Sumber: www.solopos.com |
Refleksi satu tahun (atau lebih tepatnya 6 tahun) pemerintahan SBY diisi dengan berbagai demonstrasi diseluruh penjuru tanah air. Ribuan orang yang terdiri dari elemen mahasiswa, LSM serta masyarakat sipil lainnya turun ke jalan meneriakkan tuntutan mereka dengan berbagai cara.
Demonstrasi sejatinya merupakan konsekuensi logis dari demokrasi yang didefinisikan Lincolm sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, demonstrasi juga terjadi di negara-negara maju. Di Perancis, gelombang demonstrasi sudah berlangsung beberapa bulan terakhir terkait rencana Presiden Nikolas Sarkozy menaikkan umur pensiun pegawai.
Demonstrasi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang yang selalu mengkritisi jalannya pemerintahan. Kelompok ini dalam terminologi sistem politik disebut sebagai pressure group (kelompok penekan) yang menjadi salah satu dari lima infrastukutur politik-selain political party, interst group, figur politik dan media massa. Ciri utamanya, pressure group bersikap adovokatif, independent dan kritis.
Menurut pengamatan penulis, setidaknya ada dua poin yang melatarbelakangi semakin maraknya demonstrasi di Indonesia ini. Pertama, menumpuknya kekecewaan rakyat atas jalannya pemerintahan kabinet Indonesia Bersatu II yang dinilai gagal. Menurut jajak pendapat yang diadakan oleh harian Kompas, citra SBY dimata rakyat memang semakin menurun drastis terutama tiga bulan terakhir (Kompas, 18 Oktober 2010).
Dari segi hukum, 6,3 triliun uang rakyat yang disengketakan dalam kasus Century tak tahu rimbanya. Dari segi ekonomi, pengusaha kecil dan menengah megap-megap menghadapi serbuan barang impor dari China akibat ditandatanganinya Free Trade Area (FTA) Asean-China Januari lalu. Apalagi ditambah dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Hasilnya, meskipun diklaim tahun ini angka kemiskinan terpaut pada angka 13 % (Jika angka ini memang benar adanya), tentu 13 % dari 200 juta lebih rakyat Indonesia masihlah sangat banyak. Setali tiga uang, meskipun 21 Oktober lalu diperingati sebagai 50 tahun Agraria nasional dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1965, persoalan agraria di Indonesia belum juga selesai. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan sejak tahun 2007 hanya menjadi formalitas belaka. Agenda land reform (reforma agraria) masih jauh dari target.
Kedua, melempemnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bisa menjadi ruang publik (public sphere) bagi rakyat. Jurgen Habermas dalam karyanya The Structural Transformation of Public Sphere mendefinisikan ruang publik sebagai wilayah dimana masyarakat dapat berkumpul, berpendapat, berdebat dan beradu argumen dengan berasaskan kebenaran. Diskursus dan dialektika yang rasional, kritis dan membangun inilah yang menjaga stabilitas sebuah bangsa yang demokratis.
Sayangnya, ruang publik yang terlembaga dalam DPR ini terlihat memble. Meskipun terpilih dari hasil seleksi pemilihan umum yang demokratis, DPR masih terjebak dalam political bargaining (politik tawar-menawar) antar fraksi. Tak hanya itu, DPR juga tidak maksimal menjalankan fungsinya sebagai legislatif karena seringkali bertidak diluar control (out of control). Mulai dari kasus korupsi anggotanya, manajemen kehormatan yang amburadul, serangkaian plesiran ke luar negri yang tidak jelas fungsinya hingga politik kepentingan partai yang masih menonjol. Inilah yang membuat DPR dari tahun ketahun selalu mendapat raport merah dan tak pernah naik kelas.
Berbeda dengan Kudeta
Demonstrasi sebagai kontrol dan teguran rakyat bagi pemerintah bersifat persuasif. Tekanan politis yang ada sebenarnya merupakan jelmaan dari tekanan moral yang massif. Demonstrasi menjadi penting sebagai check and balances agar langkah pemerintah selalu berjalan dijalur yang benar.
Demonstrasi yang selama ini terjadi, selalu bersifat aksi moral yang bertujuan menyentil pemerintah dan melakukan kampanye pada masyarakat luas. Demonstrasi berbeda dengan kudeta. Jika kudeta memfokuskan pada pengambilan kekuasaan secara paksa, demonstrasi bertujuan memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat.
Slogan-slogan yang mengarah pada penggulingan kekuasaan, sebenarnya merupakan pecutan dari rakyat agar pemerintah lebih serius merealisasikan janjinya. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya bisa bersikap lebih bijak dan menginstrospeksi diri lebih mendalam. Meski tidak menutup kemungkinan gerakan moral itu akan menjadi gerakan politis jika pemerintah tidak segera menyadari kekeliruannya.
Beberapa kritik
Untuk meningkatkan efektivitas penyampaian pesan, beberapa evaluasi mutlak dilakukan. Pertama, demonstrasi haruslah dilakukan dengan cerdas dan bermutu. Kita tentu sepakat kekerasan bukanlah solusi untuk memecahkan masalah. Demonstrasi yang menjadi penyambung lidah rakyat Indonesia, harus menghindari cara-cara primitif. Hal ini tentu saja juga harus diperhatikan oleh aparat keamanan. Polisi harus memahami ekspresi kekecewaan rakyat yang seringkali seperti kelewatan namun sebenarnya masih dalam batas kewajaran.
Aksi-aksi yang dapat memprovokasi dan meletupkan emosi demonstran haruslah dihindari. Kasus tertembaknya mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) kemarin harus menjadi alarm ketidakberesan jajaran keamanan. Apalagi sebelumnya sudah beredar isu Protap tembak ditempat bagi demontran yang anarkis, meskipun batas anarkisme itu sendiri tidak juga ajeg.
Kedua, dari tubuh demonstran sendiri harus dihindari praktek trafficking yang sering terjadi. Trafficking atau perdagangan manusia dalam ranah demonstrasi merupakan praktek dimana oknum-okmum tidak bertanggung jawab dengan sumber daya lebih membayar orang-orang untuk ikut demonstrasi demi keuntungan pribadi. Inilah yang akan mencederai makna demokrasi.
Ketiga, menjadikan motif rasionalitas bernilai sebagai niat partisipasi politiknya. Motif rasionalitas bernilai merupakan motif seseorang yang ikut berpolitik dengan merasionalkan apa menjadi aktivitasnya. Lawannya motif rasional bertujuan lebih bersifat pragmatis demi keuntungan pribadi. Hal ini menjadi penting untuk menghindari ketidaktahuan demonstran akan isu yang diteriakkannya serta menjaga orisinalitas dan inpendensi.. Maka, pengisian kognisi lewat konsumsi buku dan media serta diskusi menjadi modal penting bagi seorang demonstran.