Suatu petang di antara syahdunya suara gerimis, seorang kawan mengajukan pertanyaan yang memaksa saya memikirkan ulang soal kebenaran. Ia mengambil sebuah harian nasional dan menunjukkan sepenggal berita soal Ahmadiyah.
“Kalo dari kacamata teologi kamu, Ahmadiyah ini bener atau
salah?” tanyanya lugas.
Saya menjawabnya dengan membakar sebatang rokok. Nampaknya
pertanyaan singkat ini akan memancing diskusi panjang. Sampai hisapan ketiga
saya masih bingung harus memulai dari mana. Memang saya hanya perlu menjawab “benar
atau salah”. Tapi jelas tidak akan sesimpel itu.
“Oke..begini,” ujar saya sok bijaksana. “Kita gak bisa memandang
ini dari satu sisi. Harus jelas dulu bagaimana sejarah Ahmadiyah,”.
Saya kemudian berargumen kesana-kemari soal sejarah
Ahmadiyah. Sampai akhirnya kawan yang cerdik itu menyadari kalo saya lagi ngeles. “Jadi intinya benar atau salah?,”
ia semakin memojokkan.
Sejujurnya saya gelagapan juga dicecar pertanyaan yang sama
seperti itu. Saya hanya mengenal Ahmadiyah kulit luarnya saja, tidak mendalami
isinya. Saya merasa tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan tersebut.
“Benar atau salah? Dari kacamata orang awam aja,” ia kembali
mengulangi pertanyaan yang sama.
Saya mengambil nafas panjang. Mengerutkan dahi sambil duduk
bersila ditemani asap rokok yang terus mengepul. Saya merasa ada yang ganjil.
“Kebenaran seperti apa yang kamu maksud?” saya balik
bertanya.
Ia terdiam sejenak. Matanya menerawang tampak sedang
memikirkan sesuatu. Suasana menjadi hening meski hujan di luar semakin deras.
Kami saling tersenyum. Kalo ada yang melihat, mungkin akan menyangka kami
sedang cinlok. Sepertinya kami harus clear
dulu soal kebenaran yang dimaksud.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin kami mengukur sesuatu
dengan “kebenaran” jika kebenaran itu sendiri sulit diukur? Maksud saya begini.
Saat kita hendak mengukur berat daging yang dihasilkan dari seekor kambing
misalnya, kita memiliki alat dan satuan ukur yang jelas. Ukuran berat itu
disepakati semua pihak. Mulai dari ton, kwintal, kilogram sampai ons dan gram. Alat
dan satuan ukur yang jelas itulah yang membantu kita bisa berteriak dengan
lantang bahwa berat daging itu adalah 30 kilogram misalnya.
Lantas bagaimana caranya mengukur Ahmadiyah benar atau
salah? Alat dan satuan ukur seperti apa yang akan kita pakai? Apakah “kebenaran”
yang kita pakai untuk mengukur sudah “benar-benar” benar? Bagaimana “kebenaran”
yang kita anggap benar untuk mengukur suatu “kebenaran” bisa menunjukkan “kebenaran”?
Begitu kompleksnya soal kebenaran ini sampai membuat kami harus kembali
meninjau ulang soal kebenaran.
Selama ini saya merasa kebenaran dimonopoli oleh sekelompok
orang. Kebenaran dipahami sebagai sebuah kesepakatan bersama suatu tatanan
masyarakat. Masa Orde Baru misalnya, orang-orang bertato dianggap identik
dengan premanisme. Hal tersebut dianggap sebuah kebenaran yang disepakati oleh
masyarakat. Persoalan tato dikonstruksi sedemikian rupa hingga menjadi “kebenaran”
di tengah khalayak ramai.
Tapi hari ini kebenaran itu dilucuti. Tato tak lagi dianggap
tabu. Masyarakat insaf bahwa yang selama ini dianggap sebuah kebenaran menjadi
hal yang biasa saja. Buat saya, nilai-nilai kebenaran yang disepakati bersama telah memudar. Kebenaran absolut itu
hilang begitu saja.
Saya termasuk orang yang tidak percaya andagium “kebenaran
pasti menang”. Karena faktanya, “pemenanglah yang menjadi kebenaran”. Jadi
bagaimana kita bisa menggantungkan diri pada kebenaran yang tidak selamanya
benar itu?
Hari ini, kebenaran sudah tidak bisa lagi dipatok, dimiliki
dan dikuasai oleh sekelompok orang. Kebenaran sudah seperti rasa. Hadir di
setiap pribadi. Menjelma lewat argumentasi. Kebenaran menjadi bias dan masuk ke
setiap relung sanubari. Lantas, untuk apa lagi kita mempertanyakan kebenaran?
Dalam konteks inilah pertanyaan kawan saya soal benar dan
tidaknya Ahmadiyah menjadi tidak relevan. Kami tidak bisa menemukan alat dan
satuan ukur yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maka, masih
relevankah kita mempertanyakan kebenaran, jika kebenaran saja sudah menjadi
ranah privasi orang per orang?