Sabtu, 08 Agustus 2009

Kesejahteraan Rakyat dan Utang Luar Negri

Sumber: www.teropongbisnis.com


SBY yang kini didampingi oleh Boediono telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari sebagian rakyat Indonesia untuk memimpin bangsa 5 tahun kedepan. Artinya SBY akan menikmati 10 tahun dari masa hidupnya untuk bercokol di istana sebagai pemimpin bangsa.

Selama masa kampanye yang mendebarkan kemarin, ketiga capres dan cawapres saling mencitrakan dirinya sebagai pembela kepentingan rakyat. Mega-Pabowo dengan ekonomi kerakyatannya. JK-Wiranto dengan kemandirian ekonomi dan SBY-Boediono yang awalnya disebut-sebut sebagai neoliberalis ikut-ikutan latah mengaku akan mengutamakan kepentingan rakyat dengan slogan ekonomi jalan tengah.

Kini yang patut di soroti tentu saja kubu SBY-Boediono yang tak lama lagi akan dilantik menjagi presiden Indonesia ke-7. Pada masa kampanye SBY-Boediono mengikrarkan 15 janji politik jika ia terpilih sebagai presiden. Janji-janji tersebut mencakup isu-isu strategis seperti ekonomi, lingkungan, infrastuktur, pertahanan, korupsi, Hak Asasi Manusia dan otonomi daerah yang jika di sarikan akan mengarah pada dua kata: kesejahteraan rakyat.

Maka mulai dari sekarang SBY-Boediono harus segera memutar otak untuk memikirkan langkah-langkah demi terwujudnya janji-janji politiknya yang sudah terlanjur diikrarkan.

Sebagai langkah awal, ada baiknya SBY-Boediono menengok ke belakang untuk mengevaluasi apa yang sudah dilakukannya 5 tahun yang lalu semasa SBY masih berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Di bidang ekonomi, sebuah data dari Koalisi Anti Utang (KAU) membeberkan pada tahun 2004 utang Indonesia mencapai Rp 1275 triliun. Sedangkan pada tahun ini utang luar negri Indonesia sudah mencapai Rp 1704 triliun. Artinya selama menjabat sebagai presiden masa bakti 2004-2009 SBY telah berhasil meningkatkan utang pemerintah rata-rata 97 triliun per tahun. Sebuah prestasi yang tidak pantas dibanggakan tentu saja.

Sayangnya, beberapa waktu lalu menteri keuangan kita menjustifikasi kewajaran berhutang negri ini. Sri Mulyani menyatakan bahwa bertambahnya utang Indonesia bukanlah bencana karena rasio utang luar negri Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) semakin menurun.

Hal ini tentu saja menjadi dilema. Sebab penambahan utang berarti penambahan beban rakyat Indonesia . Kini setiap jiwa penduduk Indonesia harus terbebani secara paksa sebanyak Rp 7 juta/ kepala. Selain itu, APBN Indonesia pun akan tersedot oleh pembayaran utang tiap tahunnya yang sangat besar.

Menurut kajian dari Komite Penghapusan Utang Negara Selatan (Committee for Abolition Third World Debt) utang jangka panjang pemerintah Indonesia mencapai 67 Milyar USD (2007). Jumlah ini menjadikan Indonesia termasuk penghutang terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Masalah utang ini menjadi penting sebab, selain bunga utang yang sangat besar sehingga menyedot dana APBN dalam jumlah besar pula, utang akan membuat Indonesia kehilangan kewibawaanya. Sebagai Negara kreditur Indonesia akan mudah di dikte oleh lembaga-lembaga pemberi utang untuk menjalankan agenda neoliberal. Privatisasi, deregulasi dan liberalisasi.

Oleh karena itu tak heran jika satu persatu muncul Undang-Undang neoliberal di berbagai sektor. UU Migas No. 22/2001, UU Ketenagalistrikan No. 20/2002, UU Sumber Daya Air No. 7/2004 hingga UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). UU tersebut membuktikan bahwa Indonesia sudah seperti kerbau yang di cuk Indonesia akibat jeratan utang oleh agen-agen neoliberal untuk memuluskan agendanya.

Pertanyaanya kemudian adalah, bagian mana dari utang yang tidak dipahami sebagai bencana oleh pemerintah jika Undang-Undang saja sudah di intervensi demikian hebatnya?..

Di pandang dari logika manapun, mekanisme pemberian utang selalu tidak pernah murni “membantu”. Apalagi jika utang itu di berikan oleh lembaga-lembaga kapitalis seperti IMF, ADB, World Bank dan lain-lain yang jelas-jela mempunyai kepentingan di Indonesia. Selalu ada syarat-syarat tertentu yang sangat memberatkan bagi si penghutang. Dalam hal ini syarat-syarat yang disodorkan kepada pemerintah bersifat memaksa dan mencederai hak-hak rakyat yang sudah di jamin konstitusi.

Oleh karena itu, jika SBY-Boediono memang benar-benar ingin mensejahterakan rakyat Indonesia , pemerintah harus mau mengambil sikap tegas terhadap masalah utang ini. Sebab pada dasarnya tidak ada kesejahteraan rakyat tanpa penyetopan utang luar negri.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Menggalang Barisan Oposisi

Pemilu sudah berakhir. Meskipun berbagai pihak menuntut pengulangan pemilu, sudah hamper pasti kubu SBY-Boediono lah yang akan memegang tampuk kepemimpinan bangsa. Dengan mengantongi 60 % suara menurut LSI kemungkinan besar pemilu 2009 ini akan diadakan satu putaran.

Akan tetapi selama KPU belum mengeluarkan pengumuman resminya, semua pihak harus tetap bersabar. Profesionalitas harus dijunjung tinggi untuk menunjukkan etika politik bangsa yang baik.

Dalam catur perpolitikan sebuah negara demokratis seperti Indonesia ini, barisan kabinet yang akan disusun nantinya haruslah mencerminkan pluralitas bangsa. Sebagai eksekutif yang membawahi jutaan rakyat Indonesia kabinet yang dikepalai oleh presiden terpilih harus terbebas dari nepotisme.

Artinya, presiden terpilih harus mengesampingkan ego pribadi untuk menaikkan pamor keluarga maupun sahabat dekatnya. Apalagi jika ternyata masih ada orang lain yang lebih berkompeten dalam bidangnya.

Hal ini menjadi penting untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukanlah perusahaan pribadi sang presiden. Logika dasarnya adalah presiden bukan pemegang tampuk kekuasaan. Presiden hanyalah pengabdi rakyat Indonesia . Sebab rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada sang presiden terpilih.

Selain itu, negara demokratis yang baik harus tetap diisi oleh barisan oposisi. Barisan oposisi menjadi penting sebagai penyeimbang kebijakan-kebijakan pemerintah. Bisa dikatakan oposisi juga berperan pengontrol dan pemerhati segala perilaku pemerintahan beserta kabinetnya.

Di Indonesia ini peluang untuk menggalang barisan oposisi sangatlah besar. Persaingan politik terjadi amat tajam dalam Pemilu 2009. Mulai dari jargon politik hingga idiologi partai. Demokrat dan koalisinya sebagai kandidat terkuat pemenang pemilu 2009 sudah pasti akan menempatkan kader-kadernya di kabinet.

Barisan oposisi bisa diisi kelompok nasionalis dan islam yang kurang mendapat tempat di pemilu kali ini. Barisan oposisi seperi kelompok islam dan nasionalis tentu saja akan mengkritisi barisan koalisi. Proses ini akan menjadikan bangsa Indonesia semakin belajar berdomokrasi secara berkesinambungan.
Jika kita melihat hasil perolehan suara pasangan SBY-Boediono yang tinggi serta dukungan besar di parlemen dari koalisi partai pendukung dengan total kursi di parlemen sekitar 314 kursi. Partai-partai lain sangat berpeluang menjadi barisan oposisi.

Baik Golkar (Golongan Karya), PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) maupun Hanura (Hati Nurani Rakyat) bisa membuat koalisi demi terwujudnya barisan oposisi. Dengan demikian fungsi chek and balance akan berjalan dengan baik.

Jika kekuatan koalasi partai pendukung pemerintahan di legislatif terlalu kuat, proses demokrasi di Indonesia akan berjalan timpang. Oposisi bisa memberikan keseimbangan yang baik.

Akan tetapi perlu di perhatikan pula, oposisi ini bukan berarti hendak menggerogoti kewibawaan pemerintah. Pemerintahpun harus bersaing secara sehat dengan barisan oposisi ini.

Insiden politik di berbagai Negara yang terjadi di berbagai belahan dunia antara pemerintah dan oposisi tidak boleh terjadi. Oposisi yang terlalu menyimpang akan menimbulkan benih-benih separatisme. Sedangkan jika pemerintah sendiri terlalu menekan oposisi, pemerintah akan lebih terlihat seperti pemerintahan otoriter dan dictator.

Oleh karena itu sebagai Negara yang menjadikan demokrasi sebagai azas politiknya Indonesia harus bias menyeimbangkan susunan cabinet dan oposisi di tengah kemajemukan rakyat.