Jumat, 25 Mei 2012

Candu Mahameru (Bagian II : Habis)




Ranu Kumbolo – Kali Mati

Misty morning. Itulah kesan pertama saya saat keluar dari tenda. Dedaunan masih terlihat basah di peluk embun. Cahaya mentari pagi belum sempurna menyinari bumi. Asap-asap tipis terlihat mengepul di perairan ranu. Hawa dingin yang menyergap tak membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya pagi itu. Mulai dari sekedar memasak air, berfoto ria hingga jalan-jalan santai mengelilingi ranu. Tentu saja, orang macam apa yang mau melewatkan pagi sesempurna ini?



Ranu Kumbolo memang istimewa. Tak banyak danau di ketinggaian yang memiliki panorama alam secantik ini. Danau atau ranu dalam bahasa setempat ini memiliki luas sekitar 14 ha. Di beberapa tempat, beberapa orang terlihat duduk di tepian menunggu pancingnya dimakan ikan. Memancing saja sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan, apalagi memancing di  Ranu Kumbolo. Saya membayangkan jika ada bebek-bebekan tentu lebih semarak.



Meski tak sempat menikmat kelahiran matahari pagi ini, rasanya eksotisnya Ranu Kumbolo sudah menyihir kami. Ada-ada saja kelakuan orang di tempat seperti ini. Ada yang memilih berenang di tengah airnya yang dingin, ada juga yang bermain rakit dengan menggunakan kasur angin. Weleh,,seru sekali. Saat iseng-iseng berkeliling, saya sempat mampir ke tenda para pendaki dari Malang yang membawa gas 3 kg,,!! Ini buktinya..



Setelah menikmati sarapan hasil karya chef terkenal Farah Quin, kami pun segera mengemasi barang-barang. Sekitar pukul 10.30 WIB, saya dan beberapa kawan memutuskan berangkat duluan untuk survey lokasi di Kalimati. Saat melewati tanjakan cinta, saya hampir saja termakan mitos untuk tidak menengok ke belakang. Untung saja akal sehat saya mengingatkan agar jangan melewatkan pemandangan indah di belakang sana..





Dengan nafas yang hampir putus, saya akhirnya berhasil melewati tanjakan cinta itu buta. Dari sini, saya bersama tim dari Semarang yang berjumlah 7 orang langsung meneruskan perjalanan. Karena iseng belaka, kami pun tidak melewati jalur biasa Oro-Oro Ombo yang melipir ke kiri. Kami justru memotong jalur turun terjal yang langsung mengarah ke tengah savana luas.



Kami harus melewati ilalang setinggi dada untuk sampai di pintu Cemoro Kandang. Kembang-kembang berwarna ungu menjadi penyegar di tengah teriknya bola matahari. Sepanjang perjalanan, kami selalu bertemu dengan para pendaki. Saat itu, areal Semeru lebih ramai dari komplek perumahan tempat tinggal saya.




Lepas dari Oro-Oro Ombo, kami memasuki hutan pinus yang sering di sebut Cemoro Kandang. Dari sini, jalur mulai agak menanjak. Dengan semangat 28 (sumpah pemuda 1928 maksudnya), kami meneruskan perjalanan. Lagi-lagi Semeru memberikan kejutanya. Sebelum sampai di Jambangan, kami di suguhi hamparan bunga-bunga kuning dengan latar pohon-pohon kering. Jangan bertanya bagaimana keindahannya,, saya saja yang pemalu tiba-tiba menjadi narsis seketika.!!



Di Jambangan, sekumpulan edelweiss hijau menyambut kami. Meski belum berbunga, edelweiss tetap saja bunga yang penuh misteri. Saat menengadahkan ke langit, keperkasaan Mahameru menantang kami. Gundukan pasir itu terlihat gagah, angkuh dan sulit ditaklukan. Dari bawah sini, tak terbayangkan seperti apa perjuangan yang harus kami lakukan malam nanti.


Dari sini saya ngacir sendirian ke Kalimati yang tinggal beberapa ratus meter lagi. Di tengah jalan saya bertemu dengan mas porter yang jalannya seperti berlari. Meski membawa beban berat, porter-nya mbak Rika ini begitu gesit melangkahkan kaki. Salut lah buat porter dimanapun anda berada.


 Kami tiba di Kalimati sekitar pukul 13.00. Setelah 2 ½ jam berjalan, rasa kantuk begitu mendera. Kabut di Kalimati memberikan efek yang luar biasa. Sepintas saya teringat kenangan di Surya Kencana beberapa tahun lalu. Saat itu kami sempat kebingungan mendirikan tenda. Dengan saran dari mas porter, kami pun beristirahat di shelter yang terbuat dari seng di tengah-tengah Kalimati.


Dengan logistik yang terbatas karena tertinggal di tim belakang, kamipun hanya memilih tidur di savanna yang luas itu. Angin yang berhembus kencang tak menyurutkan langkah kami untuk menggelar matras dan memejamkan mata. Hua,,,tidur di padang savanna adalah pengalaman berharga yang tak akan pernah bisa terlupakan.

Sekitar pukul 15.00, rombongan pak dokter Herry dkk pun tiba. Akhirnya bisa makan juga. Sebelum memasak, kami harus mengambil air yang terletak di Sumber Mani. Sebenarnya adalah tugas porter yang mengambil air, tapi karena naluri jalan-jalan saya tak tertahankan, saya dan Rizki memilih menemani sang porter menuju sumber kehidupan disini.

Walah,,,rupanya jalur ke Sumber Mani cukup jauh. Kami harus naik turun trek untuk mencapai ke sumber air tersebut. Di tengah jalan, kami bertemu dengan mbak Rini yang seperti induk kehilangan anaknya (pribahasa sebenarnya anak kehilangan induknya, tapi karena subjeknya mbak Rini jadi sebaliknya..:p). Rupanya mbak Rini tidak bisa menemukan tenda kami meski sudah keliling Kalimati. Ckckck,,,kasihan ya. Padahal masih muda lho,:p

Rombongan terakhir tiba diiringi rintik hujan ketika senja sudah hampir habis. Karena satu hal dan hal lain, kami tidak bisa menyatukan rombongan besar ini dalam satu areal. Alhasil, kami pun terbagi menjadi 2 rombongan yang saling berjauhan. Saat malam tiba, saya dan 2 kawan dari Semarang mendapat tugas untuk kembali ke Sumbermani mengambil air. Di tengah malam yang dingin itulah kami bertiga harus mengangkut air ber liter-liter melewati jalur Sumbermani yang tak menyenangkan.

Kalimati – Mahameru (Menuju Puncak)

Dengan perbedaan waktu kedatangan ke Kalimati, waktu summit attack pun menjadi berbeda pula. Tim pertama termasuk saya memutuskan untuk berangkat lebih awal sekitar pukul 22.00. Sementara tim ke-2 memutuskan untuk berangkat sekitar pukul 00.00.

Meski baru tidur pukul 21.00 akibat menjalankan tugas sebagai tim pengangkut air, saya harus tetap bangun pukul 22.00. Rasa kantuk dan lelah menjadi godaan summit attack kami. Malam itu, ditengah gulita malam dan angin yang berputar kami saling menguatkan melawan tantangan apapun. Saat seperti ini seharusnya kami tidur di rumah kami yang hangat sambil menonton tv. Ah,,,mendaki gunung memang tak pernah mudah.

Tim pertama yang berjumlah 16 orang bergerak di bawah komando bang Bintang. Karena kami orang Indonesia, maka perjalanan baru benar-benar di mulai sekitar pukul 23.00. Dalam rombongan termasuk 3 orang kaum hawa perkasa yang terus berjuang melangkahkan kaki. Sampai di Arcopodo perjalanan masih lancar jaya. Kami termasuk tim-tim awal yang bergerak ke puncak malam itu.

Tantangan awal dimulai ketika kami memasuki trek berpasir. Beberapa in memoriam menghadang kami dan mengingatkan betapa gunung ini akan menguji siapa saja yang berani mengunjunginya. Dari beberapa kali pendakian, baru kali ini saya merasakan ancaman yang begitu kuat dari alam sekitar. Hal inilah yang semakin memacu saya untuk meningkatkan fisik mental dan keahlian dalam pendakian.


Untung saja malam itu Tuhan memberikan cuaca terbaiknya. Bintang gemintang seolah berlomba pamer di langit. Bintang itu begitu dekat, seakan kita bisa memetik dan menjadikannya oleh-oleh untuk orang terkasih. Dengan cuaca yang bersahabat,, bukan berarti angin bersahabat pula. Sejak tadi udara terasa bergerak kencang mengelilingi kami. Saya tidak tahu berapa celcius suhu saat itu. Yang jelas,,saya merasa seperti sedang berjalan dalam kulkas. Brrr,,brrr.

Jika sejak awal pendakian saya selalu menjadi tim depan, kali ini saya memilih menjadi sweaper menemani Naufal, seorang kawan dari Semarang yang salah kostum dengan mengenakan sepatu converse. Licin sudah pasti, tapi semangatnya itulah yang paling mengkhawatirkan. Memakai sepatu gunung saja susahnya minta ampun, apalagi sepatu Converse model begini.

Alhasil, sisa perjalanan saya habiskan untuk menemaninya. Entah beberapa kali kami harus tergelincir di medan pasirnya. Mahameru memang bukan gunung sembarangan. Butuh fisik, mental dan persiapan yang mumpuni untuk merengkuh puncaknya.

Malam semakin larut. Waktu terasa berjalan begitu cepat, tapi tidak dengan langkah kami. Berjalan di atas pasir dengan kemiringan ekstrim dimalam hari, dingin pula membuat kami sering beristirahat. Di bawah sama ratusan pendaki terlihat tetap semangat mengayunkan langkah. Mahameru malam itu memang begitu ramai. Atriannya bahkan mengalahi antrian BLT di kampung-kampung. Kerlap-kerlip ratusan senter menyuguhkan sensasi tersendiri.

Saat mentari menampakkan batang hidungnya, kami masih saja berkutat dengan sulitnya trek pasir dan kerikil. Panorama yang gelap perlahan berganti dengan sinar terang sang surya. Ah,,,indah sekali. Saat itulah saya harus mengambil keputusan sulit. 


Puncak Mahameru memang memiliki keunikan tersendiri. Di puncak ini, gas beracun dari kawah Jongring Saloka akan bertiup ke arah puncak jika hari sudah mulai siang. Tak heran, jika batas akhir menetap di puncak sekitar pukul 09.00-10.00. Lewat dari jam itu, gas beracun akan mengancam siapa saja yang masih di puncak.


Dengan kondisi seperti itu, saya agak bimbang untuk terus menemani Naufal. Jika terus begini bisa dipastikan saya akan terlambat dan tidak akan mencapai puncak. Akhirnya dengan berat hati saya harus meninggalkannya yang memang sejak awal sudah kehabisan semangat. 


Tanpa beban saya pun terus memaksa tubuh ini terus berjalan. Dengan tenaga tersisa, saya dan beberapa kawan saling bahu membahu menuju puncak. Akhirnya tepat pukul 07.30 WIB Mahameru pun memilih kami untuk bisa menginjak puncaknya. 


Rasa senang, bahagia, haru dan bangga menjadi satu di atas sana. Titik tertinggi di tanah Jawa telah kami capai. Ia mengajarkan kami betapa semangat dan kebersamaan akan mengalahkan apapun. Doa dan keyakinan kami telah membuahkan hasil. Di puncak ini, kita semua adalah saudara kawan.




Perjalanan turun dari puncak terasa lebih menyenangkan. Meski beberapa anggota tim tidak bisa mencapai puncak, kebersamaan tetap menjadi oleh-oleh paling di nanti. Apalah artinya sebuah puncak jika dibandingkan dengan persahabatan yang kekal abadi?


Hari itu juga kami memutuskan untuk turun. Kami tiba kembali di Ranu Kumbolo sekitar pukul 20.00. Setelah makan malam seadanya, tim memutuskan untuk terus berjalan dengan target menuju Ranu Pani. Dalam perjalanan turun inilah saya merasa begitu lelah. Rasa kantuk menyerang sepanjang perjalanan. Setiap beristirahat, kami menyempatkan untuk tidur. Alhasil sekitar pukul 02.00 kami baru sampai di Ranu Pani.

Paginya setelah tim lengkap, kami pun segera meluncur ke Tumpang. Kami pulang membawa sejuta kenangan. Mahameru telah menjadi kawan, guru serta panutan untuk menjalani sisa hidup ini. Entahlah,,jika di akhirat nanti ada puncak gunung sedahsyat ini, mungkin saya akan membentuk tim untuk kembali mendakinya. Bravo pendakian Indonesia.


   

Kamis, 24 Mei 2012

Candu Mahameru (Bagian I)



Sudah beberapa hari sejak saya kembali dari tempat itu. Tapi keindahannya masih saja menghantui. Masih terekam jelas di retina mata saya jernihnya Ranu Kumbolo. Tubuh ini tak berhenti menggigil jika ingat sapaan hangat mentari di pagi itu. Kabut di Kalimati. Bekunya Arcopodo. Dingin yang mengepung. Pasir yang bergulung. Hingga akhirnya puncak dari segala puncak di tanah Jawa. Ya,,Mahameru laksana candu.

Bagi saya, Mahameru adalah mimpi, impian, igauan, harapan, khayalan serta fantasi. Beberapa kali tak berjodoh, Tuhan akhirnya mau berbaik hati memberikan kado terindah di bulan jadi saya ke-22.  Tak tanggung-tanggung, cuaca cerah mengiringi perjalanan kami menuju 3676 mdpl.

Nyatanya, perjuangan untuk mencapai Puncak Mahameru harus di mulai sejak dari rencana. Beberapa kawan harus merelakan diri mengantri semalaman di Stasiun Senen demi mendapat tiket Matarmaja. Salut & terimakasih buat kawan-kawan yang sudah mengantri, meski pada akhirnya untuk tiket pulang harus melalui tangan calo.

16 Mei 2012. Siang itu Stasiun Senen dipenuhi beragam jenis manusia. Di berbagai sudut, para pendaki dengan ransel besar khasnya saling bercengkrama di tengah riuh rendah lautan manusia. Saya yang agak terlambat datang sempat kebingungan mencari rombongan. Libur panjang ini rupanya membuat setiap orang mempunyai hajat keluar dari tempat persembunyianya yang nyaman.

Sekitar pukul 14.00, kereta Matarmaja yang kami tumpangi mulai berjalan. Ransel-ransel besar terlihat memenuhi kereta. Rasanya, puncak-puncak gunung di Jawa akan kedatangan tamu berlimpah akhir pekan ini.

Perjalanan ini sebenarnya bermula dari ajakan mbak Anggi Kartikawati, sesepuh di grup Komunitas Pecinta Alam Warna-Warni (KPAWW). Sebagai seorang nubie sejati, saya pun memberanikan diri bergabung dengan para sesepuh demi mencumbu debu Mahameru.

Singkat cerita, kami tiba di Malang keesokan harinya. Tim bergerak dalam rombongan besar setelah bergabung dengan para pendaki yang mempunyai minat sama. Tak kurang dari 40 orang bergerak di bawah komando mbak Anggi dkk.

Matahari tepat di atas kepala saat kami tiba di Pasar Tumpang. Di Tumpang, kami menunggu Jeep dengan bosan. Ramainya pendaki membuat mobil 4WD ini menjadi barang langka. Beruntung, saya mendapat kesempatan naik Jeep pertama ke Ranu Pani.

Tumpang – Ranu Pani



Perjalanan Tumpang-Ranu Pani menjadi daya tarik tersendiri di areal Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Betapa tidak, sepanjang perjalanan kita disuguhi bentang alam yang menakjubkan. Kelokan tajam dipadu dengan dengan hijaunya flora di kiri dan kanan jalan membuat perjalanan 2 jam terasa menyenangkan. Meski kaki harus menahan beban dan perut serasa di kocok, jernihnya udara tak akan pernah bisa terlupakan.

Di Penanjakan, kami berhenti sejenak. Di bawah sana, bukit Teletubbies yang merupakan jalur ke Gunung Bromo terhampar luas. Sulit menggambarkannya dengan kata-kata. Hijaunya rerumputan laksana permadani yang dihamparkan begitu saja. Ingin rasanya turun dan berlari menikmari lembutnya desau angin serta gemulainya rumput yang bergoyang.




Sekitar pukul 15.00, kami tiba di Ranu Pani. Ini merupakan desa terakhir sekaligus base camp pendakian Semeru. Sambil menunggu rombongan yang belum datang, saya menyempatkan berkeliling menikmati suasana danau di ketinggian 2200 mdpl. Dan inilah hasilnya,,




Ranu Pani-Ranu Kumbolo

Dengan jumlah rombongan yang cukup besar serta ramainya pendakian Semeru, maka diputuskan harus ada tim kebut untuk mengkavling lapak di Ranu Kumbolo. Kebetulan saya masuk tim pertama yang berjumlah 7 orang tersebut. Kami berangkat sekitar pukul 17.30 WIB.

Medan awal menuju Ranu Kumbolo kita harus menyusuri jalan aspal lalu berbelok ke arah perladangan penduduk. Lembayung senja mengiringi langkah kami menuju areal hutan. Mahameru sempat menampakkan kepala pasirnya sebelum akhirnya tertutup kabut.

Trek awal sebenarnya tidak terlalu sulit. Jalurnya tergolong landai untuk ukuran sebuah gunung. Tanjakannya pun tidak terlalu ekstrim jika dibandingkan dengan gunung-gunung di Jawa Barat. Dengan langkah pasti, tim kami terus berjalan tanpa kenal lelah. Saya yang di belakang hanya bisa mengekor langkah-langkah cepat para pemilik dengkul racing di depan.

Di pos I kami baru mengambil nafas. Sejauh ini perjalanan kami tergolong lancar jaya. Tak ingin di sergap dingin, kami langsung mengambil langkah seribu. Perjalanan kali ini memang luar biasa. Komandan di depan sepertinya sangat terobsesi ngopi di Ranu Kumbolo hingga mengabaikan waktu istirahat lama-lama. Tak heran, dalam waktu 3 jam kami sudah tiba di Ranu Kumbolo.



Malam itu Ranu Kumbolo terlihat seperti barak pengungsian. Jangankan di sisi barat yang merupakan spot favorit mendirikan tenda. Di sisi utara pun puluhan tenda warna-warni sudah berdiri. Untung saja kami tidak terlalu kesulitan menemukan lapak untuk mendirikan tenda.

Kopi menjadi prioritas kami. Danau di ketinggian 2400 mdpl ini memberikan udara yang dingin menusuk tulang. Sambil menunggu rombongan yang lain, kami mendirikan tenda sambil memasak. Satu persatu rombongan berdatangan. Mata yang sudah tinggal 5 watt ditambah hawa dingin menggoda kami untuk segera membenamkan diri dalam hangatnya tenda. Namun, rombongan akhwat-akhwat yang dibelakang belum jua datang. Dengan rasa kantuk yang mendera, kami pun menghabiskan waktu dengan memasak guna memastikan saat tim belakang tiba, makanan sudah siap sedia.

Sekitar pukul 01.00, rombongan akhwat-akhwat akhirnya tiba juga. Dengan kelelahan, mereka segera menyantap masakan seadanya yang kami buat. Kami yang sejak jam 20.30 sudah dihantam angin dingin ranu rasanya tak tahan lagi. Sekitar pukul 01.30 saya pun merangsek ke tenda. Merapatkan jaket, masuk ke sleeping bag dan akhirnya di buai mimpi ke peraduan.