Kamis, 19 Maret 2009

Catatan Akhir Pekan: Rumah Dunia



Apakah kalian tahu jiwa sang pengelana?
Mengejar bayangannya hingga ke tempat tanpa nama
Menari di antara kegelisahan di jalan tak berujung


Aku tak tahu apakah ini pantas disebut sebagai sebuah kegilaan. Itu kalian sendiri yang menilai. Bagiku ini hanyalah obsesi kecil dari jiwaku yang gelisah dan selalu haus akan sesuatu yang baru. Ide itu telahir begitu saja. Tak tahu kapan ia muncul di otakku. Yang jelas aku hanya ingin pergi ke Rumah Dunia di Serang dengan bersepeda. Awalnya banyak yang tidak percaya dengan rencanaku ini. Namun aku tetap konsisten dengan apa yang kuinginkan. Sebab itulah eksistensi bung.

Hari itu Sabtu 14 Maret 2009 aku mengayuh sepeda butut milik seorang temanku dengan semangat membara. Dari rumahku di daerah Ciledug aku menembus belantara kota Tangerang sejak pukul 06.00 pagi. Selain menghindari terik matahari yang membakar aku juga ingin menikmati denyut kotaku bersama golongan manusia lainnya. Pedagang, orang kantoran, sopir angkutan dan tentu saja “pekerja sosial’ di perempatan.
Sampai Kb. Nanas, perjalananku masih aman dan nyaman. Rasa optimis pun masih menguasai jiwaku. Maklum baru kukayuh sepedaku sekitar setengah jam.

Sampai di Jatake, semangatku mulai merosot. Penyebabnya adalah aku hampir saja disenggol truk senewen yang sopirnya seperti sudah menahan buang air sehari semalam dan ingin segera mencari toilet. Kuhela nafas dengan begitu berat. Kejadian seperti ini kuyakin bakal terjadi lagi nanti. Mengingat sepanjang Jl. Raya Serang yang akan kulalui banyak sopir-sopir truk dan bus yang merasa dirinya sebagai Michel Schumacher saja. Debu dan sopir-sopir sialan itu hampir mengubur semangat petualanganku.

Di Sebuah pom bensin di Cikupa, aku benar-benar hampir putus asa. Sudah hampir dua jam bersepeda tapi bahkan belum sampai setengah perjalanan. Ingin rasanya aku mengurungkan niatku ini. Namun, tiba-tiba bayangan wajahnya berkelebat begitu saja. Gadisku. Ia memang menjadi motivatorku. Mengingat wajah teduhnya hatiku kembali bergelora. Semangat yang berserakan itu kembali kupunguti dan kurangkai menjadi tekad membaja. Aku sudah memulainya, maka pantang bagiku untuk mengakhirinya dengan tidak terhormat. Itulah jiwa lelaki.

Setelah itu aku memang seperti diatas angin. Entah mengapa aku merasa setiap orang tersenyum dan memberi semangat padaku. Jika kalian mau tahu, itulah kekuatan cinta, kawan. Setiap ada turunan yang membuat sepedaku melaju dengan sendirinya, kulepas topiku agar angin membelai rambutku dan dengan pede-nya kuteriakan kata sayang dan cinta untuknya. Ah...norak sekali. Tapi begitulah, baru teringat wajahnya saja aku sudah berani berteriak melawan bisingnya kendaraan apalagi jika bertemu dengannya?

Di Balaraja aku kembali beristirahat. Sejauh ini perjalananku lancar-lancar saja. Semakin dekat, bisikku dalam hati. Akhirnya tepat pukul 11 siang aku berhasil mendarat di bumi Daar El- Qolam. Ah...betapa rindunya aku dengan almamaterku ini. Wajahnya memang sudah banyak berubah, namun ruhnya tetap kurasakan seperti dulu. Begitu religius ketika waktu sholat dan sangat duniawi selepas itu. Kalian tentu paham maksudku.

Keesokan harinya aku segera bergegas. Waktu semalam bagiku rasanya sudah cukup untuk melepas rinduku pada pondok ini. Jam 6 pagi aku mulai bergerak ke barat. Ke kota Serang tepatnya. Dalam perjalanan ke-2 ini lagi-lagi musuhku adalah truk-truk dan bus-bus besar. Sebagai pengguna sepeda tentu saja aku sadar diri dengan mengambil jalan sepinggir mungkin. Namun truk-truk brengsek itu masih saja mengklaksonku tanpa perasaan. Ah...begitu sensitifnya mereka dengan sepeda.

Tak terasa akhirnya aku tiba di Pasar Ciruas. Dengan sigap kuparkir sepedaku dengan sedikit pesan kepada seorang penjual mie ayam. “Nitip bentar ya, mas!” Tujuanku memang ingin mencari sebuah toko emas di pasar itu. Bukan untuk membeli perhiasan untuk si dia tentu saja, tetapi aku ingin bertemu dengan Ferdi. Salah seorang kawanku yang kudengar bekerja di salah satu toko emas di pasar ini.

Tanpa kesulitan aku berhasil menemuinya. Dari raut wajahnya aku tahu kalau ia agak kaget juga. Apalagi melihat wajahku yang kotor dan tampak kelelahan “Makin jelek aja lo!” ujarnya. Sekitar setengah jam aku bernostalgia dengannya. Ketika mengambil sepedaku kembali, penjual mie ayam itu menyindirku sambil tertawa. “Katanya bentar doang!” Dan aku hanya tersenyum.

Perjalanan selanjutnya begitu menyenangkan. Dengan bertanya sana-sini, akhirnya sekarang aku telah berdiri di gerbang Rumah Dunia. Inilah ujung pengembaraanku minggu ini. Tinggal berpikir bagaimana kembali ke rumah saja. Di depan gerbangnya yang seperti gapura dan terlihat sederhana, aku justru termenung. Bertemu dengan sesuatu yang sudah bertahun-tahun kita inginkan rasanya aneh sekali. Hampir 10 menit aku terdiam dan tak berani melangkah masuk.

Sampai akhirnya ada seorang relawan setempat yang mempersilahkanku masuk. Melewati gapura aku terus menerus memasang senyum semanis mungkin walau kenyataannya mungkin tak telihat menyenangkan. Para relawan itu langsung menyambutku. Bertanya ini itu dan sedikit tak percaya dengan cerita perjalananku. Setelah memperhatikan kondisi tubuhku yang serba berantakan barulah mereka percaya.

Relawan Rumah Dunia sebenarnya ada banyak sekali. Namun hanya tujuh orang yang kesehariannya selalu berada di RD dan sebagian besar dari mereka masih SMA. RD adalah bentuk bakti Gola Gong dan Tias Tatanka kepada masyarakat. Konsepnya sederhana saja. RD tak jauh beda dengan sanggar kebudayaan. Di dalamnya ada pangung dan perpustakaan. Yang membedakannya, RD tidak memungut biaya apapun pada setiap acaranya. Mulai dari pementasan teater, musikalisasi puisi, kelas menulis ataupun acara lainnya.

Relawannya yang ramah membuatku cepat akrab dengan mereka. Apalagi ketika sore harinya ada kelas menulis yang dibimbing langsung oleh mas Gong. Asal tahu saja, Gola Gong adalah guruku secara tidak langsung yang telah mengajariku lewat karya-karyanya. Maka bertemu dengannya secara langsung adalah pengalaman yang sangat kunantikan sejak dulu.

Setelah mendapat izin menginap dari relawan RD, aku diajak keliling kota Serang malam harinya oleh Rozi, salah satu relawan RD. Alun-alun Serang malam hari tak jauh beda dengan kota-kota lain yang pernah kukunjungi. Ramai dan remang-remang. Kami hanya menyantap Rabeg (makanan khas Serang) malam itu di kawasan Royal.

Esoknya, lagi-lagi aku memulai perjalanan pukul 6 pagi. Hanya Oki saja relawan RD yang sudah bangun di pagi itu. Dengan sangat terpaksa aku meninggalkan RD dan kawan-kawan baruku tanpa pamit. Ah.. biarlah lain kali aku memang berjanji untuk kembali ke sini dengan si dia.

Wajah Serang Timur pagi hari tak ubahnya seperti kota lain. Truk dan bus sudah berkeliaran menguasai jalanan. Di depan SMA 1 Ciruas aku berhenti. Kudengar seorang kawanku yang bernama Halili tak jauh rumahnya dari sekolah ini. Selain ingin sekedar say hello, jujur saja aku ingin numpang makan. Tak sulit ternyata mencari rumahnya. Dan ketika melihat seorang pemuda yang dibanjiri keringat di atas sadel sepeda di depan rumahnya, ia tampak kaget. Tamu macam apa yang bertandang sepagi ini dengan naik sepeda? Begitu pasti pikirnya.

Tak lama setelah numpang sarapan, aku bergegas melanjutkan perjalanan ke timur. Di daerah Kragilan, sebuah truk kontainer menyentuhku dengan lembut. Sepedaku oleng dan tepat menuju ke arah selokan. Untung saja sepersekian detik sebelumnya aku berhasil melompat dari sepedaku. Maka hanya sepedaku lah yang menabrak sebuah pohon tak bersalah. Tentu saja aku mengumpat truk sialan itu dengan sedikit emosi. Tapi sepertinya truk itu bahkan tidak melihat seorangpun yang naik sepeda di depannya tadi. Kurang ajar betul.!

Tiga setengah jam sudah aku bersepeda. Kutuntun sepedaku di jalanan perumahan Tigaraksa yang gersang dan berbatu. Tak sanggup lagi aku mengayuhnya. Ini bukan masalah semangat kawan, ini murni masalah tenaga. Ya...tenagaku rasanya sudah sangat terkuras. Maka disinilah aku sekarang, memutuskan untuk naik kereta dari stasiun Tigaraksa sampai Serpong. Setelah menimbang-nimbang, rasanya aku bisa mati lemas jika kupaksakan mengayuh sepeda menyusuri Jl. Raya Serang yang panas dan dipenuhi truk-truk gila itu selama 7 jam. Jika naik kereta setidaknya aku hanya perlu bersepeda 4 jam setengah+ 1 jam naik kereta.

Itulah sepenggal perubahan kecilku minggu ini kawan. Mencari hal-hal baru demi memuaskan dahagaku akan petulangan. Dari ekspedisiku itulah aku banyak belajar tentang kehidupan. Membuka wawasanku bahwa ternyata di daerah Cisoka masih dengan mudah kita temukan sapi, kerbau ataupun kambing yang berkeliaran bebas di sawah, kebun ataupun halaman rumah. Bahkan terkadang kendaraan harus mengalah untuk memberikan kesempatan pada sekelompok kambing egois yang ingin menyeberang. Sungguh aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa masih ada daerah Tangerang yang seperti itu.
Maka inilah laboratorium kehidupan itu. Mendengarkan sepenggal kisah menarik dari seorang gadis cilik yang sudah naik turun kereta sejak usia belia demi mengumpulkan rupiah dari nasi bungkus yang dijualnya. Ah...lagi lagi aku hanya mampu tersenyum pahit.

Thanks to mojang Bandung yang selalu setia mendukung semua rencana gilaku. Jangan bosen2 nemenin bocah badung ini ya.