Rabu, 13 November 2013

Mempertanyakan Kebenaran



Suatu petang di antara syahdunya suara gerimis, seorang kawan mengajukan pertanyaan yang memaksa saya memikirkan ulang soal kebenaran. Ia mengambil sebuah harian nasional dan menunjukkan sepenggal berita soal Ahmadiyah.

“Kalo dari kacamata teologi kamu, Ahmadiyah ini bener atau salah?” tanyanya lugas.

Saya menjawabnya dengan membakar sebatang rokok. Nampaknya pertanyaan singkat ini akan memancing diskusi panjang. Sampai hisapan ketiga saya masih bingung harus memulai dari mana. Memang saya hanya perlu menjawab “benar atau salah”. Tapi jelas tidak akan sesimpel itu.

“Oke..begini,” ujar saya sok bijaksana. “Kita gak bisa memandang ini dari satu sisi. Harus jelas dulu bagaimana sejarah Ahmadiyah,”.

Saya kemudian berargumen kesana-kemari soal sejarah Ahmadiyah. Sampai akhirnya kawan yang cerdik itu menyadari kalo saya lagi ngeles. “Jadi intinya benar atau salah?,” ia semakin memojokkan.
Sejujurnya saya gelagapan juga dicecar pertanyaan yang sama seperti itu. Saya hanya mengenal Ahmadiyah kulit luarnya saja, tidak mendalami isinya. Saya merasa tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“Benar atau salah? Dari kacamata orang awam aja,” ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama.
Saya mengambil nafas panjang. Mengerutkan dahi sambil duduk bersila ditemani asap rokok yang terus mengepul. Saya merasa ada yang ganjil.

“Kebenaran seperti apa yang kamu maksud?” saya balik bertanya.

Ia terdiam sejenak. Matanya menerawang tampak sedang memikirkan sesuatu. Suasana menjadi hening meski hujan di luar semakin deras. Kami saling tersenyum. Kalo ada yang melihat, mungkin akan menyangka kami sedang cinlok. Sepertinya kami harus clear dulu soal kebenaran yang dimaksud.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin kami mengukur sesuatu dengan “kebenaran” jika kebenaran itu sendiri sulit diukur? Maksud saya begini. Saat kita hendak mengukur berat daging yang dihasilkan dari seekor kambing misalnya, kita memiliki alat dan satuan ukur yang jelas. Ukuran berat itu disepakati semua pihak. Mulai dari ton, kwintal, kilogram sampai ons dan gram. Alat dan satuan ukur yang jelas itulah yang membantu kita bisa berteriak dengan lantang bahwa berat daging itu adalah 30 kilogram misalnya.

Lantas bagaimana caranya mengukur Ahmadiyah benar atau salah? Alat dan satuan ukur seperti apa yang akan kita pakai? Apakah “kebenaran” yang kita pakai untuk mengukur sudah “benar-benar” benar? Bagaimana “kebenaran” yang kita anggap benar untuk mengukur suatu “kebenaran” bisa menunjukkan “kebenaran”? Begitu kompleksnya soal kebenaran ini sampai membuat kami harus kembali meninjau ulang soal kebenaran.

Selama ini saya merasa kebenaran dimonopoli oleh sekelompok orang. Kebenaran dipahami sebagai sebuah kesepakatan bersama suatu tatanan masyarakat. Masa Orde Baru misalnya, orang-orang bertato dianggap identik dengan premanisme. Hal tersebut dianggap sebuah kebenaran yang disepakati oleh masyarakat. Persoalan tato dikonstruksi sedemikian rupa hingga menjadi “kebenaran” di tengah khalayak ramai.

Tapi hari ini kebenaran itu dilucuti. Tato tak lagi dianggap tabu. Masyarakat insaf bahwa yang selama ini dianggap sebuah kebenaran menjadi hal yang biasa saja. Buat saya, nilai-nilai kebenaran yang disepakati  bersama telah memudar. Kebenaran absolut itu hilang begitu saja.

Saya termasuk orang yang tidak percaya andagium “kebenaran pasti menang”. Karena faktanya, “pemenanglah yang menjadi kebenaran”. Jadi bagaimana kita bisa menggantungkan diri pada kebenaran yang tidak selamanya benar itu?

Hari ini, kebenaran sudah tidak bisa lagi dipatok, dimiliki dan dikuasai oleh sekelompok orang. Kebenaran sudah seperti rasa. Hadir di setiap pribadi. Menjelma lewat argumentasi. Kebenaran menjadi bias dan masuk ke setiap relung sanubari. Lantas, untuk apa lagi kita mempertanyakan kebenaran?

Dalam konteks inilah pertanyaan kawan saya soal benar dan tidaknya Ahmadiyah menjadi tidak relevan. Kami tidak bisa menemukan alat dan satuan ukur yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maka, masih relevankah kita mempertanyakan kebenaran, jika kebenaran saja sudah menjadi ranah privasi orang per orang?