si kembar Sindoro-Sumbing dari Pos II.. |
Summit
Attack
Pagi menjelang. Di
sebelah barat tampak si kembar Sindoro-Sumbing dengan gagahnya. Pagi di gunung memang
selalu menyenangkan, meski selalu dilalui dengan rutinitas yang hampir sama.
Ngopi, bikin sarapan, foto-foto narsis sambil membicarakan angin kencang
semalam. Saya seperti biasa, sangat menyukai memasak di pagi hari. Meskipun
hanya sekedar menggoreng roti ataupun membuat teh dan kopi.
Foto keluarga di Pos II... |
Pagi itu kami masih
bingung dengan rencana selanjutnya. Apakah tetap dengan rencana awal: muncak
membawa segenap perabotan lenong lantas turun lewat Selo, atau ada opsi lain.
Sementara kawan-kawan mempercayakan keputusan kepada saya, maka saya pun
silaturahmi kepada para tetangga sebelum mengambil keputusan.
Soulmate Misbah & Uchup... |
Dari hasil obrolan
dengan para pendaki lain, saya dapat kesimpulan tidak ada satupun pendaki yang
berani lewat Selo saat ini. Cuaca yang cukup ekstrem membuat para pendaki harus
membuat keputusan cerdas. Saat itu, cuaca di Merbabu memang sedikit banyak
dapat diprediksi. Cerah dari pagi hingga jam 13.00, lalu kemudian hujan akan
terus turun dan berpotensi menjadi badai semakin malam. Turun lewat Selo dengan
jalur savana yang terbuka di sore hari sangat berpotensi dicumbu badai.
Jalur pendakian menuju Pos III |
Pada akhirnya, kami pun
memutuskan untuk summit attack dan
turun kembali lewat Wekas. Persiapan segera dilakukan. Kami hanya membawa bekal
berupa roti dan biskuit, air secukupnya, serta trangia untuk jaga-jaga jika
diperjalanan tiba-tiba ngidam kopi.
Bayu, dengan kondisinya
yang tidak memungkinkan untuk summit
attack memutuskan untuk menunggu di tenda. Sekitar pukul 07.30, saya,
Misbah dan Uchup pun melangkahkan kaki menuju puncak. Kami rombongan ke-2 yang summit attack hari itu. Sementara
rombongan pertama sudah berangkat sejak dini hari demi mengejar lahirnya sang mentari.
Perjalanan awal kami
lalui dengan lancar. Jalurnya tidak terlalu terjal tapi juga tidak terlalu
landai. Perjalanan sempat break
sejenak demi menunggu Uchup melaksanakan hajatnya di pagi hari. Sekitar 1 jam
lebih kami berjalan, akhirnya kami tiba di Pos III. Disini ada aliran air yang
cukup jernih. Padahal biasanya air hanya bisa ditemukan di Pos II. Kami pun
segera mengganti air perbekalan kami dengan air di Pos III ini. Maklum, air di
Pos II rasanya sudah tercampur belerang sehingga sangat tidak enak diminum
langsung.
Pertigaan Pemancar-Puncak |
Di pertigaan antara ke puncak dan pemancar kami berhenti cukup lama untuk bernarsis ria. Pada awalnya kami mengira sudah cukup dekat dengan puncak. Rupanya setelah berjalan agak jauh, saya menemukan plang yang bertuliskan:
Puncak Kentheng
Songo à 1,6 KM
Melihat hal itu, saya
segera berteriak kepada Uchup dan Misbah untuk bergegas. Jika tidak ingin
berhujan-hujan ria, kami harus sudah sampai kembali di Pos II sebelum jam
13.00. Sebelum mencapai pos Helipad, kami dihadapkan pada tanjakan yang cukup
terjal. Entah apa rasanya jika bawa keril melewati jalur ini. Di Pos Helipad
inilah kami mulai membuka perbekalan kami. Roti tawar berselimut susu coklat.
Lumayan mengganjal perut.
Lepas dari Helipad,
jalur mulai sering dikunjungi kabut. Perjalanan ke puncak ini seringkali
menipu. Jalurnya naik turun. Beberapa kami kami tertipu karena memperkirakan
sebuah spot sebagai puncak, nyatanya hanyalah bukit.
Melipiiiirrr..... |
Tak jauh dari pertigaan
Puncak Syarif-Puncak Kentheng Songo, kami bertemu dengan para pendaki lain yang
hendak turun. Atas saran dari mereka, kami harus sudah turun dari puncak
sebelum jam 12, jika tidak ingin diguyur hujan atau bahkan badai. Dengan
keputusan bersama, akhirnya kami pun memilih untuk mengunjungi Puncak Kentheng
Songo saja.
Merbabu yang memiliki 3
puncak—Syarif, Kentheng Songo dan Triangulasi—memang benar-benar luar biasa.
Jalan setapak yang terkadang berselimut kabut dengan dominasi warna hijau di
sekeliling menimbulkan sensasi tersendiri. Perpaduan antara putihnya kabut,
hijaunya dedaunan, birunya langit serta coklatnya pohon dan tanah membuat
perjalanan kami sangat menyenangkan.
Setelah melahap
tanjakan yang cukup menguras tenaga, akhirnya puncak Kentheng Songo berhasil
kami rengkuh. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 10.30 saat itu. Plang
penanda puncak sekaligus batu-batu berlubang tak ayal menjadi objek nasis kami.
Saat itu, kami adalah satu-satu rombongan yang ada di puncak.
Puncak yang dikepung kabut |
Tak lebih dari 20
menit, kami segera turun. Seluruh penjuru mata angin sudah dikepung warna
putih. Sayang memang. Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling keindahan alam
Merbabu terhalang oleh kabut.
Perjalanan turun jelas
lebih menyenangkan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. Di sebelah sana awan
hitam mulai berkumpul siap untuk bekerja. Kami semakin bergegas. Tak jauh dari
pertigaan puncak ke puncak Syarif, kami bertemu dengan rombongan besar yang
baru akan menuju puncak. Tak kurang dari 23 orang yang tergabung. Kami berani
memprediksi, mereka pasti akan kehujanan saat turun.
Sebelum mencapai pos
Helipad, kami tergoda untuk ngopi sejenak. Jadilah trangia dan spirtus keluar
dari persembunyiannya. Ditemani gulungan Samsoe dan segelas kopi, kamipun
bercanda ditengah hawa dingin yang mengepung. Saat sedang asyik menggilir
segelas kopi, 3 orang pendaki melewati kami lengkap dengan keril besar mereka.
“Mau turun lewat Selo
mas?,” iseng saya bertanya.
“Enggak, lewat Wekas
juga,” jawab salah seorang dari mereka pendek.
Seperti diburu waktu
mereka pun bergegas melanjutkan perjalanan. Tinggallah kami yang geleng-geleng
kepala keheranan. Mau turun lewat Wekas juga tapi tetap membawa segenap
perabotan lenong ke puncak? Hanya orang saktilah yang mampu melakukannya.
Sekitar pukul 13.00
kami pun tiba kembali di tenda kami yang nyaman. Dan benar saja. Tak lama
kemudian hujan mengguyur dengan derasnya. Entah bagaimana nasib para pendaki
yang tadi kami temui saat turun. Yang pasti hujan akan mengguyur mereka dengan
dahsyatnya.
Perjalanan dari puncak
tadi membuat kami kelaparan. Uchup yang dalam perjalanan kali ini kami daulat
sebagai koki utama segera melakukan eksperimennya. Dan hasilnya, berupa nasi
goreng kornet dengan sosis dan bakso goreng. Yang lebih istimewa, nasi goreng
ini pedasnya luar biasa. Tak ayal sempat memakan beberapa orang korban yang
langsung sibuk mencari semak-semak pasca menyantap nasi goreng ini.
Kami menunggu dengan
bosan. Hujan tak kunjung reda, sementara kami harus segera turun. Demi membunuh
waktu saya dan Misbah yang memang satu tenda memutuskan untuk bermain kartu.
Lantunan suara merdu dari Bossanova menambah syahdu siang itu. Hujan, di dalam
tenda, alunan jazz romantis, aaaahhh….bisakah si Misbah ini dituker aja dengan
seorang wanitaaa??
Sekitar pukul 15.00
rombongan dari puncak turun. Tubuh mereka basah kuyup tanpa menyisakan satu
celahpun yang kering. Saya segera berinisiatif membuatkan kopi. Disinilah
bencana terjadi. Kondisi gerimis memang memaksa kami untuk masak di vestibulate tenda. Kalian tahu sendiri,
vestibulate si oranye lafuma kecil sekali. Perpaduan antara besarnya api dari
trangia serta sempitnya vestibulate Lafuma akhirnya membakar tenda kami.
Jilatan api itu berhasil melubangi tenda dengan diameter sekitar 2 cm. Ya
sudahlah terima nasib saja. Hikss…!
Waktu semakin sore tapi
hujan justru semakin deras. Akhirnya kami memutuskan untuk packing ditengaj
hujan. Tenda jelas menjadi kendala utama dalam packing seperti ini. Karena
sayalah yang bertugas membawa 2 tenda ini, saya menjadi orang terakhir yang
packing. Jika sebelumnya di Manglayang saya harus merasakan nikmatnya
mendirikan tenda ditengah hujan, kini saya harus merasakan membongkar sekaligus
packing tenda ditemani rintik air hujan.
Sulit juga ternyata.
Packing menjadi tidak maksimal hingga memakan banyak ruang. Keril saya sudah
sangat tidak seimbang. Bahkan fly sheet tenda justru tidak muat akibat packing
asal-asalan. Karena malas membongkar lagi ditengah hujan begini, fly sheet ini
pun akhirnya saya tenteng saja.
Perjalanan turun tak
juga membuat hujan semakin ramah. Bahkan semakin menjadi. Angin menderu-deru.
Suaranya yang menghantam ranting dan dedaunan membuat merinding juga. Sekitar
1,5 jam turun kami harus berjuang dengan guyuran hujan, jalur yang licin dan
bahkan menjadi aliran air serta angin yang bertiup kencang.
Akhirnya perjuangan
kami usai sudah. Malam menjelang saat kami tiba kembali di basecame Wekas.
Disinilah kami membersihkan badan dan numpang bermalam. Disini pulalah kami
disuguhi nasi, sayur dan telur dadar yang rasanya sumpah nikmat alhamdulillah. Saya
bahkan sampai nambah beberapa kali. Setelah perut kenyang dan membersihkan
badan. Kami pun terlelap. Namun petualangan kami tak hanya berhenti sampai
sini. Esok kami akan bertransformasi dari seorang hiker menjadi traveller. See
you Jogjaaaa.
Credit foto : Uchup & Misbah
Pulaaaannggg |