Aku percaya, perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah
kecil. Sejak menyaksikan langsung gagahnnya Papandayan dari puncak Cikuray
February lalu, ingin rasanya menginjakkan kaki disana. Gayung bersambut,
keinginanku ini berbarengan dengan langkah om Rudy yang mengajak kecer ceria ke
Papandayan lewat kendaraan Komunitas Pencinta Alam Warna-Warni (KPAWW).
Aku segera membentuk tim kecil yang tak lain dan tak bukan
adalah tetangga sekaligus kawan semasa SD dulu. Meski bukan anggota KPAWW, kami
tak merasa sungkan. Kudengar pepatah mengatakan, sesama pendaki adalah saudara.
Kami segera menyusun rencana. Diskusi kecil sempat memanas
untuk menentukan waktu keberangkatan. Secara resmi, KPAWW akan berangkat Jum'at
pagi Jakarta. Namun, tim kecil kami memutuskan untuk mencuri start dengan
berangkat Kamis malam.
Disinilah manajemen eror terjadi. Tim yang tadinya hanya 4
orang kini membengkak menjadi 7 orang. Wah,,ini tentu menjadi masalah. Apalagi
personel tambahan ini rupanya tidak membawa perlengkapan standar pendakian
seperti jaket gunung apalagi matras dan sleeping bag. Jujur saja, awalnya aku
menggerutu. Bukan apa-apa, dalam keadaan apapun alam tetap menjadi kawan
sekaligus lawan yang sulit di prediksi. Persiapan yang matang tentu akan
meminimalisir kondisi terburuk yang mungkin terjadi.
Namun apadaya, nasi sudah
menjadi bubur dan bubur sudah tersaji dalam mangkok. Kami bertujuh sudah
menanti bus di mulut terminal Kp. Rambutan. Malam itu baru pukul 10.
Terminal itu masih ramai oleh teriakan calo yang berkeliling. Sebuah bus
ekonomi jurusan Garut melintas.
"Ayo A,,ke Garut langsung lewat Cipularang," teriak
sang kenek menghampiri kami.
"Berapa?,"
"35 ribu A,,libur panjang nih. Susah dapet mobil"
Aku mencibir. 35 ribu sih bisa dapet yang AC. Ujarku dalam
hati. Kami bergeming. Memilih bus lain yang lebih manusiawi ngasih harganya.
Tak lama kemudian, bus itu datang. AC, dapat tempat duduk dan yang paling
penting harga normal. Rp 35.000 sampai terminal Guntur.
Malam itu macet sekali. Bus merayap perlahan melewati Cipularang.
Kami baru tiba di Garut sekitar pukul 04.00 WIB. Kami langsung menuju masjid
dekat terminal yang baru sebulan lalu kudatangi. Kali ini, masjid sudah seperti
camping ground. Belasan pendaki dari berbagai daerah berkumpul menunggu terang.
Ransel-ransel besar bergeletakan di teras masjid bersama tuannya. Tujuan mereka
beragam. Ada yang mau ke Papandayan, Cikuray ataupun Guntur.
Sekitar pukul 6 kami bergegas.
Menumpang angkot yang akan membawa kami ke Cisurupan. Dari Cisurupan kami
menumpang pick up mobil pak Ajun sampai Camp David. Sepanjang jalan, Cikuray
terlihat kerucut menjulang. Pagi itu Camp David cukup ramai. Beberapa mobil
pribadi terpakir rapi di lahan parkirnya yang luas. Angin langsung menampar
kami keras-keras. Hawa dingin mencuri masuk menembus pakaian yang kupakai. Pagi
itu cukup untuk membuatku kedinginan.
Cikuray si kerucut |
Kami
mulai trekking langsung menuju kawah. Jalur yang landai di lengkapi oleh
sengatan matahari di atas kepala. Sepanjang jalan, bebatuan sedimen beku
mendominasi. Di depan sana, asap putih mengepul dari dapur magma yang masih
aktif.
Wangi belerang
segera menyeruak ke hidung. Asap-asap keparat itu menjejalkan racun ke
paru-paru. Cukup untuk membuat kepalaku pusing. Kami segera bergegas.
Berlama-lama di kawah dengan kondisi angin kencang, asap yang menggulung serta
matahari yang tak henti-henti membakar bumi tentu bukan keputusan bagus.
Melewati kawah barulah kami bisa bernafas lega. Di belakang
sana, asap putih masih saja mengepul. Papandayan memang salah satu gunung
berapi yang gemar bikin gempar. Sambil berjalan, aku memperhatikan jejak-jejak
ditanah. Di antara injakan sepatu para pendaki, tanah juga mencetak dengan
jelas roda-roda sepeda motor milik penduduk setempat. Kemungkinan besar mereka
menggunakannya untuk memanen kentang. Sejak tadi kami memang selalu bertemu
para petani yang turun menggendong kentang di karung.
Trekking di
Papandayang tergolong menyenangkan. Jalurnya landai sementara pemandangan indah
terhampar di pinggir jalan. Kami tiba di Pondok Selada 3 jam kemudiaan. Tempat
ini seperti lapangan bola yang ditumbuhi edelweiss. Luas sekali. Kami segera
mendirikan tenda. Pagi itu, penghuni Pondok Selada belumlah banyak.
Sayangnya, masih di wilayah Pondok Selada kami menemukan
"ranjau darat" berwarna kuning cerah. Walah,,manusia macem apa nih
yang tega-teganya mengotori tempat seindah ini. Setidaknya kalo punya hajat ya
dikubur donk.hehehe..
Kami menunggu dengan bosan. Sambil merebus kentang hasil
pemberian petani, kami menikmati melodi alam yang sunyi dan menenangkan jiwa.
Tak lama kemudian rombongan momotoran datang.Mereka bertiga menembus malam dari
Tangerang menggunakan motor. Gila memang.
Sore menjelang. Pondok Selada semakin ramai oleh pendaki.
Kabut tipis mulai berlomba dengan gelap. Pemandangan ini sungguh berbeda dengan
yang kusaksikan beberapa jam yang lalu. Pondok Selada tak ubahnya seperti barak
pengungsian. Tenda warna-warni berdiri tegak di segala penjuru. Suara tawa para
pendaki bercampur dengan hembusan angin yang tak berhenti sejak tadi.
Hmm,,,waktunya ngopi. Meski baru pertama kali bertemu, aku
merasa mengenal mereka dengan baik. Di sekeliling api unggun yang terbakar
seadanya, kami saling bertukar cerita. Tak perduli warna kulit, status dan
kepercayaan. Setiap perbedaan seperti menguap di ketinggian ini. Rasanya Bhineka
Tunggal Ika itu bukan omong kosong.
Pagi menjelang. Orang-orang mulai sibuk beraktivitas. Bukan
terburu-buru mandi agar tidak terkena macet, tapi berfoto ria mengabadikan
ketakjuban pagi. Ah,,damai sekali. Aroma harum kopi mulai tercium dari beberapa
tenda. Tak mau kalah aku pun menyiapkan roti tawar yang di olesi mentega dan
susu. Hmm,,.
Pagi ini kami akan trekking ringan ke Tegal Alun. Sebuah
situs loKal pernah menempatkan Tegal ALun di posisi ke-4 sebagai padang
edelweiss terbaik di Indonesia. Jadi penasaran. Kami pun berkumpul membentuk
lingkaran. Pemanasan kecil yang penuh canda membangkitkan semangat kami.
Perjalanan di mulai dengan santai melewati sungai kecil yang airnya dingin
menembus tulang.
Setelah itu kita akan disuguhi
pemandangan hutan mati yang eksotis. Pohon-pohon kering itu tumbuh diatas tanah
vulkanis aktif. Hidup segan mati pun tak mau. Jika di Bromo ada istilah
"pasir berbisik", bolehlah disini di populerkan "pohon berbisik".
Itu gunung apa yah??? |
Tak
lama kemudian kami tiba di Tegal Alun. Lembah ini mengingatkanku pada
Mandalawangi. Luaaaaaassss sekali. Sayang edelweissnya belum tumbuh sempurna.
Biarlah, tanpa edelweiss pun tempat ini sudah cukup indah. Disini memang damai
sekali. Rasanya tak mau pulang. Masing-masing dari kami mengekspresikan diri.
Jepretan kamera tak hanti-hentinya bekerja. Jadi begini tho rasanya jadi foto
model..hehehhe.
Pagi
yang semakin siang membuat kami bergegas turun. Pengalaman tadi indah sekali.
Harus dicoba beberapa kali lagi. Makan. Itulah agenda kami saat tiba kembali di
Pondok Selada. Tempe goreng hari itu rasanya sudah berubah menjadi ayam.
Memang, di tempat seperti ini makan apapun enak.
Dan begitulah,,siang itu kami segera turun. Kisah pendakian
ini memang telah berakhir. Tapi kenangannya kan kusimpan sampai akhir. Meski
hanya camping ceria di ketinggian 2726 mdpl, bersama sahabat rasanya seperti
berada di puncak Himalaya.
Biaya :
Kp. Rambutan-Terminal Guntur : Rp 35.000 (6 jam)
Kp. Rambutan – Cisurupan : Rp 5000 (1 jam)
Cisurupan-Camp David (pick up): Rp 10.000 (30 menit)
Camp David-Pondok Selada : 2 jam
Pondok Selada-Tegal Alun : 1 jam
Tips :
· Jangan lupa bawa masker dan
sejenisnya karena anda akan melewati kawah yang asapnya dijamin bikin mabuk
kepayang
·
Walaupun bagus foto-foto di kawah,
hendaknya jangan lama-lama karena sangat berbahaya
·
Jangan repot-repot bawa air dari bawah,
karena di Pondok Selada air sangat melimpah
·
Usahakan jangan nga-camp di Tegal
Alun terutama saat musim ujan. Dijamin anda akan berkotor-kotor ria
·
Bagi yang mempunyai hajat harap
dikubur dengan layak agar tidak mengganggu,,hoekkk
·
Jangan lupa bernarsis ria biar foto
profil FB-nya gak itu2 aja..hehehe..