Sumber: www.teropongbisnis.com |
SBY yang kini didampingi oleh Boediono telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari sebagian rakyat Indonesia untuk memimpin bangsa 5 tahun kedepan. Artinya SBY akan menikmati 10 tahun dari masa hidupnya untuk bercokol di istana sebagai pemimpin bangsa.
Selama masa kampanye yang mendebarkan kemarin, ketiga capres dan cawapres saling mencitrakan dirinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Mega-Pabowo dengan ekonomi kerakyatannya. JK-Wiranto dengan kemandirian ekonomi dan SBY-Boediono yang awalnya disebut-sebut sebagai neoliberalis ikut-ikutan latah mengaku akan mengutamakan kepentingan rakyat dengan slogan ekonomi jalan tengah.
Kini yang patut di soroti tentu saja kubu SBY-Boediono yang tak lama lagi akan dilantik menjagi presiden Indonesia ke-7. Pada masa kampanye SBY-Boediono mengikrarkan 15 janji politik jika ia terpilih sebagai presiden. Janji-janji tersebut mencakup isu-isu strategis seperti ekonomi, lingkungan, infrastuktur, pertahanan, korupsi, Hak Asasi Manusia dan otonomi daerah yang jika di sarikan akan mengarah pada dua kata: kesejahteraan rakyat.
Maka mulai dari sekarang SBY-Boediono harus segera memutar otak untuk memikirkan langkah-langkah demi terwujudnya janji-janji politiknya yang sudah terlanjur diikrarkan.
Sebagai langkah awal, ada baiknya SBY-Boediono menengok ke belakang untuk mengevaluasi apa yang sudah dilakukannya 5 tahun yang lalu semasa SBY masih berpasangan dengan Jusuf Kalla.
Di bidang ekonomi, sebuah data dari Koalisi Anti Utang (KAU) membeberkan pada tahun 2004 utang Indonesia mencapai Rp 1275 triliun. Sedangkan pada tahun ini utang luar negri Indonesia sudah mencapai Rp 1704 triliun. Artinya selama menjabat sebagai presiden masa bakti 2004-2009 SBY telah berhasil meningkatkan utang pemerintah rata-rata 97 triliun per tahun. Sebuah prestasi yang tidak pantas dibanggakan tentu saja.
Sayangnya, beberapa waktu lalu menteri keuangan kita menjustifikasi kewajaran berhutang negri ini. Sri Mulyani menyatakan bahwa bertambahnya utang Indonesia bukanlah bencana karena rasio utang luar negri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menurun.
Hal ini tentu saja menjadi dilema. Sebab penambahan utang berarti penambahan beban rakyat Indonesia . Kini setiap jiwa penduduk Indonesia harus terbebani secara paksa sebanyak Rp 7 juta/ kepala. Selain itu, APBN Indonesia pun akan tersedot oleh pembayaran utang tiap tahunnya yang sangat besar.
Menurut kajian dari Komite Penghapusan Utang Negara Selatan (Committee for Abolition Third World Debt) utang jangka panjang pemerintah Indonesia mencapai 67 Milyar USD (2007). Jumlah ini menjadikan Indonesia termasuk penghutang terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Masalah utang ini menjadi penting sebab, selain bunga utang yang sangat besar sehingga menyedot dana APBN dalam jumlah besar pula, utang akan membuat Indonesia kehilangan kewibawaanya. Sebagai Negara kreditur Indonesia akan mudah di dikte oleh lembaga-lembaga pemberi utang untuk menjalankan agenda neoliberal. Privatisasi, deregulasi dan liberalisasi.
Oleh karena itu tak heran jika satu persatu muncul Undang-Undang neoliberal di berbagai sektor. UU Migas No. 22/2001, UU Ketenagalistrikan No. 20/2002, UU Sumber Daya Air No. 7/2004 hingga UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU tersebut membuktikan bahwa Indonesia sudah seperti kerbau yang di cuk Indonesia akibat jeratan utang oleh agen-agen neoliberal untuk memuluskan agendanya.
Pertanyaanya kemudian adalah, bagian mana dari utang yang tidak dipahami sebagai bencana oleh pemerintah jika Undang-Undang saja sudah di intervensi demikian hebatnya?..
Di pandang dari logika manapun, mekanisme pemberian utang selalu tidak pernah murni “membantu”. Apalagi jika utang itu di berikan oleh lembaga-lembaga kapitalis seperti IMF, ADB, World Bank dan lain-lain yang jelas-jela mempunyai kepentingan di Indonesia. Selalu ada syarat-syarat tertentu yang sangat memberatkan bagi si penghutang. Dalam hal ini syarat-syarat yang disodorkan kepada pemerintah bersifat memaksa dan mencederai hak-hak rakyat yang sudah di jamin konstitusi.
Oleh karena itu, jika SBY-Boediono memang benar-benar ingin mensejahterakan rakyat Indonesia , pemerintah harus mau mengambil sikap tegas terhadap masalah utang ini. Sebab pada dasarnya tidak ada kesejahteraan rakyat tanpa penyetopan utang luar negri.