Selasa, 30 September 2014

Merintis Jalan di Bisnis Konten

Sumber: www.1twelfth.com


18 Oktober 2011 bisa jadi hari paling nahas dalam sejarah industri telekomunikasi Indonesia. Surat Edaran Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang dikeluarkan empat hari sebelumnya memaksa operator menghentikan bisnis konten value added service (VAS).

Ini terjadi setelah kasus pencurian pulsa oleh content provider merebak hingga menjadi isu nasional. Dalam waktu singkat, bisnis VAS operator langsung rontok seketika. Kelak, peristiwa itu seringkali disebut sebagai Black October.

Tiga tahun setelah kasus tersebut berlalu, lini bisnis VAS mulai bangkit. Kontribusi pendapatannya bahkan sudah melampaui masa-masa jaya sebelum Black October. Kisarannya antara 3%-5%. Beberapa operator juga sudah mulai menggenjot lini bisnis VAS tersebut.

PT XL Axiata Tbk. misalnya, agresif memperkenalkan lini bisnis digital service. Bentuknya pun macam-macam. Tidak hanya sebatas ring back tone (RBT) dan SMS premium, tetapi juga beragam aplikasi dan solusi sehari-hari. Di bawah lini bisnis ini, XL mengandalkan lima sektor yaitu digital entertainment, mobile finance, mobile advertising, machine to machine (M2M), komputasi awan, dan e-commerce.

Kinerjanya pun cukup memuaskan. Pada semester I/2014, lini bisnis VAS berkontribusi 4% terhadap total pendapatan seluler perusahaan. Angkanya mencapai Rp311 miliar, naik 20% dari periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya Rp259 miliar. Yessie D. Yosetya, VP Digital Service Delivery XL mengatakan pertumbuhan bisnis digital service memang menggembirakan.

Untuk hal ini, XL punya beberapa layanan andalan. Di sektor uang elektronik misalnya, operator ini mengandalkan layanan XL Tunai. Sementara di bidang e-comerce, XL rela menggelontorkan sekitar US$19 juta untuk membangun platform Elevenia bersama perusahaan asal Korea Selatan, SK Planet.
PT Indosat Tbk. dan Telkomsel pun tak mau ketinggalan. 

Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan pihaknya mengandalkan layanan VAS untuk menggenjot average revenue per user (ARPU) pelanggan. Beberapa yang menjadi andalan sebut saja uang elektronik Dompetku dan mobile advertising. Pada Semester I 2014, ARPU anak usaha Ooredoo ini justru turun 2,7% menjadi Rp26.200 per bulan dari sebelumnya Rp26.900 year on year (YoY).

Startegi operator untuk menggenjot lini bisnis VAS memang masuk akal. Di tengah peningkatan trafik data dan beban investasi jaringan yang kian meningkat, operator harus pandai-pandai mencari sumber uang. Ini sekaligus sebagai strategi untuk menghadapi serbuan layanan over the top (OTT) yang menjadi masalah akut operator di seluruh dunia.

Bagaimana Menyikapi OTT?

Dalam beberapa kali kesempatan, Anggota BRTI Nonot Harsono melancarkan kritik tajam terhadap strategi operator yang dinilai abai menghadapi serbuan aplikasi OTT yang kian merajalela. Secara teknis, OTT merupakan aplikasi yang berjalan menggunakan jaringan milik operator. Facebook, Twitter, dan aplikasi populer lainnya termasuk dalam kategori ini.

OTT menjadi polemik karena menyedot banyak sekali trafik data. Ini tentu saja menjadi tugas operator selaku penyedia jaringan. Masalahnya, operator tidak bisa mengonversi pengguna OTT yang membludak dan membebani jaringan menjadi pundi-pundi rupiah. Sebanyak apapun pelanggan Facebook misalnya, pendapatan operator tetap akan bertumpu dari berapa banyak bandwidth yang dipakai.

Nonot pun mewanti-wanti kepada operator agar membenahi model bisnis yang selama ini digunakan. Apalagi saat ini teknologi 4G sudah siap hadir di depan mata. “Percuma kalau ada 4G tapi model bisnis masih kayak gini. Operator malah akan buntung,” katanya.

Kritik pedas Nonot memang bermaksud untuk melindungi investasi operator. Ketika pelaku usaha kehilangan kemampuan untuk membangun jaringan, kiamat telekomunikasi dipastikan nyaris terjadi. Apalagi untuk urusan infrastruktur telekomunikasi, pemerintah seperti enggan ikut campur. Beban itu selama ini memang ditanggung oleh operator.

Presiden Direktur Ericsson Indonesia Sam Saba beberapa waktu lalu mengatakan perlu ada koordinasi antara operator dan OTT untuk menjaga keseimbangan industri. Wacana soal pemberlakukan biaya bagi layanan tersebut juga bisa menjadi pilihan. Kendati demikian, dia menuturkan konsumsi data sebenarnya bisa menjadi lokomotif pertumbuhan operator telekomunikasi. 

Apa yang sedang dirintis operator telekomunikasi dengan menggenjot bisnis VAS dan membuat OTT sendiri seperti ingin menjawab kritik yang dilontarkan Nonot.

Kisruh Iklan Sisipan

Tapi masalah rupanya tidak berhenti hanya dengan menggenjot lini bisnis VAS. Jika tidak cermat, lini bisnis ini bisa menjadi boomerang dan menyerang balik operator. Salah satunya adalah bisnis mobile advertising yang kian menggeliat. 

Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) merilis angka Rp7 triliun sebagai nilai bisnis iklan digital di Indonesia tahun ini. Angka tersebut bahkan naik hampir dua kali lipat dari tahun lalu yang hanya Rp3,7 triliun.

Dengan potensi yang sedemikian besar, wajar jika operator ingin mencicipi kue bisnis tersebut. Tapi langkah ini justru membuat industri telekomunikasi agak memanas beberapa minggu terakhir. Pemicunya adalah protes beberapa asosiasi terkait dengan praktik iklan sisipan interstitial dan off deck ads  yang dilakukan oleh PT Telekomunikas Seluler (Telkomsel) dan PT XL Axiata Tbk.

Setelah hampir setahun diskusi dengan kedua operator tersebut menemui jalan buntu, Asosiasi e-Commerce Indonesia (Idea) dan Indonesian Digital Association (IDA) akhirnya angkat bicara. Bak bola salju, kisruh soal intrusive ads ini terus bergulir dan menyeret berbagai pihak. Tidak hanya Idea dan IDA, beberapa asosiasi lain seperti Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asssociation of Asia Pasific Advertising Media (AAPAM), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) turut mengecam praktik tersebut.

Bagi para pengguna Internet, iklan sisipan memang kerap ditemui. Iklan berbentuk banner tersebut biasanya muncul saat pengunjung mengakses situs tertentu. Dalam hal ini, pengguna dipaksa untuk melihat iklan tersebut sebelum memasuki alamat situs yang dituju.

Ketua Umum IDA Edi Taslim mengatakan pratik pemasangan iklan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse power) yang dilakukan operator telekomunikasi terhadap pemilik situs. Apalagi tidak ada koordinasi antara operator dan pemilik situs terkait pemasangan iklan tersebut.

Polemik kian memanas ketika operator telekomunikasi enggan disalahkan. Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menegaskan praktik tersebut tidak melanggar hukum. Direktur Utama Telkomsel Alex J. Sinaga bahkan memastikan akan melanjutkan praktik tersebut selama belum ada keputusan final dari regulator.

Ini tentu mengecewakan bagi para pemrotes. Edi Taslim menegaskan pihaknya siap membawa kasus ini ke ranah hukum jika operator tetap ngotot dengan pendiriannya. Bagi industri, kondisi ini seperti jelas bukan sinyal yang baik. Ketika operator tengah merajut asa di bisnis VAS, kondisi seperti ini jelas harus diselesaikan dengan kepala dingin.

Sebagai pemilik jaringan, operator mungkin memang berhak menempatkan iklan tersebut. Tetapi pemilik situs tentu tidak mau “rumah” mereka terganggu. Belajar dari kasus Black October, kedua pihak harus bisa mencari kompromi.


Kamis, 25 September 2014

Sumber: www.indonesia.liverpoolfc.com


Seolah melanjutkan rekor buruk pada beberapa pertandingan terakhir, Liverpool harus menjalani drama melelahkan saat menghadapi Middlesbrough dalam pertandingan di Piala Liga, Rabu (24/9/2014).

Anak asuh Brendan Rodgers tersebut berhasil memetik kemenangan. Tapi setelah kedua tim berjibaku 90 menit di babak normal dan 30 menit sisanya pada babak tambahan. Tidak cukup sampai disitu, keduanya pun harus melakukan adu tendangan penalti yang bertele-tele. Alhasil, skor 14-13 pun tersaji di akhir laga.

Bagi tim sekelas Liverpool yang dibebani dengan target juara EPL musim ini, menghadapi Middlesbrough dengan cara seperti itu jelas bukan sinyal yang bagus. Turun dengan beberapa pemain anyar, pasukan The Reds gagal menunjukkan permainan atraktif.

Lazar Markovic yang diboyong seharga 20 juta poundsterling gagal memenuhi ekspektasi. Gelandang asal Serbia ini hanya mampu berputar-putar tanpa bisa menembuh jantung pertahanan Middlesbrough. Aksi drible yang ditunggu-tunggu fans juga tak kunjung keluar. Pemain muda itu seperti terbebani dengan banderol mahal yang ditanggungnya.

Pemain anyar lainnya, Adam Lallana, sedikit lebih baik. Pemain Inggris ini menunjukkan determinasi tinggi sepanjang pertandingan. Tapi tetap saja, untuk ukuran pemain seharga 25 juta poundsterling, Lallana seharusnya bisa lebih berguna. Tapi di pertandingan itu,, beberapa kali dia seperti kebingungan saat memegang bola.

Sementara itu, Mario Balotelli yang didatangkan dari AC Milan juga belum mampu bersinar. Gerakan “Super Mario” terlalu lambat. Driblenya mudah ditebak. Dia juga belum maksimal membuka ruang. Apalagi malam itu dia dipasangkan dengan Rickie Lambert yang juga malas bergerak. Alhasil, lini depan Liverpool seperti mati kutu.

Di balik permainan pemain depan yang miskin kreativitas, masalah utama Liverpool sebenarnya terletak di lini belakang. Setelah menghajar Tottenham Hotspur 3-0 beberapa pekan lalu, gawang Simon Mignolet telah dibobol tujuh kali. Satu saat melawan Aston Villa, 3 gol memalukan dari West Ham United, satu gol ketika menghadapi Ludgoretz di Liga Champion, dan dua gol dalam pertandingan dini hari tadi.

Ini memang menjadi masalah akut yang sudah dialami Liverpool beberapa tahun terakhir. Bongkar pasang lini belakang juga sudah kerap dilakukan. Duet Martin Skrtel-Daniel Agger sebenarnya cukup menjanjikan beberapa musim ke belakang. Sayang, Agger yang sering bolak balik meja operasi akibat cedera membuat performanya menurun. Ini jelas membuat lubang besar di pertahanan The Reds.

Mendatangkan pemain berpengalaman macam Kolo Toure tak banyak membantu. Kolo hanya bermain apik di beberapa pertandingan awal. Setelah itu, dia nyaris tenggelam. Kolo yang sudah berusia 33 tahun kalah adu cepat dengan para penyerang di Liga Inggris yang lebih muda.

Menambal celah di lini belakang rupanya juga tidak semudah dengan membeli pemain mahal macam Sakho dan Dejan Lovren. Pemain yang disebutkan terakhir hanya bersinar saat tur pramusim. Di beberapa pertandingan awal, Lovren tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai pemain seharga 20 juta pounds.

Kelemahan Liverpool yang selalu kesulitan menghalau bola-bola diagonal masih kerap terjadi. Lovren memang pandai membaca arah bola. Tapi dia terlalu lambat. Momen paling kentara saat pemain ini gagal mengejar Sergio Aguero ketika Manchaster City melumat Liverpool 3-1. Dengan koordinasi yang buruk di antara pemain, celah yang bisa dieksploitasi pemain lawan sangat terbuka.

Dilema Gerard

Tak ada yang bisa membantah loyalitas dan kapasitas Steven Gerard sebagai roh permainan Liverpool. Lebih dari satu dekade, sang kapten tetap setia berkosum merah. Ini tentu menjadi poin plus baginya.

Tapi di usianya yang sudah tidak muda lagi, Gerard adalah buah simalakama. Gerard muda dengan determinasi tinggi, drible ciamik dan tendangan gledeknya tidak lagi terlihat. Gerard semakin lambat. Tendangan jarak jauhnya seringkali tak terarah. Determinasi? Jangan berharap banyak. Bisa bermain 90 menit saja sudah sebuah prestasi.

Lantas, jika Gerard sudah tidak lagi menunjukkan performa terbaik, mengapa sang kapten masih rajin mengisi starting eleven? Jawabannya mungkin pada soal kepemimpinan. Banyak pemain muda Liverpool yang mengidolakan Gerard di masa kecilnya. Bermain bersama sang idola tentu akan meningkatkan moral para pemain. Tapi disinilah repotnya. Gerard seperti revolver kosong tanpa amunisi. Tidak bisa digunakan tapi membawa rasa aman.  

Di masa kepelatihan Kenny Dalglish, upaya untuk mempertahankan Gerard dilakukan dengan menariknya sedikit ke belakang. Dia tidak lagi diberi tugas mengobrak-abrik pertahanan lawan seperti pakemnya selama ini. Sebagai gantinya, Gerard bertugas melindungi empat pemain belakang dalam formasi 4-4-2 berlian. Mirip seperti posisi yang ditempati Andrea Pirlo di Juventus.

Awalnya posisi baru ini cukup berhasil. Beberapa kali Gerard menunjukkan long pass kelas wahid bagi lini depan Liverpool. Ditemani Henderson, Joe Allen, atau Lucas Leiva, sang kapten menjalani tugas barunya dengan baik. Ini terlihat dari lini tengah Liverpool yang kian solid di musim lalu, sehingga bisa finish di posisi 2.

Tapi usia lagi-lagi tidak bisa menipu. Dalam beberapa pertandingan awal musim ini, posisi yang ditempati Gerard justru jadi masalah baru. Fisiknya tidak lagi prima untuk menjalani tugas  memotong alur serangan lawan sekaligus melindungi empat pemain belakang. Gerard kerap kedodoran sehingga sering telat menutup ruang. 

Kinerja buruk sang kapten diperparah dengan performa tidak bagus dari Lucas Leiva. Ini membuat double pivot Liverpool seperti loyo dan tak bertenaga. Determinasi tinggi dari Henderson juga tidak banyak membantu.

Jika masih mau bersaing, Brendan Rodgers harus segera mengevaluasi peran Gerard. Rodgers mungkin bisa meniru langkah Chelsea saat pelan-pelan menggeser Frank Lampard. Ini juga untuk mengurangi ketergantungan. Sehingga saat sang kapten pensiun, Liverpool sudah bisa move on.

Faktor Suarez

Menjalani musim 2014-2015 tanpa Luis Suarez seperti membuat Liverpool mengulang semuanya dari awal. Musim lalu, lini belakang The Reds yang rapuh terselamatkan aksi menawan pemain Uruguay ini. Jika tidak bisa menciptakan gol, Suarez bisa membuka ruang bagi rekan-rekannya. Inilah yang membuat Sturridge dan Sterling bersinar di musim lalu.


Situasi seperti inilah yang hilang dari serangan Liverpool. Balotelli jelas bukan Suarez yang bisa melewati satu dua pemain lawan dengan mudah. Bergerak kesana kemari sehingga membingungkan bek lawan. Sterling masih terlalu muda untuk mengemban tugas itu. Sementara ketika Sturridge bergerak membuka ruang, Liverpool tidak memiliki pemain dengan finishing touch seefisien Suarez.

Sabtu, 29 Maret 2014

Dilema Trafik Data



Tiara Dewanty (18) terlihat khusyuk menekuni smartphone di hadapannya. Beberapa aktivitas dilakukannya sekaligus. Mulai dari browsing sampai ngobrol via Whatsap. Mahasiswi di sebuah universitas swasta di Tangerang ini mengaku baru mengenal ponsel pintar sejak beberapa bulan lalu.

Sejak itu, dia rela menyisihkan uang minimal Rp50.000 setiap bulan untuk membeli paket data. Bagi Tiara, Intenet memang sudah seperti candu. Pernah suatu hari handphone gadis ini tertinggal di rumah saat berangkat ke kampus. “Rasanya gak tenang,” ujarnya, “Jadi saya pulang lagi ke rumah buat ambil handphone,”.

Meskipun tidak sama persis, hal serupa juga dialami oleh Fauzan Jamaludin (24). Tahun lalu, pria asal Tegal yang berprofesi sebagai wartawan ini hanya mengandalkan ponsel Blackberry untuk berkomunikasi. Semakin hari dia merasa perangkat itu saja tidak cukup. Kepada Bisnis, dia menunjukkan smartphone Android canggih yang baru dibelinya beberapa waktu lalu.

Apa yang dialami oleh Tiara dan Fauzan menggambarkan tren masyarakat modern yang kian akrab dengan gadget canggih dan koneksi Internet. Beberapa tahun lalu, kriteria ponsel canggih hanya dilihat dari spesifikasi kamera atau kemampuan memutar lagu.

Tapi masa itu kini telah lewat. Kecanggihan ponsel sekarang dilihat dari seberapa cepat dia bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus (multitasking) dan jaringan generasi berapa yang diusungnya. Secanggih apapun sepesifikasi suatu gadget, jika dia hanya berjalan di teknologi 2G niscaya harga jualnya lebih murah.

Tuntutan masyarakat untuk mengakses Internet berkecepatan tinggi pada akhirnya membawa konsekuensi serius. Orang tak puas hanya dengan mengakses Facebook dan media sosial lainnya. Kini mereka mulai menggunakan layanan data untuk menonton video streaming yang membutuhkan trafik data tinggi. Tren ini rupanya juga melanda seluruh dunia.

Laporan terbaru dari Ericssson Mobility Report memprediksi pada 2019 smartphone akan digunakan oleh 7,2 miliar penduduk bumi atau sekitar 80% dari total populasi.  Angka ini jelas akan membuat trafik data melonjak tajam. Jika saat ini rata-rata pengguna smartphone hanya menghabiskan 600 megabyte per bulan, pada 2019 konsumsi tersebut akan melonjak hingga 2,5 gigabyte. Secara global, trafik data smartphone pada tahun itu akan mencapai 16 miliar gigabyte.

Hardyana Syntawati, Kepala Divisi Pemasaran dan Komunikasi Ericsson Indonesia, mengatakan peningkatan trafik data ini menjadi tantangan bagi operator telekomunikasi. Apalagi teknologi 4G yang membutuhkan lebih banyak trafik data juga akan segera diluncurkan. Menurutnya, peningkatan kebutuhan trafik data ini harus disikapi oleh operator telekomunikasi.

Di Indonesia, peningkatan konsumsi data ini tercermin dari kenaikan pelanggan data operator telekomunikasi. Dalam laporan perusahaan semester I 2014, rata-rata jumlah pelanggan data sudah mencapai setengah dari total pelanggan operator.

PT Telekomunikasi Seluler misalnya, kini memiliki jumlah pelanggan data sebanyak 63,4 juta. Sementara itu, PT XL Axiata berhasil menggaet 32,2 juta pelanggan data. Sedangkan PT Indosat Tbk. telah melayani 27,4 juta pelanggan data. Operator lain yang berbasis code division multiple access (CDMA), PT Smartfren Telecom Tbk. sendiri telah memiliki 6 juta pelanggan data.

Direktur Service Management PT XL Axiata Tbk. Ongki Kurniawan menuturkan setidaknya tiga hal yang memicu peningkatan trafik data di kalangan pengguna. Pertama, saat ini konsumen dimanjakan dengan beragam paket data yang ditawarkan operator. Strategi ini dinilai sangat efektif untuk merayu pelanggan agar menggunakan Internet.

Faktor kedua datang dari penetrasi smartphone yang semakin pesat. Data dari International Data Corporation (IDC) Indonesia menyebutkan pengapalan smartphone dan tablet pada 2013 masing-masing mencapai 14 juta dan 4 juta unit. Dari jumlah tersebut, 30% di antaranya merupakan ponsel pintar dengan banderol murah seharga US$50-US$150.

Ketiga, beragam aplikasi yang membutuhkan bandwitdh besar kini juga mulai tumbuh. Artinya, pelanggan tidak hanya sebatas menggunakan Internet untuk membuka e-mail atau chatting, tetapi juga membuka konten digital lainnya seperti video streaming.

Dilema Trafik Data

Peningkatan trafik layanan data rupanya juga menjadi pisau bermata dua bagi operator telekomunikasi. Pasalnya, ketika permintaan trafik dari pelanggan melonjak operator harus menggelontorkan dana untuk membangun infrastruktur jaringan. Ini seperti petani yang harus membuka lahan lebih luas ketika permintaan beras naik tajam.

Menariknya, selama ini operator sudah terlanjur nyaman dengan pendapatan yang diperoleh dari layanan suara dan SMS. Ketika Internet booming, pendapatan dari kedua layanan tersebut perlahan mulai merosot. Sementara pendapatan dari layanan data juga juga belum maksimal. Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan permintaan trafik data ini membuat operator harus berfikir keras untuk memaksimalkan pundi-pundi dari lini bisnis itu.

Sialnya, mau tidak mau operator harus mengikuti tren tersebut dengan membangun infrastruktur guna menyediakan layanan data. Ini tentu butuh biaya yang tidak sedikit. Belanja modal yang dikeluarkan masing-masing operator lapis satu—Indosat, Telkomsel, dan XL—setiap tahun hampir menyentuh angka Rp10 triliun. Belanja modal ini mayoritas digunakan untuk membangun  base transceiver receiver 3G dan perlengkapan jaringan lainnya.

“Operator memang harus bangun jaringan data. Karena kalau enggak begitu pasti ditinggalkan pelanggan,” ujarnya.

Hal ini membuat Alexander hanya bisa menggeleng saat ditanya target pendapatan data Indosat setelah menggelar modernisasi jaringan. Dia menilai hal tersebut sulit diprediksi karena operator masih menjajal formula bisnis yang tepat guna menggenjot pendapatan data.

Jika mengacu pada beberapa laporan, kinerja operator telekomunikasi di Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk. Riset terbaru dari Credit Suisse menyebutkan pada kuartal II 2014, pendapatan seluler di Indonesia naik 9,3% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Angka ini bahkan lebih besar dari China yang hanya tumbuh 4,8%.

Pendapatan dari trafik data justru masih tertinggal jika dibandingkan beberapa negara lain di Asia. Jika Taiwan, China, dan Thailand berhasil mencatatkan pertumbuhan di atas 20% pada kuartal II tahun ini, layanan data di Tanah Air hanya tumbuh 13%. Menariknya, pendapatan data sudah berkontribusi setengah terhadap terhadap total pendapatan operator telekomunikasi. Angka ini merupakan yang tertinggi dibandingkan negara lain yang disurvei Credit Suisse.

Sementara itu, PT XL Axiata Tbk. dalam laporan keuangan paruh pertama 2014 menyebutkan pendapatan dari layanan data dan VAS mencapai Rp2,9 triliun atau naik 42% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Telkom sendiri berhasil meraup Rp12,44 triliun dari sektor data, Internet, dan IT services yang naik 16,06% year on year (YoY).

Penaikan Harga

Di tengah dilema trafik data yang dialami operator telekomunikasi, salah satu opsi yang mengemuka adalah menaikkan harga tarif layanan data. Hal ini juga telah diungkapkan Alexander Rusli. Dia beralasan harga layanan data saat ini terlalu murah karena hanya sekitar Rp0,06 per kilobyte . Padahal, di negara lain harga layanan serupa bisa mencapai Rp0,10-Rp0,15 per kilobyte.
“Untuk di Indonesia harga yang ideal mungkin Rp0,10 per kilobyte,” katanya.

Deputy CEO PT Smartfren Tbk. Djoko Tata Ibrahim juga mengamini soal rencana penaikkan tarif data tersebut. Menurutnya, banderol tarif data bisa naik 30% dari harga saat ini. Kendati demikian, langkah penaikan harga ini tidak bisa begitu saja dilakukan operator. Pasalnya, kualitas layanan yang ditawarkan saat ini juga belum maksimal. Alexander menuturkan operator harus meningkatkan infrastruktur jaringan sebelum menaikkan harga.

Rencana tersebut rupanya juga turut menjadi perhatian pemerintah. Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M. Ridwan Effendi menuturkan pihaknya tengah mengkaji penerbitan beleid soal formula tarif data. Jika rencana tersebut terealisasi, setiap operator akan memiliki acuan tarif batas bawah seperti yang selama ini diterapkan pada tarif SMS dan interkoneksi.

Menurut regulator, aturan ini akan mengakomodir kebutuhan konsumen terutama dari kalangan pemula. Selain itu, akan diatur juga formula untuk memberikan kenyamanan bagi pemakai Internet dengan kebutuhan tinggi. Selain itu, BRTI juga mulai memperhatikan ongkos produksi layanan data guna melindungi investasi.

“Ini masih tahap awal banget. Masih banyak alternatifnya,” katanya.

Bagaimana tanggapan operator? Alexander Rusli justru meminta pemerintah tidak ikut campur penentuan tarif layanan data. Kebijakan ini dinilai akan menyulitkan gerak operator. Tarif tersebut seharusnya dibiarkan berdasarkan mekanisme pasar.

“Dalam jangka pendek memang bagus untuk menjada profitabilitas. Tapi untuk jangka panjang justru akan merugikan industri,” paparnya.