Jumat, 23 Maret 2012

Pohon Berbisik di Papandayan


Aku percaya, perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah kecil. Sejak menyaksikan langsung gagahnnya Papandayan dari puncak Cikuray February lalu, ingin rasanya menginjakkan kaki disana. Gayung bersambut, keinginanku ini berbarengan dengan langkah om Rudy yang mengajak kecer ceria ke Papandayan lewat kendaraan Komunitas Pencinta Alam Warna-Warni (KPAWW).
Aku segera membentuk tim kecil yang tak lain dan tak bukan adalah tetangga sekaligus kawan semasa SD dulu. Meski bukan anggota KPAWW, kami tak merasa sungkan. Kudengar pepatah mengatakan, sesama pendaki adalah saudara.
Kami segera menyusun rencana. Diskusi kecil sempat memanas untuk menentukan waktu keberangkatan. Secara resmi, KPAWW akan berangkat Jum'at pagi Jakarta. Namun, tim kecil kami memutuskan untuk mencuri start dengan berangkat Kamis malam.
Disinilah manajemen eror terjadi. Tim yang tadinya hanya 4 orang kini membengkak menjadi 7 orang. Wah,,ini tentu menjadi masalah. Apalagi personel tambahan ini rupanya tidak membawa perlengkapan standar pendakian seperti jaket gunung apalagi matras dan sleeping bag. Jujur saja, awalnya aku menggerutu. Bukan apa-apa, dalam keadaan apapun alam tetap menjadi kawan sekaligus lawan yang sulit di prediksi. Persiapan yang matang tentu akan meminimalisir kondisi terburuk yang mungkin terjadi.
Namun apadaya, nasi sudah menjadi bubur dan bubur sudah tersaji dalam mangkok. Kami bertujuh sudah menanti bus di mulut terminal Kp. Rambutan. Malam itu baru pukul 10. Terminal itu masih ramai oleh teriakan calo yang berkeliling. Sebuah bus ekonomi jurusan Garut melintas.
"Ayo A,,ke Garut langsung lewat Cipularang," teriak sang kenek menghampiri kami.
"Berapa?,"
"35 ribu A,,libur panjang nih. Susah dapet mobil"
Aku mencibir. 35 ribu sih bisa dapet yang AC. Ujarku dalam hati. Kami bergeming. Memilih bus lain yang lebih manusiawi ngasih harganya. Tak lama kemudian, bus itu datang. AC, dapat tempat duduk dan yang paling penting harga normal. Rp 35.000 sampai terminal Guntur.
Malam itu macet sekali. Bus merayap perlahan melewati Cipularang. Kami baru tiba di Garut sekitar pukul 04.00 WIB. Kami langsung menuju masjid dekat terminal yang baru sebulan lalu kudatangi. Kali ini, masjid sudah seperti camping ground. Belasan pendaki dari berbagai daerah berkumpul menunggu terang. Ransel-ransel besar bergeletakan di teras masjid bersama tuannya. Tujuan mereka beragam. Ada yang mau ke Papandayan, Cikuray ataupun Guntur.
Sekitar pukul 6 kami bergegas. Menumpang angkot yang akan membawa kami ke Cisurupan. Dari Cisurupan kami menumpang pick up mobil pak Ajun sampai Camp David. Sepanjang jalan, Cikuray terlihat kerucut menjulang. Pagi itu Camp David cukup ramai. Beberapa mobil pribadi terpakir rapi di lahan parkirnya yang luas. Angin langsung menampar kami keras-keras. Hawa dingin mencuri masuk menembus pakaian yang kupakai. Pagi itu cukup untuk membuatku kedinginan.

Cikuray si kerucut

Kami mulai trekking langsung menuju kawah. Jalur yang landai di lengkapi oleh sengatan matahari di atas kepala. Sepanjang jalan, bebatuan sedimen beku mendominasi. Di depan sana, asap putih mengepul dari dapur magma yang masih aktif.


Wangi belerang segera menyeruak ke hidung. Asap-asap keparat itu menjejalkan racun ke paru-paru. Cukup untuk membuat kepalaku pusing. Kami segera bergegas. Berlama-lama di kawah dengan kondisi angin kencang, asap yang menggulung serta matahari yang tak henti-henti membakar bumi tentu bukan keputusan bagus.
Melewati kawah barulah kami bisa bernafas lega. Di belakang sana, asap putih masih saja mengepul. Papandayan memang salah satu gunung berapi yang gemar bikin gempar. Sambil berjalan, aku memperhatikan jejak-jejak ditanah. Di antara injakan sepatu para pendaki, tanah juga mencetak dengan jelas roda-roda sepeda motor milik penduduk setempat. Kemungkinan besar mereka menggunakannya untuk memanen kentang. Sejak tadi kami memang selalu bertemu para petani yang turun menggendong kentang di karung.


Trekking di Papandayang tergolong menyenangkan. Jalurnya landai sementara pemandangan indah terhampar di pinggir jalan. Kami tiba di Pondok Selada 3 jam kemudiaan. Tempat ini seperti lapangan bola yang ditumbuhi edelweiss. Luas sekali. Kami segera mendirikan tenda. Pagi itu, penghuni Pondok Selada belumlah banyak.
Sayangnya, masih di wilayah Pondok Selada kami menemukan "ranjau darat" berwarna kuning cerah. Walah,,manusia macem apa nih yang tega-teganya mengotori tempat seindah ini. Setidaknya kalo punya hajat ya dikubur donk.hehehe..
Kami menunggu dengan bosan. Sambil merebus kentang hasil pemberian petani, kami menikmati melodi alam yang sunyi dan menenangkan jiwa. Tak lama kemudian rombongan momotoran datang.Mereka bertiga menembus malam dari Tangerang menggunakan motor. Gila memang.
Sore menjelang. Pondok Selada semakin ramai oleh pendaki. Kabut tipis mulai berlomba dengan gelap. Pemandangan ini sungguh berbeda dengan yang kusaksikan beberapa jam yang lalu. Pondok Selada tak ubahnya seperti barak pengungsian. Tenda warna-warni berdiri tegak di segala penjuru. Suara tawa para pendaki bercampur dengan hembusan angin yang tak berhenti sejak tadi.

Hmm,,,waktunya ngopi. Meski baru pertama kali bertemu, aku merasa mengenal mereka dengan baik. Di sekeliling api unggun yang terbakar seadanya, kami saling bertukar cerita. Tak perduli warna kulit, status dan kepercayaan. Setiap perbedaan seperti menguap di ketinggian ini. Rasanya Bhineka Tunggal Ika itu bukan omong kosong.
Pagi menjelang. Orang-orang mulai sibuk beraktivitas. Bukan terburu-buru mandi agar tidak terkena macet, tapi berfoto ria mengabadikan ketakjuban pagi. Ah,,damai sekali. Aroma harum kopi mulai tercium dari beberapa tenda. Tak mau kalah aku pun menyiapkan roti tawar yang di olesi mentega dan susu. Hmm,,.
Pagi ini kami akan trekking ringan ke Tegal Alun. Sebuah situs loKal pernah menempatkan Tegal ALun di posisi ke-4 sebagai padang edelweiss terbaik di Indonesia. Jadi penasaran. Kami pun berkumpul membentuk lingkaran. Pemanasan kecil yang penuh canda membangkitkan semangat kami. Perjalanan di mulai dengan santai melewati sungai kecil yang airnya dingin menembus tulang.
Setelah itu kita akan disuguhi pemandangan hutan mati yang eksotis. Pohon-pohon kering itu tumbuh diatas tanah vulkanis aktif. Hidup segan mati pun tak mau. Jika di Bromo ada istilah "pasir berbisik", bolehlah disini di populerkan "pohon berbisik".

Itu gunung apa yah???

Tak lama kemudian kami tiba di Tegal Alun. Lembah ini mengingatkanku pada Mandalawangi. Luaaaaaassss sekali. Sayang edelweissnya belum tumbuh sempurna. Biarlah, tanpa edelweiss pun tempat ini sudah cukup indah. Disini memang damai sekali. Rasanya tak mau pulang. Masing-masing dari kami mengekspresikan diri. Jepretan kamera tak hanti-hentinya bekerja. Jadi begini tho rasanya jadi foto model..hehehhe.



Pagi yang semakin siang membuat kami bergegas turun. Pengalaman tadi indah sekali. Harus dicoba beberapa kali lagi. Makan. Itulah agenda kami saat tiba kembali di Pondok Selada. Tempe goreng hari itu rasanya sudah berubah menjadi ayam. Memang, di tempat seperti ini makan apapun enak.
Dan begitulah,,siang itu kami segera turun. Kisah pendakian ini memang telah berakhir. Tapi kenangannya kan kusimpan sampai akhir. Meski hanya camping ceria di ketinggian 2726 mdpl, bersama sahabat rasanya seperti berada di puncak Himalaya.
Biaya :
Kp. Rambutan-Terminal Guntur : Rp 35.000 (6 jam)
Kp. Rambutan – Cisurupan : Rp 5000 (1 jam)
Cisurupan-Camp David (pick up): Rp 10.000 (30 menit)
Camp David-Pondok Selada : 2 jam
Pondok Selada-Tegal Alun : 1 jam
Tips :
·     Jangan lupa bawa masker dan sejenisnya karena anda akan melewati kawah yang asapnya dijamin bikin mabuk kepayang
·         Walaupun bagus foto-foto di kawah, hendaknya jangan lama-lama karena sangat berbahaya
·         Jangan repot-repot bawa air dari bawah, karena di Pondok Selada air sangat melimpah
·         Usahakan jangan nga-camp di Tegal Alun terutama saat musim ujan. Dijamin anda akan berkotor-kotor ria
·         Bagi yang mempunyai hajat harap dikubur dengan layak agar tidak mengganggu,,hoekkk
·         Jangan lupa bernarsis ria biar foto profil FB-nya gak itu2 aja..hehehe..




Kamis, 15 Maret 2012

Anda Tak Cukup Kaya..!!


Pagi ini diantara semrawut kemacetan Jakarta, saya melihat seorang gadis cantik mengendarai mobil sendirian. Mobil berkapasitas 8 orang itu tampak kosong melompong. Hanya sang gadis manis yang terlihat asik mendengarkan musik dibelakang kemudi. Saat mengalihkan pandangan, saya menyaksikan pemandangan yang sama. Mobil-mobil kosong dengan hanya satu atau dua orang penumpang saja.
Bagi saya, gadis itu hanyalah simbol. Simbol dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di negri ini. Meski Badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim pertumbuhan ekonomi kita mencapai 6%, saya tidak percaya. Pertumbuhan yang mana? Toh nyatanya para petani masih sulit membeli beras. Sekolah masih menjadi mimpi bagi sebagian anak-anak. Dan generasi muda kita masih bingung mencari kerja.
Sebagai anak muda yang setiap hari berkutat dalam aktivitas ibukota, macet tentu menjadi hal biasa. Saya tidak ingin mengkritik pemerintah karena mereka sudah jelas salah. Saya ingin sedikit menggelitik lewat gadis manis yang saya temui hari ini.
Jujur saja, saya agak kesal dengan perilaku orang-orang yang mengendarai mobil sendirian. Volume kendaraan di ibukota yang melonjak hingga 12 juta saja menjadi masalah. Apalagi mengendarai mobil sendiri. Mari kita berfikir sederhana. Jika rata-rata lebar jalan di Jakarta adalah 15 meter dan lebar mobil adalah 3 meter, maka hanya 4 mobil yang bisa melaju bersamaan. Jika setiap satu mobil hanya berisi 1 orang, artinya 4 orang itulah yang menguasai lebar jalanan. Berbeda dengan motor yang lebarnya hanya 1 meter. Pun jika diisi hanya satu penumpang, masih ada 10-12 orang yang bisa melewati jalan tersebut.
Saya menyebut orang-orang yang mengendarai mobil sendirian sebagai orang egois. Mereka menguasai jalanan yang lebar hanya untuk mereka sendiri. Bagi saya, merekalah biang kemacetan ibukota. Jika hanya pergi sendiri, mengapa mereka harus menggunakan mobil? Mengapa tidak naik motor atau angkutan umum saja??..
Baiklah, mungkin anda akan berapologi dengan kebobrokan transportasi kita. Hal ini memang menjadi masalah tersendiri. Infrastuktur transportasi kita dimana angkot yang sering ngetem, busway yang suka terlambat dan kereta yang penuh sesak, memaksa orang naik angkutan umum tentu bukan pilihan yang bijak. Namun mengendarai mobil sendirian tentu bukan jawabannya.
Kebijakan 3 in 1 di beberapa jalan protokol di Jakarta rasanya belum menjadi solusi. Selain membuka lapangan pekerjaan untuk menjadi joki, 3 in 1 nyaris tidak berpengaruh bagi kemacetan Jakarta. Saya pikir kita harus mulai berfikir untuk mengurangi pemakaian kendaraan terutama mobil, terutama lagi jika hanya pergi sendiri. Jika tidak, beberapa tahun lagi dengan penambahan volume kendaraan yang semakin masif, percayalah jam 1 malam pun juga akan macet.
Selain menyebabkan kemacetan, penggunaan mobil juga boros BBM. Dengan “Si Supri”-motor honda kebanggaan saya-, bensin 2 liter cukup untuk keliling Jakarta. Berapa yang dibutuhkan mobil anda untuk keliling Jakarta? Artinya, anda yang menggunakan mobil dan boros BBM turut berkontribusi pada ekslorasi besar-besaran minyak mentah yang artinya turut berkontirbusi pada pencemaran lingkungan dan pengrusakan bumi.
Mungkin anda menyebut saya sebagai orang yang iri. Tak munafik, sebagai manusia biasa saya tentu punya rasa iri. Namun kekesalan saya pada para pengguna mobil egois telah mengalahkan rasa iri saya.
Untuk itu, saya terpikirkan sebuah ide yang saya sebut sebagai “pajak subsidi silang”. Ini adalah sebuah kebijakan untuk menaikkan pajak bagi para pengendara mobil pribadi. Caranya bisa dengan menaikkan tarif tol beberapa kali lipat, menaikkan harga BBM khusus untuk mobil dan menaikkan tarif parkir mobil. Hasilnya bisa digunakan untuk membangun infrastuktur transportasi ataupun mensubsudi BBM bagi rakyat miskin yang katanya akan naik tahun ini.
Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Barrack Obama dalam pidatonya pada 25 Januari 2012 dihadapan kongres AS mengusulkan kebijakan “pajak bagi orang kaya”. Artinya, untuk membiyayai defisit anggaran pemerintahnya, Obama bermaksud menaikkan pajak bagi orang-orang kaya dan menggunakannya untuk kepentingan publik.
Dengan menaikkan pajak bagi pemilik mobil, setidaknya dua keuntungan yang kita dapat. Pertama, menurunkan penggunanaan mobil pribadi yang artinya mengurangi kemacetan dan konsumsi BBM. Kedua, hasil dari kenaikan pajak ini bisa digunakan untuk membangun infrastuktur transportasi kita agar lebih baik.
Jika kebijakan ini benar-benar terlaksana, percayalah para pengguna mobil pribadi akan berteriak-teriak tidak setuju. “kasiahan yang bawa mobil donk?” begitulah mungkin rekasi yang timbul. Buat saya sederhana, jika anda tidak mampu membayar pajak-pajak yang tinggi bagi para pemilik mobil pribadi, artinya anda tak cukup kaya..!!.
Saya melihat, selama ini fungsi mobil sudah berubah dari alat transportasi menjadi simbol status sosial. Maka jika anda ingin konsisten dengan status sosial sebagai pemilik mobil, konsekuensi untuk membayar cost lebih mahal harus anda patuhi. Jika tidak, artinya anda tidak cukup kaya untuk punya mobil . Apalagi jika mobil yang anda gunakan itu adalah mobil orang tua. Yes,.you’re really not enough rich..!!
Saya kenal dengan seseorang yang jika dilihat dari penampilannya, anda tidak akan percaya jika ia bergaji puluhan juta. Hidupnya sederhana. Sehari-hari, ia mengandalkan sepeda ataupun motor vespanya untuk berangkat ke tempat kerja. Mobil hanya digunakan sesekali jika pergi bersama keluarga. Bagi saya, ia lebih “kaya” daripada orang yang punya Mercy lima sekalipun.
Cara semacam ini sudah dipraktekkan di Amerika. Untuk mengurangi konsumsi rokok, walikota New York Michael Bloomberg menaikkan harga rokok hingga berkali-kali lipat. Cara ini cukup berhasil. Meski awalnya kontroversial, toh pada akhirnya semua berjalan seperti biasa.
Saya sengaja membuat tulisan ini agak provokatif. Bukan agar anda menyetujuinya, tapi supaya anda memahaminya. So,,silahkan tuangkan ide-ide kreatif kalian anak muda..!!!!

Kamis, 01 Maret 2012

Mencari Damai Di Cikuray

Cikuray si kerucut. Begitulah gunung tertinggi ke-4 di Jawa Barat ini dikenal. Dengan tinggi 2818 mdpl, Cikuray menjadi salah satu pilar dari trio pegunungan Garut bersama Papandayan dan Guntur. Dilihat dari sudut manapun, Cikuray memang terlihat menjulang tegak simetris seperti kerucut. Tak heran jika si kerucut ini juga dikenal dengan jalur pendakianya yang cukup ekstrim.
Hari itu, 17 Februari 2012 aku, Eko, Barkah dan Hamdi yang dipertemukan nasib di Gunung Guntur sepakat untuk berkunjung kje Cikuray. Matahari baru saja terbit ketika kami bertemu di terminal Guntur Garut. Belum banyak aktivitas terminal pagi itu. Di sebuah masjid di belakang terminal, belasan pemuda dengan ransel-ransel besar bersenda gurau menunggu terang. Mereka adalah rombongan yang akan ke Papandayan.
Setelah mengisi perut dengan seporsi lontong kari di sekitar terminal, kami memulai perjalanan dengan menumpang angkot ke daerah Patrol. Suasana begitu sejuk dengan matahari yang masih malu-malu menyinari bumi. Garut merupakan kota yang dibentengi gunung-gunung. Tak heran jika paru-paru ku merasa gembira diisi udara kota ini.
Kami sampai Patrol disaat para pelajar hendak berangkat ke sekolah. Gadis-gadis manis dengan seragam abu-abu putih berjalan anggun sambil bercanda. Beberapa dari mereka menarik perhatianku.Hiburan di pagi itu menambah semangat kami.
Patrol merupakan desa terakhir sebelum mencapai pos Pemancar yang menjadi gerbang Cikuray. Dari Patrol, biasanya para pendaki menyewa mobil pick up ataupun ojek dengan ongkos sekitar Rp 30.000 untuk mencapai Pemancar. Namun, atas nama penghematan kami pun sepakat untuk berjalan kaki saja menuju Pemancar.
Dari Patrol, Pemancar beberapa stasiun TV itu terlihat gagah menjulang. Ia terlihat begitu dekat. Namun semua itu menipu. Kami keluar masuk rumah penduduk, melewati hamparan sawah menghijau, menginjak ladang-ladang hingga menyusuri perkebunan teh yang masih berembun sebelum sampai di Kampung Nyampai. Kampung ini sebenarnya merupakan rumah singgah sementara bagi para pemetik teh. Lambat laun, kampung ini menjadi tempat tinggal permanen . Kampung Nyampai terlihat sepi seperti tak ada kehidupan pagi itu. Hanya gonggongan anjing yang meyakinkan kami bahwa ada kehidupan disini.
Dari sebuah Musholla di Kampung Nyampai, aku memandang Pemancar yang berwarna merah menyala. Di belakangnya, Cikuray masih berselimut kabut. Perpaduan warna hijau pepohonan dan putihnya kabut seperti memanggil kami untuk segera mendaki. Kami melanjutkan perjalanan. Hembusan angin dingin di hamparan kebun teh mengiringi langkah kami. Jarak yang terlihat dekat jelas sangat menipu. Sepanjang awal perjalanan, aku mengutuki diri karena malas olahraga. Langkah kaki yang berat, nafas yang tidak teratur jelas menjadi indikasi betapa tubuhku sudah mulai manja.
Dengan peluh menetes deras, kami sampai di Pemancar setelah dua jam lebih berjalan. Segelas kopi panas menjadi pengusir dingin pegunungan. Pemancar akan menjadi awal perjalanan kami. Disini pula, kami harus mulai mengangkut air karena tidak akan ada lagi air setelah Pemancar.
Sekitar pukul 10.00 WIB kami mulai berjalan. Kami harus melewati tanjakan curam kebun teh sebelum masuk ke kawasan hutan Cikuray. Jalur pendakian terlihat cukup jelas meski di beberapa tempat pohon-pohon tumbang turut menghalangi jalan. Tak beberapa lama setelah memasuki kawasan hutan, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari SMA 8 Jakarta.
Jujur saja, aku cukup senang menyaksikan antusiasme anak-anak SMA itu mendaki ke Cikuray. Menikmati dinginnya angin gunung jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu bersama dinginya AC supermarket. Di beberapa tempat, kami sempat menyingkirkan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalan. Untung saja kawanku Hamdi selalu membawa golok.
Semakin lama pendakian terasa makin menyulitkan. Jalur pendakian yang ekstrim tidak diimbangi dengan kekuatan fisik yang prima. Meski demikian, bayangan akan permadani awan di puncak tak menyurutkan langkah kami. Cuaca yang cukup cerah turut membantu kami dalam pendakian ini. Hutan disini tergolong rapat dengan vegetasi yang cenderung beragam.
Setelah letih berjalan, kami akhirnya tiba di puncak bayangan sekitar pukul 17.00. Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Di ketinggian ini, angin meliuk-liuk memeluk kami. Masing-masing dari kami merapatkan jaket sambil menikmati segelas kopi jahe panas. Hmmm….nikmatnya. Selama perjalanan, kami bertemu dengan banyak rombongan. Nampaknya di puncak nanti keramaian Cikuray akan menyamai keramaian di mall-mall.
Setelah ngopi-ngopi dan diskusi soal trangia cola, kami melanjutkan perjalanan. Disinilah ujian yang sebenarnya untuk mencapai puncak. Dari puncak bayangan, titik tertinggi Cikuray memang menjulang tinggi menantang. Benar saja, kami harus merayap melalui jalur ini. Pohon-pohon tumbang dan akar-akar pohon menjadi ciri khas. Jalur ini mengingatkanku pada jalur pendakian Ciremei via Linggarjati. Sungguh menguras tenaga dan menciutkan mental.
Satu jam lebih kami habiskan untuk mencapai puncak. Dan lihatlah kawan,,siluet senja menyambut kami dengan ramah. Di ketinggian seperti ini, langit terlihat begitu menawan. Gradasi oranye mewarnai langit sore yang akan semakin gelap. Sering ada orang yang bertanya padaku tentang keuntungan naik gunung. Maka inilah jawabannya. Tak bisa kulukiskan dengan kata-kata karena kalian sendiri yang harus merasakannya.
Setelah sinar menghilang dan langit menjadi muram, kami bergegas mencari tempat mendirikan tenda. Dan benar saja, puncak Cikuray sudah dipenuhi oleh para pendaki. Akhirnya kami menemukan tempat terbaik setelah agak turun dari puncak. Mulailah kami membuka tenda. Si oranye Lafuma mendapat teman si oranye Triton. Ini pertama kalinya Lafuma oranye ini berpetualang denganku. Semoga kita menjadi teman baik kawan..!!
Malam itu diiringi dengan udara yang dingin menyerbu, kami memasak. Nasi sarden ditambah tempe goreng terasa begitu nikmat. Tak lupa pula kopi dan teh hangat menjadi teman kami malam itu. Bahkan nasi mentah pun terasa nikmat di gunung. Sekitar pukul 21.00 kami mulai masuk ke dalam tenda. Meski sudah memakai jaket dan sleeping bag, hawa dingin tetap saja menggigit. Wajar saja, malam itu suhu tercatat hingga 5° celcius. Tidur adalah cara terbaik kami mengusir dingin.
Keesokan harinya, sunrise memang tertutup awan. Sebagai gantinya, kami disuguhi hamparan permadani awan yang putih memukau. Di arah barat, gunung Papandayan dan kawah Kamojang terlihat jelas mengundang kami. Kota Garut terlihat seperti semut. Sementara di timur, sinar mentari berusaha mati-matian menembus hamparan awan yang bergulung-gulung. Setelah disuguhi siluet senja kemarin, kali ini kami disuguhi hamparan permadani awan yang indah menawan.
Sungguh sebuah kebanggaan berdiri disi. Perjuangan bersama kawan-kawan belasan jam kemarin terbayar lunas. Pemandangan ini bagaikan mimpi. Semua keletihan menghilang bersama hembusan angin pagi yang mengepung. Ditengah keramaian puncak pagi itu, aku merasa sendiri. Terbawa suasana seakan ini adalah surga.
Kami tidak berlama-lama di puncak. Persediaan air yang semakin menipis membuat kami harus bergegas turun. Sekitar pukul 10.00 kami mulai bersiap turun meninggalkan puncak Cikuray yang mulai tertutup kabut. Tak jauh dari puncak kami bertemu dengan rombongan pendaki Jepang bersama dengan guide-nya. Jika pukul 10.30 mereka sudah sampai puncak, pukul berapa mereka mulai mendaki?
Pertanyaan tentang pendaki Jepang itu terus membuatku penasaran. Jawabannya baru kutemukan saat kami mencapai pemancar sekitar pukul 13.30. Ternyata mereka memulai pendakian mulai pukul 08.00. What???? Aku geleng-gelang kepala saking tak percaya. Kami harus menghabiskan waktu 8 jam untuk sampai puncak. Tapi mereka hanya butuh 2 jam 30 menit..!!!
Ketakjubanku semakin menjadi saat pukul 14.00 rombongan pendaki Jepang itu turun dari puncak. Artinya, mereka hanya membutuhkan waktu 6 jam untuk pergi ke puncak Cikuray PP. Aku tidak tahu dengkul racing macam apa yang mereka gunakan. Tapi jika ada yang jual, aku ingin juga memilikinya.
Perjalanan kami belum usai. Setelah turun ke Patrol, kami pun menyempatkan mampir ke Pondok Pesantren Darul Arqom yang tak jauh dari kaki Cikuray. Rupanya, Hamdi yang berambut gondrong sebahu itu merupakan anak seorang ustadzah. Kami membersihkan diri dan makan malam di rumah Hamdi. Jamuan malam itu sungguh menggugah selera.
Di terminal Garut, aku berpisah dengan Eko dan Barkah yang langsung ke Kp. Rambutan. Aku harus ke Cileunyi dulu untuk mengejar bis jurusan Lebak Bulus. Sungguh, naik mobil elf dari Garut ke Cileunyi menjadi pengalaman buruk. Sang sopir terus saja memaksa memasukkan penumpang meski sudah melebihi kapasitas. Selama dua jam, kedua kakiku mati rasa karena terjepit tak bisa dikeluarkan.
Sekitar pukul 01.00 aku kembali ke Jakarta. Menghirup polusi udara khas ibukota dan akan menjalani rutinitas yang itu-itu saja. 2 hari di Cikuray mengajarkanku banyak hal. Perjuangan, kesabaran, keindahan dan tentu saja persahabatan. Bravo pendakian Indonesia..!!!