Kamis, 25 Oktober 2012

Band atau Boyband??...


Pernahkah kamu menghitung berapa jumlah boyband/girlband yang ada di Indonesia? Belum lagi boyband/girlband asal Korea atau pun Jepang yang turut mencari penggemar di Indonesia? Sudahlah tak perlu dijawab. Karena ini hanya pertanyaan retoris. Saya hanya ingin menegaskan bahwa demam boyband/girlband memang sedang nge-hits di kalangan remaja kita.

Tentu tak ada yang salah. Sebab setiap orang memiliki selera musik yang berbeda-beda. Sama seperti kita tidak bisa memaksa orang untuk memakan makanan yang tidak disukainya.

Pada awalnya, saya cuek saja dengan perkembangan ini. Tapi lama kelamaan saya terusik juga saat orang-orang terdekat saya juga tenggelam dalam euphoria ini. Dengan semangat ke-kepo-an yang tinggi, saya mulai mencari dan mendengarkan seperti apa sih selera boyband/girlband orang-orang terdekat saya. Terutama pasca konser Big Bang yang gaungnya masih saja terasa sampai sekarang.

Saya mulai bergerilya mendengarkan dan menonton video-video boyband yang katanya keren itu. Hasilnya,,saya tetap tak bisa menikmati musik dan aksi mereka. Saya juga merasa aneh, Karna saya bukan termasuk orang yang anti terhadap satu jenis musik. Anehnya, berkali-kali saya memaksakan menonton dan mendengarkan musik boyband/girlband itu, saya tetap tidak terbius sebagaimana kawan-kawan saya lainya.

Nah,,malam ini saya baru dapat jawaban saat saya bernostalgia mendengarkan lagu-lagu Gun n Roses. Ditengah lengkingan Axl Rose yang menyayat-nyayat, saat itulah saya menyadari bahwa sebuah boyband/girlband tetap tidak bisa menawarkan apa yang diberikan oleh band. Apa itu?... Buat saya, sebuah “band” lebih dinamis karna mereka sendiri lah yang mengaransemen musikalitas mereka. Mereka sendirilah yang “memberi nyawa” pada setiap petikan gitar & melodi. Mereka sendirilah yang “menghidupkan” musik lewat tabuhan drum. Ya..GnR besar bukan hanya karna suara si Axl Rose tapi juga petikan gitar Slash yang bahkan bisa membuat kita merinding.

Itulah yang menurut saya tidak bisa ditawarkan oleh boyband/girlband. Mereka datang dengan tampang, koreografi serta suara yang terkadang pas-pasan. Memang harus diakui, ada beberapa boyband yang memiliki kualitas suara cukup unik, tapi tetap musikalitas yang mereka tawarkan masih terasa hambar.

Silahkan tanya pada penggemar Dream Theather, seperti apa rasanya saat sang drummer Mike Portnoy memutuskan hengkang dari grup ini. Karna bagi penikmat musik, bukan hanya suara si vokalis yang bisa menyihir penggemar, tapi juga karakter gitaris, melodis, drummer atau bahkan keybordis yang memberikan warna tersendiri.

Jadi wajar saja, saat menyaksikan beberapa orang yang “hanya” bernyanyi dan berkoreografi dengan kostum serba glamour, tidak ada feel yang yang bisa saya rasakan.

Saya sendiri sebagai penggemar Avenged Sevenfold, bukan suara serak si Matt Shadow yang pertama kali membius saya. Tapi justru lengkingan gitar Synyster Gates dan pukulan drum The Rev lah yang pertamakali membuat saya terpincut.

Syns,,,salah satu gitaris paporit sayah..

Nah,,,bagaimana selera musik kamu? Apakah kamu termasuk penikmat musik seperti saya yang lebih menikmati musik secara komprehensif? Atau seperti mereka yang lebih menikmati wajah, koreografi serta fashion boyband semata?

Tidak ada yang salah karena musik adalah soal selera bukan hitungan matematis. Semua benar karena musik ada di telinga dan kepala yang terkadang tidak bisa hanya memakai logika..!




Minggu, 23 September 2012

Roma Dalam Rentang 1000 Tahun




Saya baru aja khatam baca baku yang awalnya males banget untuk mulai membuka covernya. 700 halaman cing. Sementara kerjaan lainya lagi numpuk banget. Tapi akhirnya dengan keteguhan hati, (ini serius ya..) saya akhirnya memberanikan diri untuk mulai membaca halaman demi halaman dari itu buku.

Emang buku apaan sih? Kok sampe segitunya. Sebenarnya ini buku lumayan menarik kalo dari cover dan judulnya. “Roma : Kisah Epik Dari Zaman Romawi Kuno” karanganya Steven Saylor. Siapa sih yang gak tau Roma? Bukan Roma si raja dangdut ya. Tapi Roma sebagai negara republik abad sebelum masehi.

Mungkin nama-nama seperti Romus dan Romulus si kembar pendiri Kota Roma, ataupun Julius Ceasar dan anak angkatnya Ceasar Augustus si pendiri kekaisaran Romawi udah sering kita dengar. Tapi di buku luar biasa ini, Steven Saylor datang bercerita dengan nama-nama baru yang asing tapi memegang peranan penting.

Yang saya suka dari buku ini, bukan cuma isinya yang berbobot abis tapi juga teknik penulisanya yang bikin geleng-geleng kepala. Bayangin aja, sejarah Romawi yang njlimet dengan berbagai intrik politik, tradisi pemujaan kuno, dewa-dewa sesembahan yang bejibun diramu jadi sebuah novel yang enak dibaca, nyenengin dan gak bikin pusing.hehe

Jadi itulah yang bikin saya nagih pas mulai baca lembar-lembar pertama novel ini. Kok seru ya? Kirain ini buku sejarah yang isinya berserakan tahun dan tanggal serta analisis musingin dari penulisnya. Tapi ternyata enggak. Boleh dibilang ini novel seutuhnya. Cara si Saylor meramu cerita yang saling terkait, bagaimana dia membangun emosi dan karakter tokohnya, pokoknya saya gak ragu untuk bilang WOW..!

Cara dia bercerita juga gak menggunakan sudut pandang tokoh utama dari Republik Roma. Dia pake sudut pandang masyarakat umum (meskipun masih terhitung bangsawan sih). Justru karena itulah cerita ini gak melulu soal kejayaan Roma. Tapi juga gimana arus gejolak di bawah, intrik politik yang beredar, perspektif masyarakat umum, Gitu,,.

Menjahit fakta-fakta sejarah Romawi kuno menjadi sebuah cerita jelas gak gampang. Bukan cuma terpaut jarak waktu yang udah lebih dari 3000 tahun, fakta-fakta ini kadang tertukar dengan legenda dan kepercayaan setempat. Kayak misalnya legenda kalau si kembar Romus dan Romulus katanya sempet diasuh sama srigala. Ternyata saya baru tahu kalo kata “srigala liar” itu kosakata yang dipake zaman dulu untuk mengibaratkan kata “pelacur”. Jadi ternyata si kembar itu diasuh oleh pelacur, bukan srigala.

Patung si kembar Romus & Romulus lagi disusuin srigala

Trus banyak juga yang bilang asal kata Roma itu dari nama si kembar Romus dan Romulus. Tapi ternyata, nama Roma berasal dari kontur wilayah awal saat itu. Dulu wilayah awal Roma ada di tepi sungai Tiber dengan komoditas utama adalah garam. Nah,,di tepi sungai itu ada 7 bukit yang disebut sevenhills. Karena wilayahnya perbukitan, orang-orang yang mendiami wilayah itu menyebutnya “Ruma” yang artinya payudara perempuan atau puting susu sapi. Iseng banget ya orang dulu menyamakan satu kontur bumi dengan bagian tubuh manusia. Hehe.. Itu sekitar tahun 850 Sebelum Masehi (SM) lho. Si kembar Romus dan Romulus mah belom lahir.

Oke,,teknik penulisanya yang berupa novel ini emang jurus yang sangat jitu. Trus apa yang bisa kita pelajari dari sejarah Romawi sendiri? Hmm,,,apa ya. Kayaknya kalo harus dipelajari disini banyak banget.hehehe,,jadi yang penting-penting aja deh.

Pertama dari segi kebudayaan dan religiusitas, bangsa Romawi ternyata bangsa yang majemuk dan terbuka. Dewa-dewa yang disembah kebanyakan impor dari Yunani dan Mesir. Maklum, cikal bakal bangsa Romawi yang mendiami jalur garam di tepi sungai Tiber, itu sekitar 1000 tahun SM. Tahun itu, Piramida Ghiza di Mesir umurnya udah lebih dari 1500 tahun. Penyerangan Yunani ke Troya (inget pilem Troy kan yang dibintangi Brad Pitt) udah 300 tahun lalu. Di Timur, bangsa Arya sedang mulai membangun kerajaan Media dan Parsa yang jadi cikal bakal kekaisaran Persia. Jadi,,bangsa Romawi emang termasuk bangsa muda saat itu. Ckckckc,,apa kabar Nusantara ya?

Dan menurut legenda, nenek moyang bangsa Romawi emang seorang pasukan Troy yang lari ke tepi sungai Tiber saat pengepungan itu. Makanya kalo dari sesembahan, bangsa Romawi banyak dipengaruhi kebudayaan dari bangsa-bangsa yang lebih tua. Dewa tertinggi di Roma misalnya, adalah Jupiter yang mitologinya nyomot dari Yunani. Trus altar persembahan pertama yang dibangun di Roma adalah Ara Maxima, buat menghormati penggembala kuat yang kebetulan lewat dan berhasil membunuh Cacus, seorang manusia yang penampakannya kayak monster. Cacus ini pada awalnya sangat meresahkan warga Roma karena suka makan daging ternak dan bahkan daging orang. Nah,,yang bisa ngalahin si Cacus ini cuma si penggembala.

Siapa sih si penggembala ini? Karena gak ada yang tau siapa si penggembala kuat ini. Akhirnya orang-orang Phoenician (ini gue gak tau dulu daerah mana), yang jadi mitra dagang orang Roma bilang kalo penggembala kuat ini pastilah Melkart. Orang-orang Yunani menyebutnya Heracles, keturunan manusia setengah dewa (kayak lagu bang Iwan yak). Nah,,si Heracles atau Hercules yang lebih dulu dikenal di Yunani itulah yang pertama disembah di Roma.

Tapi bukan berarti orang Roma gak punya kepercayaan kuno sendiri sih. Soalnya, di novel ini diceritain kalo ada sesembahan paling tua yang disebut Fascinum. Fascinum ini bentuknya semacam kalung yang terbuat dari emas. Kalung yang dijadikan jimat ini diwariskan secara turun temurun selama 1000 tahun dalam satu silsilah keluarga paling kuno di Roma. Keluarga Potitii. Keluarga inilah keluarga yang dekat dengan sejarah Roma itu sendiri.

Trus kalo dari segi politik gimana? Nah ini yang ribet. Dalam masa 700 tahun sebelum si Ceasar Augustus jadi kaisar, Roma berbentuk republik. Kekuasaan negri ini dipegang oleh senat yang saling berebutan satu sama lain. Karena saling sama kuat, intrik-intrik politik sering terjadi. Tragedi Grachi bersaudara yang menurut saya paling tragis. Bayangin, mereka berdua mau mensejahterakan rakyat dengan melindungi para petani dari para tuan tanah dan lintah darat eh,,malah dikira mau jadi raja dan dibunuh dengan sadis. Padahal kalo mau ditelusuri, konsep awal reforma agrarian yang digagas Bung Karno dan Aidit mulai dirintis sama si grachi bersaudara. Tahun 150-an SM udah mikirin reforma agraria,,ajib gak tuh.!!

Wah,,kalo diceritain semua sih kayaknya bisa bikin buku lagi nih.hehe. Intinya mah,,Roma tetep jadi imperium yang sarat banget ilmu. Kita bisa belajar banyak dari buku ini. Well,,kalo kata The New York Time, “Saylor memberikan begitu banyak detail dan kehidupan yang bergolak ke dalam adegan-adegannya sehingga sensasi bersentuhan dengan kekunoaan menjadi luar biasa”. Absloutely right..!!



Jumat, 25 Mei 2012

Candu Mahameru (Bagian II : Habis)




Ranu Kumbolo – Kali Mati

Misty morning. Itulah kesan pertama saya saat keluar dari tenda. Dedaunan masih terlihat basah di peluk embun. Cahaya mentari pagi belum sempurna menyinari bumi. Asap-asap tipis terlihat mengepul di perairan ranu. Hawa dingin yang menyergap tak membuat orang-orang menghentikan aktivitasnya pagi itu. Mulai dari sekedar memasak air, berfoto ria hingga jalan-jalan santai mengelilingi ranu. Tentu saja, orang macam apa yang mau melewatkan pagi sesempurna ini?



Ranu Kumbolo memang istimewa. Tak banyak danau di ketinggaian yang memiliki panorama alam secantik ini. Danau atau ranu dalam bahasa setempat ini memiliki luas sekitar 14 ha. Di beberapa tempat, beberapa orang terlihat duduk di tepian menunggu pancingnya dimakan ikan. Memancing saja sudah menjadi kegiatan yang menyenangkan, apalagi memancing di  Ranu Kumbolo. Saya membayangkan jika ada bebek-bebekan tentu lebih semarak.



Meski tak sempat menikmat kelahiran matahari pagi ini, rasanya eksotisnya Ranu Kumbolo sudah menyihir kami. Ada-ada saja kelakuan orang di tempat seperti ini. Ada yang memilih berenang di tengah airnya yang dingin, ada juga yang bermain rakit dengan menggunakan kasur angin. Weleh,,seru sekali. Saat iseng-iseng berkeliling, saya sempat mampir ke tenda para pendaki dari Malang yang membawa gas 3 kg,,!! Ini buktinya..



Setelah menikmati sarapan hasil karya chef terkenal Farah Quin, kami pun segera mengemasi barang-barang. Sekitar pukul 10.30 WIB, saya dan beberapa kawan memutuskan berangkat duluan untuk survey lokasi di Kalimati. Saat melewati tanjakan cinta, saya hampir saja termakan mitos untuk tidak menengok ke belakang. Untung saja akal sehat saya mengingatkan agar jangan melewatkan pemandangan indah di belakang sana..





Dengan nafas yang hampir putus, saya akhirnya berhasil melewati tanjakan cinta itu buta. Dari sini, saya bersama tim dari Semarang yang berjumlah 7 orang langsung meneruskan perjalanan. Karena iseng belaka, kami pun tidak melewati jalur biasa Oro-Oro Ombo yang melipir ke kiri. Kami justru memotong jalur turun terjal yang langsung mengarah ke tengah savana luas.



Kami harus melewati ilalang setinggi dada untuk sampai di pintu Cemoro Kandang. Kembang-kembang berwarna ungu menjadi penyegar di tengah teriknya bola matahari. Sepanjang perjalanan, kami selalu bertemu dengan para pendaki. Saat itu, areal Semeru lebih ramai dari komplek perumahan tempat tinggal saya.




Lepas dari Oro-Oro Ombo, kami memasuki hutan pinus yang sering di sebut Cemoro Kandang. Dari sini, jalur mulai agak menanjak. Dengan semangat 28 (sumpah pemuda 1928 maksudnya), kami meneruskan perjalanan. Lagi-lagi Semeru memberikan kejutanya. Sebelum sampai di Jambangan, kami di suguhi hamparan bunga-bunga kuning dengan latar pohon-pohon kering. Jangan bertanya bagaimana keindahannya,, saya saja yang pemalu tiba-tiba menjadi narsis seketika.!!



Di Jambangan, sekumpulan edelweiss hijau menyambut kami. Meski belum berbunga, edelweiss tetap saja bunga yang penuh misteri. Saat menengadahkan ke langit, keperkasaan Mahameru menantang kami. Gundukan pasir itu terlihat gagah, angkuh dan sulit ditaklukan. Dari bawah sini, tak terbayangkan seperti apa perjuangan yang harus kami lakukan malam nanti.


Dari sini saya ngacir sendirian ke Kalimati yang tinggal beberapa ratus meter lagi. Di tengah jalan saya bertemu dengan mas porter yang jalannya seperti berlari. Meski membawa beban berat, porter-nya mbak Rika ini begitu gesit melangkahkan kaki. Salut lah buat porter dimanapun anda berada.


 Kami tiba di Kalimati sekitar pukul 13.00. Setelah 2 ½ jam berjalan, rasa kantuk begitu mendera. Kabut di Kalimati memberikan efek yang luar biasa. Sepintas saya teringat kenangan di Surya Kencana beberapa tahun lalu. Saat itu kami sempat kebingungan mendirikan tenda. Dengan saran dari mas porter, kami pun beristirahat di shelter yang terbuat dari seng di tengah-tengah Kalimati.


Dengan logistik yang terbatas karena tertinggal di tim belakang, kamipun hanya memilih tidur di savanna yang luas itu. Angin yang berhembus kencang tak menyurutkan langkah kami untuk menggelar matras dan memejamkan mata. Hua,,,tidur di padang savanna adalah pengalaman berharga yang tak akan pernah bisa terlupakan.

Sekitar pukul 15.00, rombongan pak dokter Herry dkk pun tiba. Akhirnya bisa makan juga. Sebelum memasak, kami harus mengambil air yang terletak di Sumber Mani. Sebenarnya adalah tugas porter yang mengambil air, tapi karena naluri jalan-jalan saya tak tertahankan, saya dan Rizki memilih menemani sang porter menuju sumber kehidupan disini.

Walah,,,rupanya jalur ke Sumber Mani cukup jauh. Kami harus naik turun trek untuk mencapai ke sumber air tersebut. Di tengah jalan, kami bertemu dengan mbak Rini yang seperti induk kehilangan anaknya (pribahasa sebenarnya anak kehilangan induknya, tapi karena subjeknya mbak Rini jadi sebaliknya..:p). Rupanya mbak Rini tidak bisa menemukan tenda kami meski sudah keliling Kalimati. Ckckck,,,kasihan ya. Padahal masih muda lho,:p

Rombongan terakhir tiba diiringi rintik hujan ketika senja sudah hampir habis. Karena satu hal dan hal lain, kami tidak bisa menyatukan rombongan besar ini dalam satu areal. Alhasil, kami pun terbagi menjadi 2 rombongan yang saling berjauhan. Saat malam tiba, saya dan 2 kawan dari Semarang mendapat tugas untuk kembali ke Sumbermani mengambil air. Di tengah malam yang dingin itulah kami bertiga harus mengangkut air ber liter-liter melewati jalur Sumbermani yang tak menyenangkan.

Kalimati – Mahameru (Menuju Puncak)

Dengan perbedaan waktu kedatangan ke Kalimati, waktu summit attack pun menjadi berbeda pula. Tim pertama termasuk saya memutuskan untuk berangkat lebih awal sekitar pukul 22.00. Sementara tim ke-2 memutuskan untuk berangkat sekitar pukul 00.00.

Meski baru tidur pukul 21.00 akibat menjalankan tugas sebagai tim pengangkut air, saya harus tetap bangun pukul 22.00. Rasa kantuk dan lelah menjadi godaan summit attack kami. Malam itu, ditengah gulita malam dan angin yang berputar kami saling menguatkan melawan tantangan apapun. Saat seperti ini seharusnya kami tidur di rumah kami yang hangat sambil menonton tv. Ah,,,mendaki gunung memang tak pernah mudah.

Tim pertama yang berjumlah 16 orang bergerak di bawah komando bang Bintang. Karena kami orang Indonesia, maka perjalanan baru benar-benar di mulai sekitar pukul 23.00. Dalam rombongan termasuk 3 orang kaum hawa perkasa yang terus berjuang melangkahkan kaki. Sampai di Arcopodo perjalanan masih lancar jaya. Kami termasuk tim-tim awal yang bergerak ke puncak malam itu.

Tantangan awal dimulai ketika kami memasuki trek berpasir. Beberapa in memoriam menghadang kami dan mengingatkan betapa gunung ini akan menguji siapa saja yang berani mengunjunginya. Dari beberapa kali pendakian, baru kali ini saya merasakan ancaman yang begitu kuat dari alam sekitar. Hal inilah yang semakin memacu saya untuk meningkatkan fisik mental dan keahlian dalam pendakian.


Untung saja malam itu Tuhan memberikan cuaca terbaiknya. Bintang gemintang seolah berlomba pamer di langit. Bintang itu begitu dekat, seakan kita bisa memetik dan menjadikannya oleh-oleh untuk orang terkasih. Dengan cuaca yang bersahabat,, bukan berarti angin bersahabat pula. Sejak tadi udara terasa bergerak kencang mengelilingi kami. Saya tidak tahu berapa celcius suhu saat itu. Yang jelas,,saya merasa seperti sedang berjalan dalam kulkas. Brrr,,brrr.

Jika sejak awal pendakian saya selalu menjadi tim depan, kali ini saya memilih menjadi sweaper menemani Naufal, seorang kawan dari Semarang yang salah kostum dengan mengenakan sepatu converse. Licin sudah pasti, tapi semangatnya itulah yang paling mengkhawatirkan. Memakai sepatu gunung saja susahnya minta ampun, apalagi sepatu Converse model begini.

Alhasil, sisa perjalanan saya habiskan untuk menemaninya. Entah beberapa kali kami harus tergelincir di medan pasirnya. Mahameru memang bukan gunung sembarangan. Butuh fisik, mental dan persiapan yang mumpuni untuk merengkuh puncaknya.

Malam semakin larut. Waktu terasa berjalan begitu cepat, tapi tidak dengan langkah kami. Berjalan di atas pasir dengan kemiringan ekstrim dimalam hari, dingin pula membuat kami sering beristirahat. Di bawah sama ratusan pendaki terlihat tetap semangat mengayunkan langkah. Mahameru malam itu memang begitu ramai. Atriannya bahkan mengalahi antrian BLT di kampung-kampung. Kerlap-kerlip ratusan senter menyuguhkan sensasi tersendiri.

Saat mentari menampakkan batang hidungnya, kami masih saja berkutat dengan sulitnya trek pasir dan kerikil. Panorama yang gelap perlahan berganti dengan sinar terang sang surya. Ah,,,indah sekali. Saat itulah saya harus mengambil keputusan sulit. 


Puncak Mahameru memang memiliki keunikan tersendiri. Di puncak ini, gas beracun dari kawah Jongring Saloka akan bertiup ke arah puncak jika hari sudah mulai siang. Tak heran, jika batas akhir menetap di puncak sekitar pukul 09.00-10.00. Lewat dari jam itu, gas beracun akan mengancam siapa saja yang masih di puncak.


Dengan kondisi seperti itu, saya agak bimbang untuk terus menemani Naufal. Jika terus begini bisa dipastikan saya akan terlambat dan tidak akan mencapai puncak. Akhirnya dengan berat hati saya harus meninggalkannya yang memang sejak awal sudah kehabisan semangat. 


Tanpa beban saya pun terus memaksa tubuh ini terus berjalan. Dengan tenaga tersisa, saya dan beberapa kawan saling bahu membahu menuju puncak. Akhirnya tepat pukul 07.30 WIB Mahameru pun memilih kami untuk bisa menginjak puncaknya. 


Rasa senang, bahagia, haru dan bangga menjadi satu di atas sana. Titik tertinggi di tanah Jawa telah kami capai. Ia mengajarkan kami betapa semangat dan kebersamaan akan mengalahkan apapun. Doa dan keyakinan kami telah membuahkan hasil. Di puncak ini, kita semua adalah saudara kawan.




Perjalanan turun dari puncak terasa lebih menyenangkan. Meski beberapa anggota tim tidak bisa mencapai puncak, kebersamaan tetap menjadi oleh-oleh paling di nanti. Apalah artinya sebuah puncak jika dibandingkan dengan persahabatan yang kekal abadi?


Hari itu juga kami memutuskan untuk turun. Kami tiba kembali di Ranu Kumbolo sekitar pukul 20.00. Setelah makan malam seadanya, tim memutuskan untuk terus berjalan dengan target menuju Ranu Pani. Dalam perjalanan turun inilah saya merasa begitu lelah. Rasa kantuk menyerang sepanjang perjalanan. Setiap beristirahat, kami menyempatkan untuk tidur. Alhasil sekitar pukul 02.00 kami baru sampai di Ranu Pani.

Paginya setelah tim lengkap, kami pun segera meluncur ke Tumpang. Kami pulang membawa sejuta kenangan. Mahameru telah menjadi kawan, guru serta panutan untuk menjalani sisa hidup ini. Entahlah,,jika di akhirat nanti ada puncak gunung sedahsyat ini, mungkin saya akan membentuk tim untuk kembali mendakinya. Bravo pendakian Indonesia.


   

Kamis, 24 Mei 2012

Candu Mahameru (Bagian I)



Sudah beberapa hari sejak saya kembali dari tempat itu. Tapi keindahannya masih saja menghantui. Masih terekam jelas di retina mata saya jernihnya Ranu Kumbolo. Tubuh ini tak berhenti menggigil jika ingat sapaan hangat mentari di pagi itu. Kabut di Kalimati. Bekunya Arcopodo. Dingin yang mengepung. Pasir yang bergulung. Hingga akhirnya puncak dari segala puncak di tanah Jawa. Ya,,Mahameru laksana candu.

Bagi saya, Mahameru adalah mimpi, impian, igauan, harapan, khayalan serta fantasi. Beberapa kali tak berjodoh, Tuhan akhirnya mau berbaik hati memberikan kado terindah di bulan jadi saya ke-22.  Tak tanggung-tanggung, cuaca cerah mengiringi perjalanan kami menuju 3676 mdpl.

Nyatanya, perjuangan untuk mencapai Puncak Mahameru harus di mulai sejak dari rencana. Beberapa kawan harus merelakan diri mengantri semalaman di Stasiun Senen demi mendapat tiket Matarmaja. Salut & terimakasih buat kawan-kawan yang sudah mengantri, meski pada akhirnya untuk tiket pulang harus melalui tangan calo.

16 Mei 2012. Siang itu Stasiun Senen dipenuhi beragam jenis manusia. Di berbagai sudut, para pendaki dengan ransel besar khasnya saling bercengkrama di tengah riuh rendah lautan manusia. Saya yang agak terlambat datang sempat kebingungan mencari rombongan. Libur panjang ini rupanya membuat setiap orang mempunyai hajat keluar dari tempat persembunyianya yang nyaman.

Sekitar pukul 14.00, kereta Matarmaja yang kami tumpangi mulai berjalan. Ransel-ransel besar terlihat memenuhi kereta. Rasanya, puncak-puncak gunung di Jawa akan kedatangan tamu berlimpah akhir pekan ini.

Perjalanan ini sebenarnya bermula dari ajakan mbak Anggi Kartikawati, sesepuh di grup Komunitas Pecinta Alam Warna-Warni (KPAWW). Sebagai seorang nubie sejati, saya pun memberanikan diri bergabung dengan para sesepuh demi mencumbu debu Mahameru.

Singkat cerita, kami tiba di Malang keesokan harinya. Tim bergerak dalam rombongan besar setelah bergabung dengan para pendaki yang mempunyai minat sama. Tak kurang dari 40 orang bergerak di bawah komando mbak Anggi dkk.

Matahari tepat di atas kepala saat kami tiba di Pasar Tumpang. Di Tumpang, kami menunggu Jeep dengan bosan. Ramainya pendaki membuat mobil 4WD ini menjadi barang langka. Beruntung, saya mendapat kesempatan naik Jeep pertama ke Ranu Pani.

Tumpang – Ranu Pani



Perjalanan Tumpang-Ranu Pani menjadi daya tarik tersendiri di areal Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Betapa tidak, sepanjang perjalanan kita disuguhi bentang alam yang menakjubkan. Kelokan tajam dipadu dengan dengan hijaunya flora di kiri dan kanan jalan membuat perjalanan 2 jam terasa menyenangkan. Meski kaki harus menahan beban dan perut serasa di kocok, jernihnya udara tak akan pernah bisa terlupakan.

Di Penanjakan, kami berhenti sejenak. Di bawah sana, bukit Teletubbies yang merupakan jalur ke Gunung Bromo terhampar luas. Sulit menggambarkannya dengan kata-kata. Hijaunya rerumputan laksana permadani yang dihamparkan begitu saja. Ingin rasanya turun dan berlari menikmari lembutnya desau angin serta gemulainya rumput yang bergoyang.




Sekitar pukul 15.00, kami tiba di Ranu Pani. Ini merupakan desa terakhir sekaligus base camp pendakian Semeru. Sambil menunggu rombongan yang belum datang, saya menyempatkan berkeliling menikmati suasana danau di ketinggian 2200 mdpl. Dan inilah hasilnya,,




Ranu Pani-Ranu Kumbolo

Dengan jumlah rombongan yang cukup besar serta ramainya pendakian Semeru, maka diputuskan harus ada tim kebut untuk mengkavling lapak di Ranu Kumbolo. Kebetulan saya masuk tim pertama yang berjumlah 7 orang tersebut. Kami berangkat sekitar pukul 17.30 WIB.

Medan awal menuju Ranu Kumbolo kita harus menyusuri jalan aspal lalu berbelok ke arah perladangan penduduk. Lembayung senja mengiringi langkah kami menuju areal hutan. Mahameru sempat menampakkan kepala pasirnya sebelum akhirnya tertutup kabut.

Trek awal sebenarnya tidak terlalu sulit. Jalurnya tergolong landai untuk ukuran sebuah gunung. Tanjakannya pun tidak terlalu ekstrim jika dibandingkan dengan gunung-gunung di Jawa Barat. Dengan langkah pasti, tim kami terus berjalan tanpa kenal lelah. Saya yang di belakang hanya bisa mengekor langkah-langkah cepat para pemilik dengkul racing di depan.

Di pos I kami baru mengambil nafas. Sejauh ini perjalanan kami tergolong lancar jaya. Tak ingin di sergap dingin, kami langsung mengambil langkah seribu. Perjalanan kali ini memang luar biasa. Komandan di depan sepertinya sangat terobsesi ngopi di Ranu Kumbolo hingga mengabaikan waktu istirahat lama-lama. Tak heran, dalam waktu 3 jam kami sudah tiba di Ranu Kumbolo.



Malam itu Ranu Kumbolo terlihat seperti barak pengungsian. Jangankan di sisi barat yang merupakan spot favorit mendirikan tenda. Di sisi utara pun puluhan tenda warna-warni sudah berdiri. Untung saja kami tidak terlalu kesulitan menemukan lapak untuk mendirikan tenda.

Kopi menjadi prioritas kami. Danau di ketinggian 2400 mdpl ini memberikan udara yang dingin menusuk tulang. Sambil menunggu rombongan yang lain, kami mendirikan tenda sambil memasak. Satu persatu rombongan berdatangan. Mata yang sudah tinggal 5 watt ditambah hawa dingin menggoda kami untuk segera membenamkan diri dalam hangatnya tenda. Namun, rombongan akhwat-akhwat yang dibelakang belum jua datang. Dengan rasa kantuk yang mendera, kami pun menghabiskan waktu dengan memasak guna memastikan saat tim belakang tiba, makanan sudah siap sedia.

Sekitar pukul 01.00, rombongan akhwat-akhwat akhirnya tiba juga. Dengan kelelahan, mereka segera menyantap masakan seadanya yang kami buat. Kami yang sejak jam 20.30 sudah dihantam angin dingin ranu rasanya tak tahan lagi. Sekitar pukul 01.30 saya pun merangsek ke tenda. Merapatkan jaket, masuk ke sleeping bag dan akhirnya di buai mimpi ke peraduan.

Rabu, 04 April 2012

Curhatan Iseng Soal Demonstrasi Mahasiswa

Pemandangan di Jakarta pekan ini rasanya agak berbeda dengan pekan lalu. Gak keliatan lagi tuh ribuan orang turun ke jalan. Demo mahasiswa juga gak seramai sebelum 1 April. Wajar saja, kan BBM blom jadi naek. Tapi yang menarik, orang-orang masih ngomongin demonstrasi tersebut. Ada yang ngomongin kekerasan terhadap jurnalis ataupun infrastuktur yang rusak. Tapi semuanya bermuara ke satu problema. Ricuhnya demonstrasi mahasiswa.
Saya jadi iseng berpikir, seandainya demo seminggu kemarin berlangsung damai tanpa kericuhan, apa iya pemerintah tetep batal menaikkan BBM? Apakah kalau demo kemarin gak terjadi bentrok, aktor-aktor di DPR itu tetap akan berteriak “ketua, ketua”, sambil gaya dikit karna tau ada kamera tv? Saya pikir kecil kemungkinannya.
Saya bukan pro kekerasan ya,,ini pikiran iseng saya aja. Tapi kalo kita mau jujur, kayaknya emang begitu kenyataannya.
Waktu lagi panas-panasnya demo, banyak kawan-kawan di FB yang update status “Ngapain sih tuh mahasiswa pada demo, kurang kerjaan aja”. Atau ada juga yang bilang “Mahasiswa kok demonya sampe rusuh gitu sih, semangat amat”. Dan status-status lain yang intinya menyudutkan mahasiswa. Emang gak ada yang salah. Tapi saya cuma mau ngajak berfikir terbalik aja.
Begini. Seandainya gak ada wacana dari pemerintah untuk menaikkan BBM, apakah mahasiswa akan tetep demo menuntut dibatalkanya kenaikan BBM? Kalo pemerintah dari awal gak ada rencana nyabut subsidi, yakin ada mahasiswa yang tereak-tereak di Istana nuntut pemerintah gak usah nyabut subsidi? Saya pikir gak ada. Kalopun ada kemungkinannya cuma 2, bodoh atau agak gila. Ngapain ngedemo rencana yang blom disusun???
Jadi mahasiswa emang serba salah. Pas lagi demo apalagi sampe rusuh, orang-orang ngeluh karena bikin macet lah, ganggu ketertiban umum lah. Tapi kalo tuntutannya terpenuhi kayak sekarang, semuanya tereak-tereak kegirangan. Tapi gak apa-apa. Emang gitu kodrat jadi mahasiswa. Sejarah bangsa ini emang gak terlepas dari peranan mahasiswa.
Lebih aneh lagi kalo pemerintah tereak-tereak bahwa demonstrasi mahasiswa ditunggangi dan disusupi. Ini lucu. Buat saya, asalkan tuntutannya sama bodo amat ditunggangi. Toh kenyataannya mahasiswa lah yang menunggangi mereka. Fair-fair-an aja, duit dari mana mahasiswa buat nyewa metromini dan keperluan demonstrasi lainnya?? Ya menunggangi mereka yang berduit lah. Asal gak mengintervensi sah-sah aja kan. Kecuali kalo pas demo mereka nyebut-nyebut nama donator kayak kampanye, itu lain cerita.
Ini aliansi taktis saja. Simbiosis mutualisme. Dan iklim politik kita justru mewajarkan hal itu. Coba liat berapa banyak politisi di pemerintahan atau DPR yang melakukan aliansi taktis kayak gini? Gak usahlah kita sebut nama nanti malu sendiri mereka. Nah, sekarang giliran mahasiswa yang bikin aliansi taktis mereka tereak-tereak. Kan lucu. Maling teriak maling istilahnya.
Nah,,kalo saya ditanya dukung mana? Jelas donk saya dukung dibatalkannya kenaikan BBM. Mau itu mahasiswa kek, buruh, petani, politisi, atau jin tomang sekalipun kalo tuntutannya sama ya saya dukung. Soal beda kepentingan itu beda cerita. Kata Tzun Shu (eh,,bener gak sih tulisannya gini?), manfaatkan kekuatan lawan untuk meraih kemenangan. Nah,,asal BBM gak jadi turun menggalang jaringan seluas-luasnya tentu bukan masalah.
Tapi perjuangan saya untuk sampai kesimpulan itu gak gampang lho. Saya harus baca jutaan huruf dari berbagai literatur untuk yakin kalo pencabutan subsidi bukan hal yang tepat. Semakin lama saya baca, lihat dan mendengar, saya semakin yakin kalo BBM emang gak perlu naik.
Saya sih gak mau ngomongin soal BBM disini. Soalnya panjang banget. BBM gak bisa dilihat dari satu sudut. Jalinannya kusut mulai dari UUD 1945, krisis Selat Hormuz di Timur Tengah, spekulasi di NYMEX, UU Migas dan UU Penanaman Modal Asing, penguasaan industri minyak nasional di hulu dan hilir oleh asing sampai teori abiotic oil.
Saya cuma pengen bilang, semua mahasiswa yang demo harus baca, mengkaji dan diskusi soal minyak ini. Biar bener-bener yakin dengan tuntutannya. Kalo gak ya bahaya. Kalo ada yang nanya kenapa BBM gak boleh naek malah kelabakan jadi berabe kan. Kalo udah yakin, barulah demo. Jadi mau panas-panasan kek, digebukin polisi kek atau sampai ketangkep ya enjoy aja.
Dengan dibatalkannya kenaikan BBM, bukan berarti kita bisa bernafas lega lho. Pasa 7 Ayat 6a UU APBN masih jadi sandungan. Kalo selama 6 bulan ini ICP nyampe 120 pemerintah punya hak buat naekin BBM. Dan kalo dilihat dari situasi di Timur Tengah, kayaknya sih masih bakal naek ya minyak dunia.
Oia,,kemaren saya baca berita yang bikin saya gak ngerti. Karena gak tahan pengen curhat, jadi sekalian aja lah saya tulis disini.Jadi gini, kita udah tau donk kalo kita ini defisit BBM. Per hari kita cuma bisa produksi 800-900 ribu barel. Sedangkan konsumsi kita nyame 1,3 juta per barel. Nah,,lagi iseng-iseng melongok ke website Badan Pusat Statistik (BPS) saya liat berita aneh. BPS merilis ekspor Migas kita bulan Februari 2012 sekitar $ 3.305 juta. Sedangkan ekspor minyak mentah kita mencapai $ 1.167,2 juta. Nah kalo ekspor hasil minyak sekitar $ 209 juta. Kita kan kekurangan yah,,tapi kenapa masih bisa ekspor.
Anak SD juga tau kali, kalo dia punya buku 3 dan emang segitu kebutuhannya, gak bakal deh tuh buku dipinjemin atau bahkan di jual ke temennya. Tapi kok logika kita kalah ama anak SD yak. Orang-orang kayak Agus Martowardoyo, SBY, Boediono, eh sapa tuh Menteri ESDM lupa euy, jelas orang-orang pinter donk. Sekolahnya aja pada tinggi-tinggi.
Nah ini yang bikin saya bingung,,,tolong donk kalo ada ekonom atau yang ngerti jelasin ke saya. Kali aja setelah di jelasin saya jadi paham dan ikut ngedukung kenaikan BBM, hehehe..Nah,,demikianlah curhatan saya yang panjang kali lebar. Gak ada tendensi apa-apa. Cuma pikiran iseng belaka. Jangan ada yang nuduh saya pro kekerasan ya,,lha wong dipelototin polisi di jalan raya aja saya takut, saya kan gak punya SIM. Hihihi…beruntunglah kita jadi orang Indonesia. Kapan lagi bisa nonton OVJ di DPR.:p

Jumat, 23 Maret 2012

Pohon Berbisik di Papandayan


Aku percaya, perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah kecil. Sejak menyaksikan langsung gagahnnya Papandayan dari puncak Cikuray February lalu, ingin rasanya menginjakkan kaki disana. Gayung bersambut, keinginanku ini berbarengan dengan langkah om Rudy yang mengajak kecer ceria ke Papandayan lewat kendaraan Komunitas Pencinta Alam Warna-Warni (KPAWW).
Aku segera membentuk tim kecil yang tak lain dan tak bukan adalah tetangga sekaligus kawan semasa SD dulu. Meski bukan anggota KPAWW, kami tak merasa sungkan. Kudengar pepatah mengatakan, sesama pendaki adalah saudara.
Kami segera menyusun rencana. Diskusi kecil sempat memanas untuk menentukan waktu keberangkatan. Secara resmi, KPAWW akan berangkat Jum'at pagi Jakarta. Namun, tim kecil kami memutuskan untuk mencuri start dengan berangkat Kamis malam.
Disinilah manajemen eror terjadi. Tim yang tadinya hanya 4 orang kini membengkak menjadi 7 orang. Wah,,ini tentu menjadi masalah. Apalagi personel tambahan ini rupanya tidak membawa perlengkapan standar pendakian seperti jaket gunung apalagi matras dan sleeping bag. Jujur saja, awalnya aku menggerutu. Bukan apa-apa, dalam keadaan apapun alam tetap menjadi kawan sekaligus lawan yang sulit di prediksi. Persiapan yang matang tentu akan meminimalisir kondisi terburuk yang mungkin terjadi.
Namun apadaya, nasi sudah menjadi bubur dan bubur sudah tersaji dalam mangkok. Kami bertujuh sudah menanti bus di mulut terminal Kp. Rambutan. Malam itu baru pukul 10. Terminal itu masih ramai oleh teriakan calo yang berkeliling. Sebuah bus ekonomi jurusan Garut melintas.
"Ayo A,,ke Garut langsung lewat Cipularang," teriak sang kenek menghampiri kami.
"Berapa?,"
"35 ribu A,,libur panjang nih. Susah dapet mobil"
Aku mencibir. 35 ribu sih bisa dapet yang AC. Ujarku dalam hati. Kami bergeming. Memilih bus lain yang lebih manusiawi ngasih harganya. Tak lama kemudian, bus itu datang. AC, dapat tempat duduk dan yang paling penting harga normal. Rp 35.000 sampai terminal Guntur.
Malam itu macet sekali. Bus merayap perlahan melewati Cipularang. Kami baru tiba di Garut sekitar pukul 04.00 WIB. Kami langsung menuju masjid dekat terminal yang baru sebulan lalu kudatangi. Kali ini, masjid sudah seperti camping ground. Belasan pendaki dari berbagai daerah berkumpul menunggu terang. Ransel-ransel besar bergeletakan di teras masjid bersama tuannya. Tujuan mereka beragam. Ada yang mau ke Papandayan, Cikuray ataupun Guntur.
Sekitar pukul 6 kami bergegas. Menumpang angkot yang akan membawa kami ke Cisurupan. Dari Cisurupan kami menumpang pick up mobil pak Ajun sampai Camp David. Sepanjang jalan, Cikuray terlihat kerucut menjulang. Pagi itu Camp David cukup ramai. Beberapa mobil pribadi terpakir rapi di lahan parkirnya yang luas. Angin langsung menampar kami keras-keras. Hawa dingin mencuri masuk menembus pakaian yang kupakai. Pagi itu cukup untuk membuatku kedinginan.

Cikuray si kerucut

Kami mulai trekking langsung menuju kawah. Jalur yang landai di lengkapi oleh sengatan matahari di atas kepala. Sepanjang jalan, bebatuan sedimen beku mendominasi. Di depan sana, asap putih mengepul dari dapur magma yang masih aktif.


Wangi belerang segera menyeruak ke hidung. Asap-asap keparat itu menjejalkan racun ke paru-paru. Cukup untuk membuat kepalaku pusing. Kami segera bergegas. Berlama-lama di kawah dengan kondisi angin kencang, asap yang menggulung serta matahari yang tak henti-henti membakar bumi tentu bukan keputusan bagus.
Melewati kawah barulah kami bisa bernafas lega. Di belakang sana, asap putih masih saja mengepul. Papandayan memang salah satu gunung berapi yang gemar bikin gempar. Sambil berjalan, aku memperhatikan jejak-jejak ditanah. Di antara injakan sepatu para pendaki, tanah juga mencetak dengan jelas roda-roda sepeda motor milik penduduk setempat. Kemungkinan besar mereka menggunakannya untuk memanen kentang. Sejak tadi kami memang selalu bertemu para petani yang turun menggendong kentang di karung.


Trekking di Papandayang tergolong menyenangkan. Jalurnya landai sementara pemandangan indah terhampar di pinggir jalan. Kami tiba di Pondok Selada 3 jam kemudiaan. Tempat ini seperti lapangan bola yang ditumbuhi edelweiss. Luas sekali. Kami segera mendirikan tenda. Pagi itu, penghuni Pondok Selada belumlah banyak.
Sayangnya, masih di wilayah Pondok Selada kami menemukan "ranjau darat" berwarna kuning cerah. Walah,,manusia macem apa nih yang tega-teganya mengotori tempat seindah ini. Setidaknya kalo punya hajat ya dikubur donk.hehehe..
Kami menunggu dengan bosan. Sambil merebus kentang hasil pemberian petani, kami menikmati melodi alam yang sunyi dan menenangkan jiwa. Tak lama kemudian rombongan momotoran datang.Mereka bertiga menembus malam dari Tangerang menggunakan motor. Gila memang.
Sore menjelang. Pondok Selada semakin ramai oleh pendaki. Kabut tipis mulai berlomba dengan gelap. Pemandangan ini sungguh berbeda dengan yang kusaksikan beberapa jam yang lalu. Pondok Selada tak ubahnya seperti barak pengungsian. Tenda warna-warni berdiri tegak di segala penjuru. Suara tawa para pendaki bercampur dengan hembusan angin yang tak berhenti sejak tadi.

Hmm,,,waktunya ngopi. Meski baru pertama kali bertemu, aku merasa mengenal mereka dengan baik. Di sekeliling api unggun yang terbakar seadanya, kami saling bertukar cerita. Tak perduli warna kulit, status dan kepercayaan. Setiap perbedaan seperti menguap di ketinggian ini. Rasanya Bhineka Tunggal Ika itu bukan omong kosong.
Pagi menjelang. Orang-orang mulai sibuk beraktivitas. Bukan terburu-buru mandi agar tidak terkena macet, tapi berfoto ria mengabadikan ketakjuban pagi. Ah,,damai sekali. Aroma harum kopi mulai tercium dari beberapa tenda. Tak mau kalah aku pun menyiapkan roti tawar yang di olesi mentega dan susu. Hmm,,.
Pagi ini kami akan trekking ringan ke Tegal Alun. Sebuah situs loKal pernah menempatkan Tegal ALun di posisi ke-4 sebagai padang edelweiss terbaik di Indonesia. Jadi penasaran. Kami pun berkumpul membentuk lingkaran. Pemanasan kecil yang penuh canda membangkitkan semangat kami. Perjalanan di mulai dengan santai melewati sungai kecil yang airnya dingin menembus tulang.
Setelah itu kita akan disuguhi pemandangan hutan mati yang eksotis. Pohon-pohon kering itu tumbuh diatas tanah vulkanis aktif. Hidup segan mati pun tak mau. Jika di Bromo ada istilah "pasir berbisik", bolehlah disini di populerkan "pohon berbisik".

Itu gunung apa yah???

Tak lama kemudian kami tiba di Tegal Alun. Lembah ini mengingatkanku pada Mandalawangi. Luaaaaaassss sekali. Sayang edelweissnya belum tumbuh sempurna. Biarlah, tanpa edelweiss pun tempat ini sudah cukup indah. Disini memang damai sekali. Rasanya tak mau pulang. Masing-masing dari kami mengekspresikan diri. Jepretan kamera tak hanti-hentinya bekerja. Jadi begini tho rasanya jadi foto model..hehehhe.



Pagi yang semakin siang membuat kami bergegas turun. Pengalaman tadi indah sekali. Harus dicoba beberapa kali lagi. Makan. Itulah agenda kami saat tiba kembali di Pondok Selada. Tempe goreng hari itu rasanya sudah berubah menjadi ayam. Memang, di tempat seperti ini makan apapun enak.
Dan begitulah,,siang itu kami segera turun. Kisah pendakian ini memang telah berakhir. Tapi kenangannya kan kusimpan sampai akhir. Meski hanya camping ceria di ketinggian 2726 mdpl, bersama sahabat rasanya seperti berada di puncak Himalaya.
Biaya :
Kp. Rambutan-Terminal Guntur : Rp 35.000 (6 jam)
Kp. Rambutan – Cisurupan : Rp 5000 (1 jam)
Cisurupan-Camp David (pick up): Rp 10.000 (30 menit)
Camp David-Pondok Selada : 2 jam
Pondok Selada-Tegal Alun : 1 jam
Tips :
·     Jangan lupa bawa masker dan sejenisnya karena anda akan melewati kawah yang asapnya dijamin bikin mabuk kepayang
·         Walaupun bagus foto-foto di kawah, hendaknya jangan lama-lama karena sangat berbahaya
·         Jangan repot-repot bawa air dari bawah, karena di Pondok Selada air sangat melimpah
·         Usahakan jangan nga-camp di Tegal Alun terutama saat musim ujan. Dijamin anda akan berkotor-kotor ria
·         Bagi yang mempunyai hajat harap dikubur dengan layak agar tidak mengganggu,,hoekkk
·         Jangan lupa bernarsis ria biar foto profil FB-nya gak itu2 aja..hehehe..