Rabu, 11 Januari 2012

Timur Tengah dalam Pusaran Konflik


Sumber : http://www.ezilon.com/maps/middle-east-continent-maps.html


Berbicara soal Timur Tengah (Timteng), rasanya sangat berkaitan erat dengan konflik. Bibit konflik bahkan sudah dimulai sejak sebelum era modern. Kerajaan Persia yang menjadi cikal bakal negara Iran, tercatat selalu berperang dengan tetangganya kerajaan Mesopotamia yang berada di lembah sungai Eufrat dan Tigris (Irak).
Di zaman modern, konflik terus terjadi dengan dimulainya perang Iran-Irak yang berlangsung mulai September 1980-Agustus 1988. Konflik antar dua negara ini merupakan puncak gunung es dari sengketa perbatasan di sungai Shatt AL-Arab yang berlarut-larut sejak 1957.
Perang selama 8 tahun itu telah mengubah wajah kedua negara. Tak kurang dari 1 juta jiwa melayang sementara tujuan perang tak juga tercapai. Saddam Hussein sang tiran dari negri seribu 1 malam tak juga mampu menundukkan saingannya sang pemimpin Syiah Iran, Ali Khomaeni. Begitu juga sebaliknya.
Dengan kondisi ekonomi yang terus memburuk pasca perang Irak-Iran, Saddam Hussein kemudian menginvansi Kuwait yang memicu terjadinya perang Teluk pada 2 Agustus 1990. Rendahnya harga minyak akibat over produksi Kuwait, perselisihan ladang minyak Rumela, moratorium utang yang gagal serta konflik perbatasan memicu Irak menyerang Kuwait dan menguasainya dalam waktu singkat.
Peristiwa ini telah mengejutkan dunia. Atas nama Dewan Keamanan PBB, AS dan beberapa negara Eropa menghimpun kekuatan untuk melumpuhkan tentara Irak. Pada 17 Januari 1991, pasukan koalisi resmi memulai Operasi Badai Gurun untuk mengincar titik vital kekuatan Iraq.
Meski hanya berlangsung 7 bulan (2 Agustus 1990-27 Februari 1991), perang ini cukup menyita perhatian dunia. Selan karena Iraq yang melakukan berbagai cara untuk memenangkan perang seperti membakar sumur-sumur minyak di Kuwait serta menumpahkan minyak di Teluk Persia, keterlibatan Rusia juga menarik diperhatikan. Meski menjadi sekutu Iraq, nyatanya Rusia tidak berbuat apa-apa dalam sidang PBB mamupun perang itu sendiri.
Irak kembali menjadi mata badai saat negri adidaya AS menginvansi negri itu pada Februari-Maret 2003. Dengan tujuan utama menggulingkan Saddam Hussein serta melucuti senjata pemusnah massal, AS mengerahkan kekuatan militernya untuk menginvansi negara itu.
Selain Iraq yang menjadi mata konflik, Timur Tengah juga dihinggapi pertikaian sengit antara negara-negara Arab (terutama Palestina) dengan Israel. Benih konflik berbau agama ini dimulai ketika pada 14 Mei 1948 kaum Yahudi mempoklamirkan berdirinya negara Israel di wilayah Palestina. Sehari kemudian, tentara gabungan Lebanon, Mesir, Yordania, Suriah dan Irak menyerbu Israel yang justru dimenangkan oleh Israel.
Yang paling terkenal tentu saja perang 6 hari tahun 1967 yang melibatkan negara-negara Arab dengan Israel. Dalam perang yang kelak mengubah peta perpolitikan Timur Tengah itu, Israel berhasil merebut Yerussalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan.
Dewasa ini, konflik masih saja terjadi. Bermula dari revolusi di Mesir awal 2011 dan pemberontakan di Libya, Suriah kini menjadi buah bibir. Negri diktator itu kini bahkan sudah dikeluarkan dari Liga Arab dan terancam mengalami nasib yang sama dengan Libya.
Selain Suriah, potensi konflik juga muncul dari negri Syiah Iran. Negri para Mullah itu disinyalir sedang mengembangkan senjata nuklir berbasis uranium. Sikap ofensif langsung datang dari musuh bebuyutannya AS dan Israel. Presiden Israel Shimon Peres bahkan secara terang-terangan mengancam akan menyerang Iran.
Aura konflik semakin memanas saat Menlu Iran menyatakan kesiapan negaranya menerima tantangan Israel. Yang menarik adalah apa yang dilakukan oleh dua anggota tetap DK PBB Rusia dan Cina. Kedua negara itu terlihat jelas keberpihakannya terhadap Suriah dan Iran. Baru-baru ini Rusia bahkan sudah menempatkan kapal induknya di wilayah Suriah.
Dengan kondisi seperti ini, perang bisa meletus kapan saja di Timur Tengah. Jika Israel tetap menyerang Iran dan NATO membombardir Suriah sebagaimana yang terjadi di Libya, perang besar dipastikan akan meletus. AS, Israel dan negara sekutunya akan berhadapan dengan Iran, Suriah dan Rusia. Apa yang akan terjadi pada 2012? Benarkah akan terjadi perang dunia III?
Konflik dan Ekonomi
Siapapun pasti sepakat bahwa konflik berkaitan erat dengan ekonomi. Berbicara mengenai konflik di TimTeng, maka mau tidak mau kita harus berbicang soal minyak. Sebagai gudangnya minyak terbesar di dunia, apa yang terjadi di Timur Tengah tentu mempengaruhi pergerakan harga minyak.
Minyak sempat menyentuh level tertinggi di $ 147,27 per barel pada 11 Juli 2008. Saat itu, Iran melakukan uji coba rudal-nya yang hampir saja menyulut ketegangan di Timur Tengah.
Memang jika dirunut dari sejarah, konflik tidak selalu mengangkat harga minyak. Saat perang Iran-Iraq 1980-1988 berkecamuk misalnya, harga minyak tetap stabil dikisaran $ 32. Hal ini terjadi karena saat itu Arab Saudi membanjiri pasar dunia dengan minyak murah pada 1981.
Dengan demikian, pergerakan harga minyak sesungguhnya digerakkan oleh seberapa besar produksi yang dikeluarkan. Dalam hal ini, Organization Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang memegang kunci dari kuota produksi minyak. Jika konflik terus terjadi dan produksi minyak menurun bisa dipastikan minyak akan terus melonjak.
Dengan menjadi jantung minyak dunia, tak pelak TimTeng menjadi primadona. Tak heran AS pun sejak lama turut serta dalam perkembangan ekonomi dan politik kawasan ini. AS tak hanya berkepentingan pada minyak namun juga mata uang dollar.
Sejak perjanjian Breton Woods pasca Perang Dunia II, AS memang menjadi kekuatan utama ekonomi dunia. Dollar pun merajalela dan menjadi mata uang utama. Namun, sejak Presiden Nixon melepaskan keterikatan dollar dengan emas pada 1971, dollar seperti akan terjun bebas.
Namun, kejatuhan dollar itu tertahan saat AS berhasil memaksa negara-negara produsen minyak untuk mematok harga minyaknya terhadap dollar AS. Setelah beberapa dekade merajalela, dollar mendapatkan pesaing baru dari negara-negara Eropa yang bergabung dan menggunakan mata uang baru euro pada 1999.
Petaka datang ketika Iran dan Iraq yang menjadi eksportir minyak lebih memilih menggunakan euro ketimbang dollar AS. Bahkan pada tahun 2000, Saddam Hussein sang Presiden Iraq menuntut minyaknya seharga $ 10 miliar dikonversi dari dollar ke euro. Dengan fakta ini, tak heran jika banyak pihak yang mensinyalir bahwa invansi AS ke Iraq sesungguhnya bertujuan untuk menyelamatkan dollar.
Proyeksi 2012
Dengan potensi koonflik yang semakin memanas di akhir tahun ini, tahun 2012 sepertinya akan dilalui negara-negara di Timur-Tengah dengan harap-harap cemas. Sebagai salah satu pentolan minyak dunia, Iran memegang peranan penting. Rencana embargo yang akan dijatuhkan Eropa sebagai bagian dari sanksi nuklirnya kemungkinan akan mengerek harga minyak.
Embargo minyak ini diperkirakan akan menurunkan produksi minyak Iran dari 3,7 juta barel/hari menjadi 2,7 juta barel/hari. Banyak pengamat yang menyatakan embargo ini justru akan menjadi boomerang bagi Eropa. Bahkan OPEC pun mendesak Eropa membatalkan sanksi itu.
Krisis Eropa memaksa negara-negara dikawasan itu menggenjot industrinya dan mendapatkan minyak murah. Namun jika dilakukan embargo minyak akan meroket tinggi. Bahkan mentri perminyakan Iran, Rostam Qasemi menyatakan harga minyak akan menembus $ 250 jika Eropa terus memberikan sanksi terhadap Iran.
Satu hal lagi yang cukup menyita perhatian adalah rencana negara-negara Islam untuk menggunakan mata uang bersama yaitu dinar emas. Dalam konfrensi OKI di Kuala Lumpur tahun 2003, tercetus ide untuk mengguankan mata uang bersama. Ide itu kembali berkumandang pada tahun 2005.
Memang belum ada kepastian soal rencana tersebut. Namun, pasca runtuhnya rezim Khadafi di Libya beberapa dokumen penting menyebutkan sudah ada niat dari negara-negara Islam dan Afrika untuk beralih menggunakan mata uang bersama.
Jika rencana tersebut benar-benar di laksanakan, apa yang terjadi pada tahun 2000 saat Iraq dan Iran beralih ke euro akan terulang. Jika negara-negara Islam yang mayoritas merupakan eksportir minyak benar-benar menggunakan mata uang bersama, sinyak buruk tentu bagi dollar AS.

Krisis Eropa & Potensi Pasar Indonesia


Sumber: http://crackerjackfinance.com/


Dua tahun sudah gonjang-ganjing krisis Eropa berkecamuk. Berbagai upaya mulai dari pengetatan anggaran hingga pinjaman dana bailout dilakukan. Namun Yunani, Italia, Portugal, Spanyol, Irlandia dan negara Euro lainnya masih saja panas dingin. Tak pelak hal ini akan sangat berpengaruh pada prospek ekonomi di seluruh kawasan pada 2012.
Banyak yang mengklaim krisis Eropa tidak akan berdampak signifikan pada perekonomian Indonesia. Para ekonom optimis dengan fundamental ekonomi dan sektor financial kita yang termasuk kokoh.
Cadangan devisa kita di atas $ 100 miliar tahun ini. Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi sampai kuartal III/2011 sebesar 6,5%, jauh diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi Eropa dan Amerika yang hanya 2%.
Dengan fundamental semacam itu, wajar saja jika banyak pihak yang tertarik menjalin kerjasama dengan Indonesia. Tahun ini saja AS dengan gigih mendorong terwujudnya Trans-Pasifik sebagai areal perdagangan AS dengan negara-negara Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) terutama Indonesia. Sebelumnya, Indonesia juga sudah meneken perjanjian Free Trade Agreement (FTA) Asean-China pada 2010.
Kerjasama semacam ini tentu akan sangat sangat berpengaruh bagi ekonomi seluruh kawasan. China sebagai eksportir terbesar di dunia tentu sangat terpukul atas apa yang terjadi di Eropa. Ekspornya jatuh ke level terendah sejak 2009, sementara pertumbuhan ekonominya melambat hingga 9,1%.
Tingginya tingkat konsumsi dan jumlah penduduk Indonesia tentu menjadi pasar yang menggiurkan. China dan AS yang bertumpu pada ekspor tentu akan lebih fokus untuk menggempur pasar Indonesia. Meski BPS merilis neraca perdangan Indonesia-China surplus hingga $ 106,9 juta pada Oktober lalu, kita tentu tidak akan lupa bahwa per Maret 2011 defisit perdagangan kita mencapai $ 668 juta.
Yang paling mengkhawatirkan tentu saja sektor pertanian yang nampaknya masih mengandalkan impor. Tahun 2011 memang dipenuhi dengan gejolak impor kentang, beras, gula hingga garam yang begitu mengejutkan. Sungguh sebuah ironi dimana 70% luas wilayah Indonesia adalah lautan justru harus mengimpor garam dari negri tetangga.
Dengan potensi perdagangan bebas yang semakin besar, kita pantas khawatir dengan kinerja industri dalam negri kita yang agak terseok-seok. Ketidakpastian krisis Eropa harus diantisipasi dengan memperkuat industri dalam negeri. Sebab, produk China dan AS akan menggilas pasar dalam negri jika hanya terpaku pada data-data fundamental ekonomi.