisme pasar.

“Dalam jangka pendek memang bagus untuk menjada profitabilitas. Tapi untuk jangka panjang justru akan merugikan industri,” paparnya.