Jumat, 17 Juli 2009

Aku dan Dunia

Kita memang tak pernah berpikir tentang makna kehidupan. Jiwa yang penuh emosi dikekang sepenuhnya oleh kebebasan. Ya...manusia adalah makhluk yang bebas sesungguhnya. Namun, terkadang ia justru terkekang akan kebebasannya itu sendiri. Iblis yang bebas berekspresi adalah bukti ketidakmampuannya menyelami dunia yang fana.

Ah...hidup hanyalah sebuah kehampaan. Kehampaan yang harus terus diisi dengan semangat peradaban. Peradaban memang tak pernah lahir dari ruang hampa. Ia lahir dari pemikiran yang radikal hingga berujung pada pergerakan yang progresif.

Kita memang wayang yang dinamis. Namun kita adalah wayang yang dapat bergerak tanpa bantuan sang dalang. Wayang kehidupan, itulah namanya. Nafsu yang membara selalu terjangkiti virus kemanusiaan. Ujungnya hanyalah dunia yang tak pernah diketahui oleh manusia manapun. Sebab, bumi kita saat ini adalah neraka. Tentu jika kita tidak bergerak.

Rabu, 15 Juli 2009

Mengevaluasi Kinerja KPU

PEMILU baru saja usai. Tahap demi tahap proses demokrasi di Indonesia sudah terlewati. Kini bangsa ini tinggal memetik hasil dari pemilihan yang digelar 8 Juli lalu.

Tak sampai satu bulan lagi Indonesia akan menjadi bangsa percontohan di mana pemilu dapat digelar dengan begitu meriah. Hal ini karena Indonesia merupakan bangsa majemuk dengan beragam suku, agama, dan aliran. Pada pemilu tahun ini, banyak pihak yang turut serta mengawal pesta lima tahunan.

Semua elemen masyarakat mulai dari LSM, paguyuban, organisasi kepemudaan, pers, partai politik hingga warga kampus memberikan kontribusinya yang cukup besar. Peranan segenap rakyat inilah yang membuat gelaran memilih pemimpin bangsa ini berjalan mulus. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu kali ini juga bukan tanpa cela.
Masalah timbul satu per satu seiring bergulirnya waktu. Tentu saja yang harus disoroti dalam hal ini adalah kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU sebagai penyelenggara resmi pemilu dinilai masih sangat kurang maksimal. Kinerja badan pemerintah yang satu ini banyak menimbulkan pertanyaan di masyarakat.

Apakah pemilihan anggota KPU hanya main tunjuk saja sehingga kurang profesional? Hal inilah yang mesti segera dipertanggungjawabkan. Salah satunya masalah daftar pemilih tetap (DPT). Masalah ini menjadi sangat penting karena DPT merupakan pintu gerbang bagi terpenuhinya hak politik rakyat Indonesia.

Di berbagai daerah terbukti banyak penduduk yang tercatat sebagai pemilih ganda. Atau yang lebih parah lagi banyak dari penduduk yang tidak terdaftar sebagi pemilih meskipun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan penduduk yang tidak terdaftar memilih dengan menunjukkan KTP. Pemangkasan hak politik masyarakat juga terjadi ketika hari H pelaksanaan pemilu.

Seperti tidak tersedianya tempat pemungutan suara (TPS) di sebagian ruang publik seperti lembaga pemasyarakatan dan rumah sakit. Orang-orang Indonesia yang kini berada di luar negeri pun kurang leluasa mencontreng karena tidak terfasilitasi dengan baik. Dalam hal ini KPU tidak belajar dari apa yang sudah terjadi pada pemilihan legislatif sebelumnya. Ketika pemilu legislatif, kekisruhan DPT juga menjadi masalah utama.

Namun nyatanya masalah ini terulang kembali pada pilpres. Koordinasi antara KPU pusat dengan daerah masih tergolong lemah. Selain DPT yang berujung pada pemangkasan hak politik, kekurangan KPU yang lain adalah kenetralan KPU masih diragukan. Terbukti dengan kasus munculnya spanduk yang menguntungkan salah satu capres dan cawapres.

Spanduk KPU yang terlihat memihak salah satu peserta capres ini pertama kali ditemukan di Lampung. Sebagai penyelenggara pemilu yang independen, kesalahan seperti ini tentu saja sangat mencoreng kinerja KPU. Tak hanya itu, ketegasan KPU dalam memberi sanksi bagi tim sukses yang melanggar aturan kampanye juga masih sangat kurang.

Black campaign yang terjadi belakangan seperti pencemaran nama baik dan diskriminasi ras dan suku kurang mendapat tanggapan dari KPU. Apalagi jika yang melakukan black campaign tersebut merupakan orang ternama. Yang berperan dalam masalah itu justru pers. Oleh karena itu, meski pesta demokrasi lima tahunan ini sudah memasuki tahap akhir, KPU harus memperbaiki diri dan bertanggung jawab atas kinerjanya kepada masyarakat luas.

Sebab jika tidak dilakukan, kepercayaan masyarakat terhadap KPU di masa mendatang akan semakin menipis. Di saat-saat akhir inilah KPU tidak boleh lagi melakukan kesalahan- kesalahan sekecil apa pun. Jangan sampai malah nanti masalah melebar karena ada dugaan kecurangan dalam penghitungan suara resmi. Semoga KPU dan masyarakat Indonesia bisa terus belajar agar pada pemilu selanjutnya kesalahan-kesalahan tersebut tidak lagi dilakukan.(*)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Senin, 13 Juli 2009

Kamis, 02 Juli 2009

Membedah Langkah Konkret Ekonomi Kerakyatan

Sumber: www.jurnalsumatra.com


TEMA kemandirian ekonomi menjadi polemik pada ajang pertarungan capres dan cawapres saat ini. Pasangan Megawati-Prabowo mengecap dirinya prorakyat, pasangan SBY-Boediono mengecap dirinya juga tak kalah prorakyat--dan dengan sengit menepis label neoliberalisme- JK-Wiranto juga berkali-kali berusaha menunjukkan pemihakannya kepada rakyat dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri.

Ekonomi kerakyatan sejatinya merupakan amanah konstitusi yang diwariskan oleh para founding fathers kita. Bisa dikatakan ekonomi kerakyatan --dan berbagai varian namanya— yang dikampanyekan ketiga pasangan hanya menyentuh kulit luarnya saja, belum sampai pada tataran konkret. Lantas, apa langkah konkret dari ekonomi kerakyatan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengacu pada UUD 1945.
Dalam Pasal 33 ayat 3 termaktub dengan jelas bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sepenggal kalimat sakti itulah mestinya ekonomi kerakyatan dibangun.

Seharusnya semua kekayaan alam yang tersebar di seluruh pelosok negeri mulai dari mineral, bahan tambang hingga hutan dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya kesejahteraan pejabat dan pengusaha saja. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah bangsa Indonesia sudah mengkhianati UUD-nya sendiri dengan menjual kekayaan nasional kepada investor asing.

Oleh karena itu, para capres dan cawapres yang menggembar-gemborkan ekonomi kerakyatan harus berani mencanangkan langkah menasionalisasi semua perusahaan asing yang saat ini bergelimang kekayaan di atas penderitaan rakyat. Selain itu, mereka juga harus menyetop utang luar negeri yang selama ini mencekik perekonomian bangsa.
Dalam bidang pertanian, ekonomi kerakyatan harus bisa mengadakan reformasi agraria dan kedaulatan pangan. Langkah-langkah ini memang tergolong ekstrem dan berbahaya bagi si pelaksana jika benar-benar diterapkan. Sebab jika seseorang sudah berani mengikrarkan ekonomi kerakyatan, berarti juga mengikrarkan pernyataan perang terhadap korporasi-korporasi MNC's (multi-national corporation) dan TNC's (trans-national corporation) serta lembaga-lembaga pemberi utang seperti World Bank, IMF, dan ADB.

Selama ini kekayaan alam yang dikelola asing lebih banyak dilarikan ke luar negeri. Sebagai produsen, Indonesia justru hanya mendapatkan sisa dan menjadi pangsa pasar. Lewat jeratan utang Indonesia "dipaksa" menandatangani sejumlah kesepakatan yang merugikan bangsa dalam pergaulan internasional.

Neoliberalisme dengan jargonnya deregulasi, privatisasi dan liberalisasi sangat mencolok. Meskipun saat ini semua orang emoh dicap neoliberalis, kenyataan berbicara sebaliknya. Hal itu terbukti dengan disahkannya UU Penanaman Modal No 25/2007. UU inilah yang kemudian melahirkan peraturan yang menyatakan para investor bisa memiliki hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun, hak guna bangunan (HGB) 80 tahun, dan hak pakai (HP) 70 tahun.

Maka mengacu semua permasalahan di atas, semua kandidat harus menjamin bahwa kekayaan Indonesia adalah untuk rakyatnya. Caranya bukan dengan mengelak dan berteriak dengan lantang "saya bukan neoliberal", tetapi dengan mengeluarkan undang-undang yang menjamin ketersediaan tanah, air, dan benih bagi petani kecil.
Harus ada juga gerakan konkret, bahkan pada saat mereka belum terpilih saat ini. Jika semua itu sudah dilaksanakan, barulah para pasangan capres dan cawapres itu boleh mengaku sebagai pengusung ekonomi kerakyatan.(*)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi 1 Juli 2009