Jumat, 24 April 2009

Negara Tanpa Presiden

Pemilu 2009 ini memang tergolong aneh. Selain banyak kekurangan-kekurangan yang terjadi sehingga banyak yang beranggapan pemilu kali ini sebagai pemilu terburuk yang pernah dilaksanakan, pemilu kali ini juga membuat bangsa ini sekarang seperti negara tanpa presiden.

Statement ini bukan tanpa alasan. Secara formal memang Indonesia masih di kepalai oleh seorang presiden dan wakilnya. Namun lihat saja ternyata presiden wakil presiden Indonesia saat ini sudah turun derajat menjadi “ bakal calon presiden” dan “ bakal calon wakil presiden”.

Sebenarnya kurang tepat juga memakai istilah “ bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden” bagi kepala negara yang saat ini masih secara resmi menjabat. Tapi entahlah, karena hal ini belum pernah terjadi mungkin para ahli politik belum menyepakati satu “istilah” untuk kepala negara yang masih resmi menjabat namun terlalu sibuk untuk mengurusi partainya dan tentu saja pencalonan kembali dirinya 5 tahun kedepan.

Di berbagai media photo-photo presiden dan wakil presiden kita selalu dibubuhi keterangan sebagai pejabat teras partai dan kegiatan partainya. Bukan sebagai presiden ataupun wapres. Artinya kegiatan presiden dan wapres Indonesia saat ini lebih banyak tercurah untuk partai-partai mereka.

Apalagi pada masa kampanye kemarin, presiden dan wakil presiden sibuk “menjual diri” pada masyarakat lewat pidato-pidatonya yang mengatasnamakan partai. Mereka seperti lupa pada 200 juta rakyat Indonesia yang saat ini masih menjadi tanggung jawab mereka. Inilah yang saat ini terjadi pada Indonesia saat ini. Negara tanpa presiden dan wakilnya.

Lalu di tangan siapakah tonggak kepemimpinan Indonesia saat ini dipegang? Tentu kita bertanya-tanya jika pejabat resminya saja saat ini sudah harus “mengabdi” pada partai bukan pada rakyat. Kegiatan presiden dan wakil presiden saat ini hanya berkutat masalah koalisi, rapat partai dan tentu saja strategi pencalonan diri pada pilpres mendatang.

Memang banyak yang menganggap hal ini sah-sah saja. Namun menjadi tidak sah jika harus sampai mengorbankan kepentingan rakyat. Padahal kampanye yang baik adalah kampanye yang selalu memperhatikan rakyat. Jika masih menjabat presiden saja sudah sibuk ingin mencalonkan diri sebagai presiden dengan menjadi “budak” kepentingan partai bagaimana mau dipilih rakyat?

Kamis, 09 April 2009

Catatan Akhir Pekan: Pendakian Ceremai



Kami terlambat satu jam dari yang direncanakan ketika tiba di stasiun Senen. Kereta Matarmaja yang akan membawa kami ke Cirebon sudah berangkat pukul dua tadi. Untung saja masih ada kereta Tegal Arum jurusan Jakarta-Tegal. Akan tetapi si Tegal Arum ini sudah kehabisan tempat duduk. Maka aku memilih menjadi penumpang gelap. Agar tidak terlalu merasa rugi jika harus berdiri 4 jam sampai Cirebon.

Perlahan kereta mulai bergerak ke timur. Lepas dari Jatinegara, langit mulai memuntahkan airnya dengan begitu deras. Aku yang berada tepat di pintu gerbong tak urung terkena cipratan air. Apalagi pintu kereta yang tak layak pakai lagi. Ya sudahlah... Lantai gerbong mulai digenangi air beberapa senti. Jika kalian mau tahu, itulah kereta rakyat. Tapi ketika pak Kondektur memeriksa karcis aku tinggal menyodorkan uang 5000-an. Tongzir, kawanku, memberi uang Rp 10000. Padahal jika lewat jalur resmi kami harus membayar Rp 13000. Sekali lagi itulah kereta rakyat.
Tepat pukul 7, kami mendarat di stasiun Cirebon Prujakan. Ini kedua kalinya aku singgah di kota ini. Namun untuk mencapai alun-alun kota, cukup bingung juga aku. Sebab ketika itu aku turun di stasiun Cirebon kejaksan.

Malam sabtu di Cirebon ternyata cukup ramai. Sepanjang jalan Kartini kaum muda-mudi memenuhi warung-warung lesehan yang banyak tersebar di trotoar. Ketika melewati sebuah alfamart kulihat sekolompok remaja tanggung sedang menggilir bir bintang dengan raut muka setengah teler. Beberapa botol bekas berserakan disekitarnya. Hmmm…cukup bebas juga ternyata Cirebon ini.

Kami sendiri setelah bolak-balik menyusuri jalan Kartini, memesan seporsi nasi bakar isi jamur, tuna dan lalapan. Nikmat sekali. Sayang...untuk orang kelaparan sepertiku ini seporsi rasanya masih sangat kurang.

Ah ya…mungkin kalian bertanya mengapa aku dan Tongzir harus pergi ke Cirebon. Baiklah akan ku beritahu. Kami akan mendaki gunung Ceremai kawan. Hanya berdua?? Ya hanya berdua. Biar lebih romantis. Hehe…

Ketika kami sedang bingung akan tidur dimana malam ini, tiba-tiba seorang remaja menegur kami. Setelah tahu kami hendak mendaki, ia pun mengajak kami singgah di Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) Gunati. Mapalanya Unswagati (Universitas Sunan Gunung Jati).

Kawan-kawan baru Mapala Gunati menyambut kami layaknya tamu. Benar-benar ramah dan menyenangkan. Karena bersikap terbuka, kami jadi cepat akrab. Bahkan ketika tahu kami belum pernah mendaki gunung Ceremai sebelumnya, mereka menawarkan diri untuk jadi pemandu. Ah…sesama pendaki memang saudara.

Akhirnya sore itu pukul 3, aku, Tongzir, Afor, Ringgo, Mj (baca; emji) dan Busik sebagi leader memulai pendakian dari jalur Linggarjati. Namun kami tidak melewati jalur Cibunar sebagai pos resminya. Biasa, nyari gratisan. Kami memilih jalur Linggasana yang dulunya merupakan jalur resmi. Karena jarang dipakai, jalur Linggasana ini benar-benar menantang. Treknya tertutup ilalang sepinggang. Sumber air pun hanya ada di pos pertama saja. Jalur Linggasana ini nantinya berakhir di Condang Amis. Pos ketiga jika lewat jalur resmi Cibunar.

Gunung Ceremai yang merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat ini sebenarnya mempunyai 3 jalur pendakian. Jalur Apuy di Majalengka, Palutungan, dan Linggarjati di Cirebon. Akan tetapi Jalur Linggarjati-lah yang katanya paling menantang. Bahkan untuk ukuran nasional Jalur Ceremai Linggarjati ini termasuk yang paling menguras mental dan tenaga. Tak heran ada istilah, belum naik Ceremai jika belum lewat Linggarjati.

Dan memang itulah yang kutemukan disini. Tak ada perkenalan sama sekali dari awal. Jalurnya mempunyai kemiringan 45-600. Maka kami harus berpegangan akar pepohonan yang menggelantung sepanjang pendakian. Benar-benar menyiksa. Ketika tiba pos 4 yaitu Kuburan Kuda, jam sudah menunjukkan pukul 18.11. Dan uniknya, di Kuburan Kuda ini kami masih sempat mendengar adzan maghrib lho.

Dan inilah trek terparah. Dari Kuburan Kuda sampai Pangalap yang merupakan pos 5. Tanjakannya benar-benar membuat nyali menciut. Untung saja pendakian kami di malam hari. Di Pangalap lagi-lagi kami mendengar adzan isya. Sayang hanya mendengar saja.
Pendakian di malam hari memang mengasyikkan. Selain kita tidak perlu melihat treknya yang dipastikan bisa bikin senewen itu, pemandangan kota Cirebon di malam hari terlihat sangat eksotis. Dari ketinggian Cirebon dan Kuningan nampak seperti miniatur yang dipasangi lampu-lampu. Selain itu, pendakian malam juga lebih mengirit air. Untuk gunung dengan jalur pendakian ekstrim tapi miskin air seperti Ceremai ini, pendakian malam tentu sangat bermanfaat.

Namun, pendakian malam bukan tanpa resiko. Penguasaan medan yang mumpuni menjadi syarat mutlak terutama bagi leader. Udara pun akan menjadi sangat dingin. Maka peralatan-peralatan seperti senter dan jaket tentu sangat krusial.

Apalagi ketika sampai di pos 6 (Tanjakan Binbin) hujan mulai turun. Meskipun hanya gerimis, namun hal itu semakin membuat lambung kami berteriak minta diisi, tubuh kami bergetar kedinginan dan mental kami yang merosot. Maka ketika sampai di pos 7 (Bapa Tere) kami memutuskan untuk membuat mie rebus. Saat sedang asyik memasak, hujan semakin deras. Tadinya kami memutuskan untuk nge-camp disini dulu. Namun akhirnya kami memutuskan untuk menyantap dinner kami diiringi air hujan. Kopi yang tadinya tinggal setengah gelas kini jadi penuh lagi. Hmmm…benar-benar selera petualang!

Di Bapa Tere ini kawan-kawanku mulai mengenakan jaket. Hanya aku dan Ringgo yang masih bertahan dengan style awal kami. Celana pendek dan kaus. Aku bukannya tidak kedinginan, namun aku ingin mengadaptasikan tubuhku dulu. Lagipula jaketku ada di dasar keril. Males ngambilnya.

Sebelum mencapai pos 8 (Batulingga), kami bertemu dangan pendaki lainnya yang sedang nge-camp. Kami mampir sebentar untuk bertukar cerita dan ngopi-ngopi. Begitulah sesama pendaki. Saling toleransi. Setelah Batulingga, kami tiba di pos 9 (Sangga Buana I). Sekali lagi treknya benar-benar menyesakkan. Dari Sangga Buana I ke Sangga Buana II, trek didominasi oleh bebatuan. Tentu saja masih dengan kemiringan yang dahsyat.

Ketika sampai di Sangga Buana II, kami berhasil mendapatkan air. Karena hanya berbentuk cekungan yang airnya bersumber dari rembesan, tak banyak pendaki yang tahu sumber air ini. Lagipula sumber air ini tidak selalu ada.

Setelah itu, trek masih didominasi oleh bebatuan besar dan kerikil. Keseimbangan tubuh benar-benar berperan disini. Karena kalau tidak, salah-salah kita akan terpeleset. Sekitar pukul 3, kami tiba di pos terakhir sebelum puncak. Pengasinan. Disini kami langsung memasak dan mendirikan tenda. Tadinya kami berniat mengambil momen sunrise di puncak. Namun karena kelelahan kami memutuskan menikmati sunrise disini saja.

Ketika yang lain langsung meringkuk di tenda, aku memilih mengeluarkan sleeping bag dan berbaring di luar. Aku ingin menikmati langit, angin tanah dan juga kabut sambil pacaran lewat telepon. Oh ya… di Pos 11 ini memang ada sinyal. Meskipun putus-putus.
Maka ketika pagi datang akulah yang pertama kali melihat keindahan itu. Tepat di hadapanku terhampar panorama Kota Cirebon dan Kuningan yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Semuanya terlihat. Lautnya, pantainya dan bahkan situ patok pun terlihat jelas.

Ketika menengok ke kanan, gunung Slamet menjulang dengan begitu megahnya. Di belakangnya terlihat gunung Sindoro dan gunung Sumbing yang masih dibalut warna oranye. Dan ketika menengok ke kiri, Gunung Palimanan seperti malu-malu bersembunyi di balik kabut.

Akhirnya pukul 7 kami memulai start ke puncak. Sepanjang perjalanan edelweiss banyak mendominasi meskipun belum berbunga. Sejam mendaki akhirnya aku bisa berdiri di titik tertinggi di jawa barat! Kawah Ceremai yang cukup besar terlihat tidak beraktivitas. Inilah klimaks dari perjuanganku.

Di puncak kami makan besar. Sayur, telur, kerupuk, tehu, tempe, ikan asin dan sambel menjadi menu kami pagi itu. Meskipun rasanya aneh karena dimasak asal-asalan, kami benar-benar menikmati. Dahsyat kawan.

Pukul 11 kami turun dari puncak. Kukira akan lebih mudah, ternyata tidak. Hujan deras mengguyur dari Pangalap sampai Condang Amis. Hampir 3 jam kami berjalan ditemani hujan. Entah sudah berapa kali aku terpeleset. Dan sialnya persediaan air kami sudah habis. Aku sendiri sudah benar-benar dehidrasi. Terpaksa aku menjilati setiap dedaunan yang basah oleh air hujan. Untung saja di condang amis aku berhasil meneguk air hujan yang ditampung dengan botol yang kotor sekali. Air hujan rasa tanah, kawan. Kalian berminat??

Ketika turun kami tidak lagi lewat linggasana. Kami memilih lewat jalur resmi agar kami tahu jalur Leuweung Datar dan Cibunar. Namun ketika sampai pos pendaftaran, seorang penjaga menanyakan karcis kami. Dengan terpaksa kami berbohong dengan mengatakan bahwa kami lewat jalur Palutungan dan tidak mendapatkan tiket. Sialnya penjaga itu malah menyuruh kami membayar tiket. Jadilah kami naik gunung seperti naik angkot. Naik dulu baru bayar.

Itulah sepenggal ceritaku minggu ini. Berpetualang bersama kawan-kawan mapala Gunati yang sangat mengerti arti persahabatan. Esoknya kami harus bertolak ke Jakarta. Dan lagi-lagi aku memilih kabur ketika pak kondektur datang. Maka bolak-balik Cirebon Jakarta aku hanya membayar Rp 5000 saja.




bersantai sejenak di puncak