Sabtu, 02 Januari 2010

Keputusan Gegabah FTA Asean-Cina

Sumber: www.cerasis.com


BERAWAL dari konsensus Washington, neoliberalisme mencakup tiga hal yang menjadi senjata utama kaum neoliberalis yaitu liberalisasi,deregulasi, dan privatisasi. Liberalisasi perdagangan berarti meniadakan segala hambatan dan proteksi yang dilakukan sebuah negara terhadap barang-barang yang masuk ke wilayahnya.

Bagi negara-negara maju, ini tentu sebuah keuntungan besar sebab barang-barang dari negara maju yang menyerbu masuk ke negara berkembang jelas lebih berkualitas dan akan menguasai pasar setempat. Ditambah lagi dengan iklan-iklan yang menggiurkan, kini barang-barang dari negara maju menjelma menjadi barang yang diburu meskipun tidak terlalu diperlukan konsumen. Lantas apa dampak dari liberalisasi ini bagi negara berkembang? Dalam kasus Indonesia,liberalisasi berarti Indonesia mengekspor bahanbahan mentah dengan murah ke negara maju untuk kemudian dijadikan barang jadi dan diimpor lagi ke Indonesia dengan harga selangit.

Hal inilah yang membuat negara maju berambisi mengeksploitasi Indonesia untuk diambil sumber barang mentahnya sekaligus dijadikan pangsa pasar yang menggiurkan bagi negara maju. Negara maju bahkan hanya memoles sedikit barang mentah dari Indonesia. Akibatnya, industri manufaktur dalam negeri kocar-kacir. Belum lagi perilaku konsumerisme yang turut melanda masyarakat. Jika Indonesia terus mau didikte untuk meliberalisasi berbagai sektor industrinya, Indonesia akan kebanjiran produk luar negeri yang akhirnya akan membuat industri dalam negeri gulung tikar. Jika sudah begitu, angka pengangguran akan meningkat.

Peningkatan angka pengangguran tentu saja akan mendongkrak angka kemiskinan pula. Sayangnya, saat ini pemerintah malah meneken perjanjian FTA ASEAN-China per 1 Januari 2010.Hal itu berarti terhitung 1 Januari 2010 produk-produk China akan menyerbu pasar dalam negeri. Ketika industri dalam negeri baru mulai berbenah setelah diterjang krisis global, mereka juga diharuskan untuk bertarung melawan gempuran produk dari China. Kekhawatiran seperti inilah yang membuat pelaku ekonomi dari berbagai sektor industri dalam negeri menolak FTA ASEAN-China. Sementara itu, China menyetujui FTA ini.

China sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi paling konsisten di dunia hingga angka 10 % per tahun tentu saja mempunyai kapasitas produksi yang besar.Barang-barang hasil produksi inilah yang akan mendapatkan pasarnya jika Indonesia menyetujui FTA ASEAN-China. Data perdagangan dengan China menyebutkan,Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan nonmigas USD1,3 miliar pada 2007 dan menjadi USD9,2 miliar pada 2008. Sedangkan pada kurun waktu Januari–Oktober 2009 saja,defisit sudah mencapai USD3,9 miliar.

Hal ini karena impor dari China sudah mencapai angka 17,2 % dari total impor nonmigas. Sedangkan China hanya menyerap 8,7% dari keseluruhan ekspor Indonesia. Dari data ini, pemerintah seharusnya tidak gegabah menyetujui FTA ASEAN-China.Kredibilitas Indonesia memang akan turun di mata dunia, namun menyelamatkan industri dalam negeri yang sama artinya dengan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan tentu saja jauh lebih penting.

Dengan menyepakati FTA ASEAN-China sama saja menggali kuburan sendiri bagi Indonesia sekaligus menjawab perdebatan masa kampanye dulu tentang haluan apakah yang dianut? Ekonomi kerakyatan atau neoliberalisme.(*)


Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputarr Indonesia edisi Sabtu, 2 Januari 2010