Sejak zaman orde lama, pelarangan peredaran buku menjadi momok yang menakutkan bagi para penggiat intelektual. Menggunakan dalih keamanan negara, rezim Suharto pun dengan kewenangan penuh dapat menentukan mana buku yang layak dikonsumsi publik dan mana buku yang harus dibuang ke tong sampah.
Sayangnya, meskipun zaman dan rezim telah berganti, pelarangan peredaran buku masih mungkin dilakukan. Hal ini karena meskipun kesadaran pemerintah dan publik sudah sedikit tercerahkan, dari segi hukum tata negara perihal pelarangan peredaran buku ini masih sah dan legal diatur oleh undang-undang.
Dalam Pasal 1 UU No 4/PNPS/1963 tentang pelarangan Barang-barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum Juncto Pasal 30 Huruf C UU No 16/PNPS/1963 Tentang Kejaksaan disebutkan bahwa Kejaksaan Agung mempunyai hak untuk melarang peredaran buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
Ini tentu saja sangat berbahaya bagi perkembangan paradigma intelektual di Indonesia. Memang sejak tahun 1998 sampai 2005 tidak satupun buku yang dilarang oleh Jaksa Agung. Namun sejak tahun 2006 sampai 2009 setidaknya ada 22 buku yang dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung. Hal ini sangat kontradiktif mengingat pada tahun yang sama, perumusan kedua UUD 1945 disahkan. Dalam pasal 28 UUD 1945, kebebasan mengeluarkan pendapat baik secara lisan dan tulisan sangat dijamin. Apalagi sejak tahun 2005 pemerintah juga sudah turut merativikasi Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat baik secara lisan maupun tulisan.
Namun akhirnya, angin segar berhembus dari gedung Mahkamah Konstitusi (MK). MK akhirnya mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU No 4/PNPS/1963 dan membatalkan kewenangan kejaksaan Agung dalam melarang peredaran buku. MK berpendapat Pasal 1 sampai 9 UU No 4/PNPS/1963 inkonstusional karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (1).
Sejak bulan Februari lalu, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri, penulis buku “Lekra Tidak Membakar Buku” memang melakukan judicial review atas UU No 4/PNPS/1963. Sebelumnya Darmawan penulis buku “Enam Jalan Menuju Tuhan” juga sempat mengajukan permohonan pengujian UU No 16 /PNPS/1963 Tentang Kejaksaan.
Ini tentu saja sebuah keputusan yang harus diapresiasi. Pelarangan peredaran buku merupakan ciri bangsa yang otoriter. Tindakan itu menggambarkan langkah pengecut dalam menghadapi arus informasi yang tidak bisa lagi dibendung.
Selama orde baru, entah sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus buku yang dilarang oleh Jaksa Agung peredarannya. Meski begitu, nyatanya buku-buku terlarang itu tak pernah benar-benar hilang ditelan zaman. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh nyata bagaimana sebuah buku bisa survive lewat peredarannya yang tersembunyi. Sungguh menggelikan membayangkan di zaman modern ini untuk transfer pengetahuan lewat buku harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi seperti bertransaksi narkoba.
Kita tentu sepakat, bahwa cara terbaik melawan buku kontroversial adalah dengan buku pula. Riset harus dibalas dengan riset. Dengan memberikan kewenangan bagi Jaksa Agung untuk melarang peredaran buku yang secara subjektif dianggap meresahkan masyarakat, maka akan tercipta monoversi kebenaran.
Padahal untuk membangun sebuah bangsa yang berperadaban dibutuhkan unsur-unsur penyeimbang. Polemik selalu dibutuhkan dalam proses dialektika menuju perubahan. Jika gagasan-gagasan yang sedikit berbeda selalu disingkirkan sebelum dinilai publik, maka monopoli kebenaran akan selalu terjadi. Sejarah adalah hasil karya pihak penguasa. Itu telah dibuktikan oleh banyak bangsa di dunia.
Meski sudah sangat terlambat, keputusan MK untuk membatalkan kewenangan Kejaksaan dalam melawan buku merupakan kado yang istimewa. Memang pelarangan buku masih mungkin dilakukan. Namun mekanismenya harus melalui proses pengadilan.
Dalam proses di pengadilan, para penulis buku yang digugat bisa mempertahankan argumennya. Disinilah sesungguhnya letak jalan tengah antara wacana demokrasi dan dalih keamanan negara. Dalam proses persidangan akan tercipta debatable academic sehingga bisa dihindari monopoli tafsir terutama oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak berkompeten.
Meskipun keputusan masih tetap ditangan hakim, mekanisme ini dirasa lebih adil karena publik bisa turut serta dalam proses perdebatan itu dan arus informasinya tidak terputus. Selama ini gape informasi seringkali terjadi karena buku-buku yang mengangkat isu sensitif hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.
Yang menjadi PR kita selanjutnya adalah mengawasi agar peredaran buku-buku di Indonesia ini tetap terjamin keselamatannya. Meskipun mekanisme pelarangan peredaran buku telah diatur sedemikian rupa, pengkerdilan informasi lewat buku masih bisa dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab dengan cara-cara kotor.
Buku “Gurita Cikeas” karya George Junus Aditjondro adalah contoh nyata. Meskipun buku itu tidak dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung, “Gurita Cikeas” sempat menghilang dari pasaran hingga menjadi begitu langka. Publik tentu menjadi bertanya-tanya apa yang terjadi dibalik menghilangnya buku tersebut. Jangan sampai istilah “pembonsaiaan politik” juga dipakai sebagai “pembonsaiaan informasi”.
Kedepannya kita tentu berharap, keputusan MK ini menjadi pelestari keberagaman Indonesia yang tidak hanya terlihat dari agama, etnis dan budaya saja tapi juga dari segi ide dan gagasan sekaligus sebagai tonggak awal cita-cita luhur untuk mencerdaskan bangsa sesuai yang diamanatkan oleh Mukaddimah UUD 1945.