|
Sumber: www.jurnalsumatra.com |
TEMA kemandirian ekonomi menjadi polemik pada ajang pertarungan capres dan cawapres saat ini. Pasangan Megawati-Prabowo mengecap dirinya prorakyat, pasangan SBY-Boediono mengecap dirinya juga tak kalah prorakyat--dan dengan sengit menepis label neoliberalisme- JK-Wiranto juga berkali-kali berusaha menunjukkan pemihakannya kepada rakyat dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri.
Ekonomi kerakyatan sejatinya merupakan amanah konstitusi yang diwariskan oleh para founding fathers kita. Bisa dikatakan ekonomi kerakyatan --dan berbagai varian namanya— yang dikampanyekan ketiga pasangan hanya menyentuh kulit luarnya saja, belum sampai pada tataran konkret. Lantas, apa langkah konkret dari ekonomi kerakyatan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengacu pada UUD 1945.
Dalam Pasal 33 ayat 3 termaktub dengan jelas bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari sepenggal kalimat sakti itulah mestinya ekonomi kerakyatan dibangun.
Seharusnya semua kekayaan alam yang tersebar di seluruh pelosok negeri mulai dari mineral, bahan tambang hingga hutan dikelola oleh negara demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya kesejahteraan pejabat dan pengusaha saja. Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah bangsa Indonesia sudah mengkhianati UUD-nya sendiri dengan menjual kekayaan nasional kepada investor asing.
Oleh karena itu, para capres dan cawapres yang menggembar-gemborkan ekonomi kerakyatan harus berani mencanangkan langkah menasionalisasi semua perusahaan asing yang saat ini bergelimang kekayaan di atas penderitaan rakyat. Selain itu, mereka juga harus menyetop utang luar negeri yang selama ini mencekik perekonomian bangsa.
Dalam bidang pertanian, ekonomi kerakyatan harus bisa mengadakan reformasi agraria dan kedaulatan pangan. Langkah-langkah ini memang tergolong ekstrem dan berbahaya bagi si pelaksana jika benar-benar diterapkan. Sebab jika seseorang sudah berani mengikrarkan ekonomi kerakyatan, berarti juga mengikrarkan pernyataan perang terhadap korporasi-korporasi MNC's (multi-national corporation) dan TNC's (trans-national corporation) serta lembaga-lembaga pemberi utang seperti World Bank, IMF, dan ADB.
Selama ini kekayaan alam yang dikelola asing lebih banyak dilarikan ke luar negeri. Sebagai produsen, Indonesia justru hanya mendapatkan sisa dan menjadi pangsa pasar. Lewat jeratan utang Indonesia "dipaksa" menandatangani sejumlah kesepakatan yang merugikan bangsa dalam pergaulan internasional.
Neoliberalisme dengan jargonnya deregulasi, privatisasi dan liberalisasi sangat mencolok. Meskipun saat ini semua orang emoh dicap neoliberalis, kenyataan berbicara sebaliknya. Hal itu terbukti dengan disahkannya UU Penanaman Modal No 25/2007. UU inilah yang kemudian melahirkan peraturan yang menyatakan para investor bisa memiliki hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun, hak guna bangunan (HGB) 80 tahun, dan hak pakai (HP) 70 tahun.
Maka mengacu semua permasalahan di atas, semua kandidat harus menjamin bahwa kekayaan Indonesia adalah untuk rakyatnya. Caranya bukan dengan mengelak dan berteriak dengan lantang "saya bukan neoliberal", tetapi dengan mengeluarkan undang-undang yang menjamin ketersediaan tanah, air, dan benih bagi petani kecil.
Harus ada juga gerakan konkret, bahkan pada saat mereka belum terpilih saat ini. Jika semua itu sudah dilaksanakan, barulah para pasangan capres dan cawapres itu boleh mengaku sebagai pengusung ekonomi kerakyatan.(*)
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi 1 Juli 2009