|
Sumber: www.sinarharapan.co |
Krisis beras. Itulah topik hangat yang sedang diperbincangkan media, selain hiruk pikuk dunia perpolitikan dalam negri. Beberapa media massa nasional sangat mengkhawatirkan kondisi penanganan pangan dalam negri yang bisa dibilang tidak terlalu sukses. Sebabnya apalagi kalau bukan rencana pemerintah dalam hal ini Badan Urusan Logistik (BULOG), yang akan mengimpor beras hingga 1,5 juta ton beras, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terbesar kedua pengimpor beras di dunia dan hanya kalah satu peringkat dari Nigeria.
Tentu publik bertanya-tanya. Mengapa Indonesia yang katanya negri agraris itu sampai mengimpor beras dalam jumlah yang besar? Apakah memang produksi dalam negri tidak mencukupi? Dimana peran BULOG? Jika memang benar produksi dalam negri tidak mencukupi apakah jalan satu-satunya adalah impor beras? Mari kita melihat data-data sejenak.
Menurut Angka Ramalan (ARAM) I Badan Pusat Statistik (BPS) 2011, produksi GKG (Gabah Kering Giling) mencapai 60,7 juta ton atau setara dengan 37,8 juta ton beras. Sedangkan angka rata-rata konsumsi nasional adalah 35 juta ton/tahun. Maka sesungguhnya secara logika seharusnya Indonesia mengalami surplus sebesar 2,8 juta ton beras. Lalu dimana letak krisisnya sehingga harus mengimpor beras?
Meski angka tersebut belum menjamin ketersediaan beras selama satu tahun kedepan, namun soal impor beras hanyalah soal manajemen stok. Departemen Pertanian (Deptan) menganggap BULOG gagal melakukan penyerapan karena, BULOG belum maksimal bekerja. Sedangkan BULOG berdalih sulitnya penyerapan tahun ini karena belum naiknya Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Tahun ini. BULOG menargetkan menyerap 3,5 juta ton beras. Namun hingga saat ini baru 146.118 ton beras yang berhasil diserap. Hal ini sebenarnya merupakan akibat dari adanya selisih HPP dengan harga pasar. Berdasarkan Inpres no 7/2009 HPP yang ditetapkan pemerintah untuk gabah kering panen (GKP) Rp2.640/kg, gabah kering giling (GKG) Rp3.300/kg dan beras Rp5.060/kg. Sedangkan harga beras jenis IR III di Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta, saat ini mencapai kisaran RpRp5.700/kg.
Karena perbedaan harga itulah maka petani enggan menjual berasnya ke BULOG dan memilih menjual ke pihak swasta. Maka saat ini, pasar beras dikuasai oleh swasta yang akan berakibat harga beras menjadi fluktuatif terutama saat terjadi kelangkaan stok.
Dualisme Fungsi BULOG
BULOG merupakan aktor utama skema perberasan nasional. BULOG lah yang bertugas menjaga stabilitas harga serta stok beras dalam negri. Karena krusialnya fungsi BULOG, selama puluhan tahun BULOG telah menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berorientasi pada peranan sosial. Namun sejak tahun 2003, fungsi dan kedudukan BULOG berubah ke arah liberalisasi.
Adalah Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 7 Tahun 2003 yang kemudian direvisi menjadi PP RI No. 61 Tahun 2003, yang menjadi landasan hukum berubahnya BULOG menjadi Perusahaan Umum (Perum). Setelah menjadi Perum, BULOG mempunyai tugas ganda; tugas publik serta tugas komersial.
Oleh karena itu, orientasi BULOG dalam menangani perberasan nasional menjadi berubah. Jika dulu BULOG dianggap sukses jika mampu menstabilkan harga beras, kini kesuksesan BULOG dilihat dari jumlah laba yang diperoleh.
Dengan dualisme fungsi tersebut, BULOG seringkali kesulitan bergerak karena selalu terbentur antara kepentingan publik dan kepentingan komersil. Penyerahan harga beras kepada mekanisme pasar seringkali menjadi bumerang karena harga beras menjadi tidak stabil. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya Permenkeu 241/2010 tantang pembebasan 57 pos tarif bea masuk terkait pangan, yang mengakibatkan dibanjirinya pasar domestik kita oleh produk dari luar.
Ditengah ancaman krisis pangan internasional akibat perubahan iklim dan bencana yang sering terjadi, tumpuan pangan dalam negri berada ditangan BULOG. BULOG seharusnya bisa mengendalikan secara penuh skema perberasan nasional. Sebab beras merupakan komoditas krusial bagi kelangsungan bangsa ini. Hal ini sesungguhnya sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Impor Beras, Relevankah?
Jika kita mengacu pada data bahwa masih terdapat surplus beras, maka kebijakan impor beras saat ini merupakan kebijakan yang salah kaprah. Sebab, impor beras terutama saat panen raya seperti sekarang ini akan sangat merugikan petani. Harga beras ditingkatan petani menjadi anjlok karena membanjirnya beras impor..
Alasan pemerintah untuk menstabilkan harga dengan mengimpor beras juga sebuah alasan yang jelas mengada-ada. Sebab kenyataannya, setelah impor harga beras tidak juga turun. Fluktuasi harga yang terjadi bisa ditanggulangi jika BULOG memainkan perannya sebagai penjaga stabilitas harga secara baik. Kenyataanya tugas publik BULOG seringkali hanya menjadi sekunder karena kalah oleh tugas komersilnya.
Dalam kondisi surplus seperti ini, pemerintah seharusnya menyerap beras milik petani lokal dengan mengoptimalkan fungsi BULOG. Salah satu caranya dengan menaikkan HPP. Juga dengan memberdayakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan penambahan jumlah lahan pertanian, subsidi pupuk, penyuluhan perubahan iklim hingga penggunaan teknologi ramah lingkungan yang akan menggenjot produksi pertanian petani lokal.