Ranu
Kumbolo – Kali Mati
Misty
morning. Itulah kesan pertama saya saat keluar dari tenda. Dedaunan
masih terlihat basah di peluk embun. Cahaya mentari pagi belum sempurna
menyinari bumi. Asap-asap tipis terlihat mengepul di perairan ranu. Hawa dingin
yang menyergap tak membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya pagi itu.
Mulai dari sekedar memasak air, berfoto ria hingga jalan-jalan santai
mengelilingi ranu. Tentu saja, orang macam apa yang mau melewatkan pagi
sesempurna ini?
Ranu Kumbolo memang
istimewa. Tak banyak danau di ketinggaian yang memiliki panorama alam secantik
ini. Danau atau ranu dalam bahasa setempat ini memiliki luas sekitar 14 ha. Di
beberapa tempat, beberapa orang terlihat duduk di tepian menunggu pancingnya
dimakan ikan. Memancing saja sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan, apalagi
memancing di Ranu Kumbolo. Saya
membayangkan jika ada bebek-bebekan tentu lebih semarak.
Meski tak sempat
menikmat kelahiran matahari pagi ini, rasanya eksotisnya Ranu Kumbolo sudah
menyihir kami. Ada-ada saja kelakuan orang di tempat seperti ini. Ada yang
memilih berenang di tengah airnya yang dingin, ada juga yang bermain rakit
dengan menggunakan kasur angin. Weleh,,seru sekali. Saat iseng-iseng
berkeliling, saya sempat mampir ke tenda para pendaki dari Malang yang membawa
gas 3 kg,,!! Ini buktinya..
Setelah menikmati
sarapan hasil karya chef terkenal Farah Quin, kami pun segera mengemasi
barang-barang. Sekitar pukul 10.30 WIB, saya dan beberapa kawan memutuskan
berangkat duluan untuk survey lokasi di Kalimati. Saat melewati tanjakan cinta,
saya hampir saja termakan mitos untuk tidak menengok ke belakang. Untung saja
akal sehat saya mengingatkan agar jangan melewatkan pemandangan indah di
belakang sana..
Dengan nafas yang
hampir putus, saya akhirnya berhasil melewati tanjakan cinta itu buta. Dari
sini, saya bersama tim dari Semarang yang berjumlah 7 orang langsung meneruskan
perjalanan. Karena iseng belaka, kami pun tidak melewati jalur biasa Oro-Oro
Ombo yang melipir ke kiri. Kami justru memotong jalur turun terjal yang
langsung mengarah ke tengah savana luas.
Kami harus melewati
ilalang setinggi dada untuk sampai di pintu Cemoro Kandang. Kembang-kembang
berwarna ungu menjadi penyegar di tengah teriknya bola matahari. Sepanjang
perjalanan, kami selalu bertemu dengan para pendaki. Saat itu, areal Semeru
lebih ramai dari komplek perumahan tempat tinggal saya.
Lepas dari Oro-Oro
Ombo, kami memasuki hutan pinus yang sering di sebut Cemoro Kandang. Dari sini,
jalur mulai agak menanjak. Dengan semangat 28 (sumpah pemuda 1928 maksudnya),
kami meneruskan perjalanan. Lagi-lagi Semeru memberikan kejutanya. Sebelum
sampai di Jambangan, kami di suguhi hamparan bunga-bunga kuning dengan latar
pohon-pohon kering. Jangan bertanya bagaimana keindahannya,, saya saja yang
pemalu tiba-tiba menjadi narsis seketika.!!
Di Jambangan, sekumpulan
edelweiss hijau menyambut kami. Meski belum berbunga, edelweiss tetap saja
bunga yang penuh misteri. Saat menengadahkan ke langit, keperkasaan Mahameru
menantang kami. Gundukan pasir itu terlihat gagah, angkuh dan sulit ditaklukan.
Dari bawah sini, tak terbayangkan seperti apa perjuangan yang harus kami
lakukan malam nanti.
Dari sini saya ngacir
sendirian ke Kalimati yang tinggal beberapa ratus meter lagi. Di tengah jalan
saya bertemu dengan mas porter yang jalannya seperti berlari. Meski membawa
beban berat, porter-nya mbak Rika ini begitu gesit melangkahkan kaki. Salut lah
buat porter dimanapun anda berada.
Kami tiba di Kalimati
sekitar pukul 13.00. Setelah 2 ½ jam berjalan, rasa kantuk begitu mendera.
Kabut di Kalimati memberikan efek yang luar biasa. Sepintas saya teringat
kenangan di Surya Kencana beberapa tahun lalu. Saat itu kami sempat kebingungan
mendirikan tenda. Dengan saran dari mas porter, kami pun beristirahat di
shelter yang terbuat dari seng di tengah-tengah Kalimati.
Dengan logistik yang terbatas
karena tertinggal di tim belakang, kamipun hanya memilih tidur di savanna yang
luas itu. Angin yang berhembus kencang tak menyurutkan langkah kami untuk
menggelar matras dan memejamkan mata. Hua,,,tidur di padang savanna adalah
pengalaman berharga yang tak akan pernah bisa terlupakan.
Sekitar pukul 15.00,
rombongan pak dokter Herry dkk pun tiba. Akhirnya bisa makan juga. Sebelum
memasak, kami harus mengambil air yang terletak di Sumber Mani. Sebenarnya
adalah tugas porter yang mengambil air, tapi karena naluri jalan-jalan saya tak
tertahankan, saya dan Rizki memilih menemani sang porter menuju sumber
kehidupan disini.
Walah,,,rupanya jalur
ke Sumber Mani cukup jauh. Kami harus naik turun trek untuk mencapai ke sumber
air tersebut. Di tengah jalan, kami bertemu dengan mbak Rini yang seperti induk
kehilangan anaknya (pribahasa sebenarnya anak kehilangan induknya, tapi karena
subjeknya mbak Rini jadi sebaliknya..:p). Rupanya mbak Rini tidak bisa
menemukan tenda kami meski sudah keliling Kalimati. Ckckck,,,kasihan ya.
Padahal masih muda lho,:p
Rombongan terakhir tiba
diiringi rintik hujan ketika senja sudah hampir habis. Karena satu hal dan hal
lain, kami tidak bisa menyatukan rombongan besar ini dalam satu areal. Alhasil,
kami pun terbagi menjadi 2 rombongan yang saling berjauhan. Saat malam tiba,
saya dan 2 kawan dari Semarang mendapat tugas untuk kembali ke Sumbermani
mengambil air. Di tengah malam yang dingin itulah kami bertiga harus mengangkut
air ber liter-liter melewati jalur Sumbermani yang tak menyenangkan.
Kalimati
– Mahameru (Menuju Puncak)
Dengan perbedaan waktu
kedatangan ke Kalimati, waktu summit attack pun menjadi berbeda pula. Tim
pertama termasuk saya memutuskan untuk berangkat lebih awal sekitar pukul
22.00. Sementara tim ke-2 memutuskan untuk berangkat sekitar pukul 00.00.
Meski baru tidur pukul
21.00 akibat menjalankan tugas sebagai tim pengangkut air, saya harus tetap
bangun pukul 22.00. Rasa kantuk dan lelah menjadi godaan summit attack kami.
Malam itu, ditengah gulita malam dan angin yang berputar kami saling menguatkan
melawan tantangan apapun. Saat seperti ini seharusnya kami tidur di rumah kami
yang hangat sambil menonton tv. Ah,,,mendaki gunung memang tak pernah mudah.
Tim pertama yang
berjumlah 16 orang bergerak di bawah komando bang Bintang. Karena kami orang
Indonesia, maka perjalanan baru benar-benar di mulai sekitar pukul 23.00. Dalam
rombongan termasuk 3 orang kaum hawa perkasa yang terus berjuang melangkahkan
kaki. Sampai di Arcopodo perjalanan masih lancar jaya. Kami termasuk tim-tim
awal yang bergerak ke puncak malam itu.
Tantangan awal dimulai
ketika kami memasuki trek berpasir. Beberapa in memoriam menghadang kami dan
mengingatkan betapa gunung ini akan menguji siapa saja yang berani
mengunjunginya. Dari beberapa kali pendakian, baru kali ini saya merasakan
ancaman yang begitu kuat dari alam sekitar. Hal inilah yang semakin memacu saya
untuk meningkatkan fisik mental dan keahlian dalam pendakian.
Untung saja malam itu
Tuhan memberikan cuaca terbaiknya. Bintang gemintang seolah berlomba pamer di
langit. Bintang itu begitu dekat, seakan kita bisa memetik dan menjadikannya
oleh-oleh untuk orang terkasih. Dengan cuaca yang bersahabat,, bukan berarti
angin bersahabat pula. Sejak tadi udara terasa bergerak kencang mengelilingi
kami. Saya tidak tahu berapa celcius suhu saat itu. Yang jelas,,saya merasa
seperti sedang berjalan dalam kulkas. Brrr,,brrr.
Jika sejak awal
pendakian saya selalu menjadi tim depan, kali ini saya memilih menjadi sweaper
menemani Naufal, seorang kawan dari Semarang yang salah kostum dengan
mengenakan sepatu converse. Licin sudah pasti, tapi semangatnya itulah yang
paling mengkhawatirkan. Memakai sepatu gunung saja susahnya minta ampun,
apalagi sepatu Converse model begini.
Alhasil, sisa perjalanan
saya habiskan untuk menemaninya. Entah beberapa kali kami harus tergelincir di
medan pasirnya. Mahameru memang bukan gunung sembarangan. Butuh fisik, mental
dan persiapan yang mumpuni untuk merengkuh puncaknya.
Malam semakin larut.
Waktu terasa berjalan begitu cepat, tapi tidak dengan langkah kami. Berjalan di
atas pasir dengan kemiringan ekstrim dimalam hari, dingin pula membuat kami
sering beristirahat. Di bawah sama ratusan pendaki terlihat tetap semangat
mengayunkan langkah. Mahameru malam itu memang begitu ramai. Atriannya bahkan
mengalahi antrian BLT di kampung-kampung. Kerlap-kerlip ratusan senter
menyuguhkan sensasi tersendiri.
Saat mentari
menampakkan batang hidungnya, kami masih saja berkutat dengan sulitnya trek
pasir dan kerikil. Panorama yang gelap perlahan berganti dengan sinar terang
sang surya. Ah,,,indah sekali. Saat itulah saya harus mengambil keputusan
sulit.
Puncak Mahameru memang
memiliki keunikan tersendiri. Di puncak ini, gas beracun dari kawah Jongring
Saloka akan bertiup ke arah puncak jika hari sudah mulai siang. Tak heran, jika
batas akhir menetap di puncak sekitar pukul 09.00-10.00. Lewat dari jam itu,
gas beracun akan mengancam siapa saja yang masih di puncak.
Dengan kondisi seperti
itu, saya agak bimbang untuk terus menemani Naufal. Jika terus begini bisa
dipastikan saya akan terlambat dan tidak akan mencapai puncak. Akhirnya dengan
berat hati saya harus meninggalkannya yang memang sejak awal sudah kehabisan
semangat.
Tanpa beban saya pun
terus memaksa tubuh ini terus berjalan. Dengan tenaga tersisa, saya dan
beberapa kawan saling bahu membahu menuju puncak. Akhirnya tepat pukul 07.30
WIB Mahameru pun memilih kami untuk bisa menginjak puncaknya.
Rasa senang, bahagia,
haru dan bangga menjadi satu di atas sana. Titik tertinggi di tanah Jawa telah
kami capai. Ia mengajarkan kami betapa semangat dan kebersamaan akan
mengalahkan apapun. Doa dan keyakinan kami telah membuahkan hasil. Di puncak
ini, kita semua adalah saudara kawan.
Perjalanan turun dari
puncak terasa lebih menyenangkan. Meski beberapa anggota tim tidak bisa
mencapai puncak, kebersamaan tetap menjadi oleh-oleh paling di nanti. Apalah
artinya sebuah puncak jika dibandingkan dengan persahabatan yang kekal abadi?
Hari itu juga kami
memutuskan untuk turun. Kami tiba kembali di Ranu Kumbolo sekitar pukul 20.00.
Setelah makan malam seadanya, tim memutuskan untuk terus berjalan dengan target
menuju Ranu Pani. Dalam perjalanan turun inilah saya merasa begitu lelah. Rasa
kantuk menyerang sepanjang perjalanan. Setiap beristirahat, kami menyempatkan
untuk tidur. Alhasil sekitar pukul 02.00 kami baru sampai di Ranu Pani.
Paginya setelah tim
lengkap, kami pun segera meluncur ke Tumpang. Kami pulang membawa sejuta
kenangan. Mahameru telah menjadi kawan, guru serta panutan untuk menjalani sisa
hidup ini. Entahlah,,jika di akhirat nanti ada puncak gunung sedahsyat ini,
mungkin saya akan membentuk tim untuk kembali mendakinya. Bravo pendakian
Indonesia.