Selasa, 30 September 2014

Merintis Jalan di Bisnis Konten

Sumber: www.1twelfth.com


18 Oktober 2011 bisa jadi hari paling nahas dalam sejarah industri telekomunikasi Indonesia. Surat Edaran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang dikeluarkan empat hari sebelumnya memaksa operator menghentikan bisnis konten value added service (VAS).

Ini terjadi setelah kasus pencurian pulsa oleh content provider merebak hingga menjadi isu nasional. Dalam waktu singkat, bisnis VAS operator langsung rontok seketika. Kelak, peristiwa itu seringkali disebut sebagai Black October.

Tiga tahun setelah kasus tersebut berlalu, lini bisnis VAS mulai bangkit. Kontribusi pendapatannya bahkan sudah melampaui masa-masa jaya sebelum Black October. Kisarannya antara 3%-5%. Beberapa operator juga sudah mulai menggenjot lini bisnis VAS tersebut.

PT XL Axiata Tbk. misalnya, agresif memperkenalkan lini bisnis digital service. Bentuknya pun macam-macam. Tidak hanya sebatas ring back tone (RBT) dan SMS premium, tetapi juga beragam aplikasi dan solusi sehari-hari. Di bawah lini bisnis ini, XL mengandalkan lima sektor yaitu digital entertainment, mobile finance, mobile advertising, machine to machine (M2M), komputasi awan, dan e-commerce.

Kinerjanya pun cukup memuaskan. Pada semester I/2014, lini bisnis VAS berkontribusi 4% terhadap total pendapatan seluler perusahaan. Angkanya mencapai Rp311 miliar, naik 20% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp259 miliar. Yessie D. Yosetya, VP Digital Service Delivery XL mengatakan pertumbuhan bisnis digital service memang menggembirakan.

Untuk hal ini, XL punya beberapa layanan andalan. Di sektor uang elektronik misalnya, operator ini mengandalkan layanan XL Tunai. Sementara di bidang e-comerce, XL rela menggelontorkan sekitar US$19 juta untuk membangun platform Elevenia bersama perusahaan asal Korea Selatan, SK Planet.
PT Indosat Tbk. dan Telkomsel pun tak mau ketinggalan. 

Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan pihaknya mengandalkan layanan VAS untuk menggenjot average revenue per user (ARPU) pelanggan. Beberapa yang menjadi andalan sebut saja uang elektronik Dompetku dan mobile advertising. Pada Semester I 2014, ARPU anak usaha Ooredoo ini justru turun 2,7% menjadi Rp26.200 per bulan dari sebelumnya Rp26.900 year on year (YoY).

Startegi operator untuk menggenjot lini bisnis VAS memang masuk akal. Di tengah peningkatan trafik data dan beban investasi jaringan yang kian meningkat, operator harus pandai-pandai mencari sumber uang. Ini sekaligus sebagai strategi untuk menghadapi serbuan layanan over the top (OTT) yang menjadi masalah akut operator di seluruh dunia.

Bagaimana Menyikapi OTT?

Dalam beberapa kali kesempatan, Anggota BRTI Nonot Harsono melancarkan kritik tajam terhadap strategi operator yang dinilai abai menghadapi serbuan aplikasi OTT yang kian merajalela. Secara teknis, OTT merupakan aplikasi yang berjalan menggunakan jaringan milik operator. Facebook, Twitter, dan aplikasi populer lainnya termasuk dalam kategori ini.

OTT menjadi polemik karena menyedot banyak sekali trafik data. Ini tentu saja menjadi tugas operator selaku penyedia jaringan. Masalahnya, operator tidak bisa mengonversi pengguna OTT yang membludak dan membebani jaringan menjadi pundi-pundi rupiah. Sebanyak apapun pelanggan Facebook misalnya, pendapatan operator tetap akan bertumpu dari berapa banyak bandwidth yang dipakai.

Nonot pun mewanti-wanti kepada operator agar membenahi model bisnis yang selama ini digunakan. Apalagi saat ini teknologi 4G sudah siap hadir di depan mata. “Percuma kalau ada 4G tapi model bisnis masih kayak gini. Operator malah akan buntung,” katanya.

Kritik pedas Nonot memang bermaksud untuk melindungi investasi operator. Ketika pelaku usaha kehilangan kemampuan untuk membangun jaringan, kiamat telekomunikasi dipastikan nyaris terjadi. Apalagi untuk urusan infrastruktur telekomunikasi, pemerintah seperti enggan ikut campur. Beban itu selama ini memang ditanggung oleh operator.

Presiden Direktur Ericsson Indonesia Sam Saba beberapa waktu lalu mengatakan perlu ada koordinasi antara operator dan OTT untuk menjaga keseimbangan industri. Wacana soal pemberlakukan biaya bagi layanan tersebut juga bisa menjadi pilihan. Kendati demikian, dia menuturkan konsumsi data sebenarnya bisa menjadi lokomotif pertumbuhan operator telekomunikasi. 

Apa yang sedang dirintis operator telekomunikasi dengan menggenjot bisnis VAS dan membuat OTT sendiri seperti ingin menjawab kritik yang dilontarkan Nonot.

Kisruh Iklan Sisipan

Tapi masalah rupanya tidak berhenti hanya dengan menggenjot lini bisnis VAS. Jika tidak cermat, lini bisnis ini bisa menjadi boomerang dan menyerang balik operator. Salah satunya adalah bisnis mobile advertising yang kian menggeliat. 

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) merilis angka Rp7 triliun sebagai nilai bisnis iklan digital di Indonesia tahun ini. Angka tersebut bahkan naik hampir dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya Rp3,7 triliun.

Dengan potensi yang sedemikian besar, wajar jika operator ingin mencicipi kue bisnis tersebut. Tapi langkah ini justru membuat industri telekomunikasi agak memanas beberapa minggu terakhir. Pemicunya adalah protes beberapa asosiasi terkait dengan praktik iklan sisipan interstitial dan off deck ads  yang dilakukan oleh PT Telekomunikas Seluler (Telkomsel) dan PT XL Axiata Tbk.

Setelah hampir setahun diskusi dengan kedua operator tersebut menemui jalan buntu, Asosiasi e-Commerce Indonesia (Idea) dan Indonesian Digital Association (IDA) akhirnya angkat bicara. Bak bola salju, kisruh soal intrusive ads ini terus bergulir dan menyeret berbagai pihak. Tidak hanya Idea dan IDA, beberapa asosiasi lain seperti Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asssociation of Asia Pasific Advertising Media (AAPAM), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) turut mengecam praktik tersebut.

Bagi para pengguna Internet, iklan sisipan memang kerap ditemui. Iklan berbentuk banner tersebut biasanya muncul saat pengunjung mengakses situs tertentu. Dalam hal ini, pengguna dipaksa untuk melihat iklan tersebut sebelum memasuki alamat situs yang dituju.

Ketua Umum IDA Edi Taslim mengatakan pratik pemasangan iklan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse power) yang dilakukan operator telekomunikasi terhadap pemilik situs. Apalagi tidak ada koordinasi antara operator dan pemilik situs terkait pemasangan iklan tersebut.

Polemik kian memanas ketika operator telekomunikasi enggan disalahkan. Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menegaskan praktik tersebut tidak melanggar hukum. Direktur Utama Telkomsel Alex J. Sinaga bahkan memastikan akan melanjutkan praktik tersebut selama belum ada keputusan final dari regulator.

Ini tentu mengecewakan bagi para pemrotes. Edi Taslim menegaskan pihaknya siap membawa kasus ini ke ranah hukum jika operator tetap ngotot dengan pendiriannya. Bagi industri, kondisi ini seperti jelas bukan sinyal yang baik. Ketika operator tengah merajut asa di bisnis VAS, kondisi seperti ini jelas harus diselesaikan dengan kepala dingin.

Sebagai pemilik jaringan, operator mungkin memang berhak menempatkan iklan tersebut. Tetapi pemilik situs tentu tidak mau “rumah” mereka terganggu. Belajar dari kasus Black October, kedua pihak harus bisa mencari kompromi.


Kamis, 25 September 2014

Sumber: www.indonesia.liverpoolfc.com


Seolah melanjutkan rekor buruk pada beberapa pertandingan terakhir, Liverpool harus menjalani drama melelahkan saat menghadapi Middlesbrough dalam pertandingan di Piala Liga, Rabu (24/9/2014).

Anak asuh Brendan Rodgers tersebut berhasil memetik kemenangan. Tapi setelah kedua tim berjibaku 90 menit di babak normal dan 30 menit sisanya pada babak tambahan. Tidak cukup sampai disitu, keduanya pun harus melakukan adu tendangan penalti yang bertele-tele. Alhasil, skor 14-13 pun tersaji di akhir laga.

Bagi tim sekelas Liverpool yang dibebani dengan target juara EPL musim ini, menghadapi Middlesbrough dengan cara seperti itu jelas bukan sinyal yang bagus. Turun dengan beberapa pemain anyar, pasukan The Reds gagal menunjukkan permainan atraktif.

Lazar Markovic yang diboyong seharga 20 juta poundsterling gagal memenuhi ekspektasi. Gelandang asal Serbia ini hanya mampu berputar-putar tanpa bisa menembuh jantung pertahanan Middlesbrough. Aksi drible yang ditunggu-tunggu fans juga tak kunjung keluar. Pemain muda itu seperti terbebani dengan banderol mahal yang ditanggungnya.

Pemain anyar lainnya, Adam Lallana, sedikit lebih baik. Pemain Inggris ini menunjukkan determinasi tinggi sepanjang pertandingan. Tapi tetap saja, untuk ukuran pemain seharga 25 juta poundsterling, Lallana seharusnya bisa lebih berguna. Tapi di pertandingan itu,, beberapa kali dia seperti kebingungan saat memegang bola.

Sementara itu, Mario Balotelli yang didatangkan dari AC Milan juga belum mampu bersinar. Gerakan “Super Mario” terlalu lambat. Driblenya mudah ditebak. Dia juga belum maksimal membuka ruang. Apalagi malam itu dia dipasangkan dengan Rickie Lambert yang juga malas bergerak. Alhasil, lini depan Liverpool seperti mati kutu.

Di balik permainan pemain depan yang miskin kreativitas, masalah utama Liverpool sebenarnya terletak di lini belakang. Setelah menghajar Tottenham Hotspur 3-0 beberapa pekan lalu, gawang Simon Mignolet telah dibobol tujuh kali. Satu saat melawan Aston Villa, 3 gol memalukan dari West Ham United, satu gol ketika menghadapi Ludgoretz di Liga Champion, dan dua gol dalam pertandingan dini hari tadi.

Ini memang menjadi masalah akut yang sudah dialami Liverpool beberapa tahun terakhir. Bongkar pasang lini belakang juga sudah kerap dilakukan. Duet Martin Skrtel-Daniel Agger sebenarnya cukup menjanjikan beberapa musim ke belakang. Sayang, Agger yang sering bolak balik meja operasi akibat cedera membuat performanya menurun. Ini jelas membuat lubang besar di pertahanan The Reds.

Mendatangkan pemain berpengalaman macam Kolo Toure tak banyak membantu. Kolo hanya bermain apik di beberapa pertandingan awal. Setelah itu, dia nyaris tenggelam. Kolo yang sudah berusia 33 tahun kalah adu cepat dengan para penyerang di Liga Inggris yang lebih muda.

Menambal celah di lini belakang rupanya juga tidak semudah dengan membeli pemain mahal macam Sakho dan Dejan Lovren. Pemain yang disebutkan terakhir hanya bersinar saat tur pramusim. Di beberapa pertandingan awal, Lovren tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai pemain seharga 20 juta pounds.

Kelemahan Liverpool yang selalu kesulitan menghalau bola-bola diagonal masih kerap terjadi. Lovren memang pandai membaca arah bola. Tapi dia terlalu lambat. Momen paling kentara saat pemain ini gagal mengejar Sergio Aguero ketika Manchaster City melumat Liverpool 3-1. Dengan koordinasi yang buruk di antara pemain, celah yang bisa dieksploitasi pemain lawan sangat terbuka.

Dilema Gerard

Tak ada yang bisa membantah loyalitas dan kapasitas Steven Gerard sebagai roh permainan Liverpool. Lebih dari satu dekade, sang kapten tetap setia berkosum merah. Ini tentu menjadi poin plus baginya.

Tapi di usianya yang sudah tidak muda lagi, Gerard adalah buah simalakama. Gerard muda dengan determinasi tinggi, drible ciamik dan tendangan gledeknya tidak lagi terlihat. Gerard semakin lambat. Tendangan jarak jauhnya seringkali tak terarah. Determinasi? Jangan berharap banyak. Bisa bermain 90 menit saja sudah sebuah prestasi.

Lantas, jika Gerard sudah tidak lagi menunjukkan performa terbaik, mengapa sang kapten masih rajin mengisi starting eleven? Jawabannya mungkin pada soal kepemimpinan. Banyak pemain muda Liverpool yang mengidolakan Gerard di masa kecilnya. Bermain bersama sang idola tentu akan meningkatkan moral para pemain. Tapi disinilah repotnya. Gerard seperti revolver kosong tanpa amunisi. Tidak bisa digunakan tapi membawa rasa aman.  

Di masa kepelatihan Kenny Dalglish, upaya untuk mempertahankan Gerard dilakukan dengan menariknya sedikit ke belakang. Dia tidak lagi diberi tugas mengobrak-abrik pertahanan lawan seperti pakemnya selama ini. Sebagai gantinya, Gerard bertugas melindungi empat pemain belakang dalam formasi 4-4-2 berlian. Mirip seperti posisi yang ditempati Andrea Pirlo di Juventus.

Awalnya posisi baru ini cukup berhasil. Beberapa kali Gerard menunjukkan long pass kelas wahid bagi lini depan Liverpool. Ditemani Henderson, Joe Allen, atau Lucas Leiva, sang kapten menjalani tugas barunya dengan baik. Ini terlihat dari lini tengah Liverpool yang kian solid di musim lalu, sehingga bisa finish di posisi 2.

Tapi usia lagi-lagi tidak bisa menipu. Dalam beberapa pertandingan awal musim ini, posisi yang ditempati Gerard justru jadi masalah baru. Fisiknya tidak lagi prima untuk menjalani tugas  memotong alur serangan lawan sekaligus melindungi empat pemain belakang. Gerard kerap kedodoran sehingga sering telat menutup ruang. 

Kinerja buruk sang kapten diperparah dengan performa tidak bagus dari Lucas Leiva. Ini membuat double pivot Liverpool seperti loyo dan tak bertenaga. Determinasi tinggi dari Henderson juga tidak banyak membantu.

Jika masih mau bersaing, Brendan Rodgers harus segera mengevaluasi peran Gerard. Rodgers mungkin bisa meniru langkah Chelsea saat pelan-pelan menggeser Frank Lampard. Ini juga untuk mengurangi ketergantungan. Sehingga saat sang kapten pensiun, Liverpool sudah bisa move on.

Faktor Suarez

Menjalani musim 2014-2015 tanpa Luis Suarez seperti membuat Liverpool mengulang semuanya dari awal. Musim lalu, lini belakang The Reds yang rapuh terselamatkan aksi menawan pemain Uruguay ini. Jika tidak bisa menciptakan gol, Suarez bisa membuka ruang bagi rekan-rekannya. Inilah yang membuat Sturridge dan Sterling bersinar di musim lalu.


Situasi seperti inilah yang hilang dari serangan Liverpool. Balotelli jelas bukan Suarez yang bisa melewati satu dua pemain lawan dengan mudah. Bergerak kesana kemari sehingga membingungkan bek lawan. Sterling masih terlalu muda untuk mengemban tugas itu. Sementara ketika Sturridge bergerak membuka ruang, Liverpool tidak memiliki pemain dengan finishing touch seefisien Suarez.