Sumber: www.1twelfth.com |
18 Oktober 2011 bisa jadi hari paling nahas dalam sejarah
industri telekomunikasi Indonesia. Surat Edaran Badan Regulasi Telekomunikasi
Indonesia (BRTI) yang dikeluarkan empat hari sebelumnya memaksa operator
menghentikan bisnis konten value added
service (VAS).
Ini terjadi setelah kasus pencurian pulsa oleh content provider merebak hingga menjadi
isu nasional. Dalam waktu singkat, bisnis VAS operator langsung rontok
seketika. Kelak, peristiwa itu seringkali disebut sebagai Black October.
Tiga tahun setelah kasus tersebut berlalu, lini bisnis VAS
mulai bangkit. Kontribusi pendapatannya bahkan sudah melampaui masa-masa jaya
sebelum Black October. Kisarannya
antara 3%-5%. Beberapa operator juga sudah mulai menggenjot lini bisnis VAS
tersebut.
PT XL Axiata Tbk. misalnya, agresif memperkenalkan lini
bisnis digital service. Bentuknya pun
macam-macam. Tidak hanya sebatas ring
back tone (RBT) dan SMS premium, tetapi juga beragam aplikasi dan solusi
sehari-hari. Di bawah lini bisnis ini, XL mengandalkan lima sektor yaitu digital entertainment, mobile finance,
mobile advertising, machine to
machine (M2M), komputasi awan, dan
e-commerce.
Kinerjanya pun cukup memuaskan. Pada semester I/2014, lini
bisnis VAS berkontribusi 4% terhadap total pendapatan seluler perusahaan.
Angkanya mencapai Rp311 miliar, naik 20% dari periode yang sama tahun
sebelumnya yang hanya Rp259 miliar. Yessie D. Yosetya, VP Digital Service
Delivery XL mengatakan pertumbuhan bisnis digital
service memang menggembirakan.
Untuk hal ini, XL punya beberapa layanan andalan. Di sektor
uang elektronik misalnya, operator ini mengandalkan layanan XL Tunai. Sementara
di bidang e-comerce, XL rela menggelontorkan sekitar US$19 juta untuk membangun
platform Elevenia bersama perusahaan asal Korea Selatan, SK Planet.
PT Indosat Tbk. dan Telkomsel pun tak mau ketinggalan.
Presiden Direktur dan CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan pihaknya
mengandalkan layanan VAS untuk menggenjot average
revenue per user (ARPU) pelanggan. Beberapa yang menjadi andalan sebut saja
uang elektronik Dompetku dan mobile
advertising. Pada Semester I 2014, ARPU anak usaha Ooredoo ini justru turun
2,7% menjadi Rp26.200 per bulan dari sebelumnya Rp26.900 year on year (YoY).
Startegi operator untuk menggenjot lini bisnis VAS memang
masuk akal. Di tengah peningkatan trafik data dan beban investasi jaringan yang
kian meningkat, operator harus pandai-pandai mencari sumber uang. Ini sekaligus
sebagai strategi untuk menghadapi serbuan layanan over the top (OTT) yang menjadi masalah akut operator di seluruh
dunia.
Bagaimana Menyikapi
OTT?
Dalam beberapa kali kesempatan, Anggota BRTI Nonot Harsono
melancarkan kritik tajam terhadap strategi operator yang dinilai abai
menghadapi serbuan aplikasi OTT yang kian merajalela. Secara teknis, OTT
merupakan aplikasi yang berjalan menggunakan jaringan milik operator. Facebook,
Twitter, dan aplikasi populer lainnya termasuk dalam kategori ini.
OTT menjadi polemik karena menyedot banyak sekali trafik
data. Ini tentu saja menjadi tugas operator selaku penyedia jaringan.
Masalahnya, operator tidak bisa mengonversi pengguna OTT yang membludak dan
membebani jaringan menjadi pundi-pundi rupiah. Sebanyak apapun pelanggan Facebook
misalnya, pendapatan operator tetap akan bertumpu dari berapa banyak bandwidth yang dipakai.
Nonot pun mewanti-wanti kepada operator agar membenahi model
bisnis yang selama ini digunakan. Apalagi saat ini teknologi 4G sudah siap
hadir di depan mata. “Percuma kalau ada 4G tapi model bisnis masih kayak gini.
Operator malah akan buntung,” katanya.
Kritik pedas Nonot memang bermaksud untuk melindungi
investasi operator. Ketika pelaku usaha kehilangan kemampuan untuk membangun
jaringan, kiamat telekomunikasi dipastikan nyaris terjadi. Apalagi untuk urusan
infrastruktur telekomunikasi, pemerintah seperti enggan ikut campur. Beban itu
selama ini memang ditanggung oleh operator.
Presiden Direktur Ericsson Indonesia Sam Saba beberapa waktu
lalu mengatakan perlu ada koordinasi antara operator dan OTT untuk menjaga
keseimbangan industri. Wacana soal pemberlakukan biaya bagi layanan tersebut
juga bisa menjadi pilihan. Kendati demikian, dia menuturkan konsumsi data
sebenarnya bisa menjadi lokomotif pertumbuhan operator telekomunikasi.
Apa yang
sedang dirintis operator telekomunikasi dengan menggenjot bisnis VAS dan
membuat OTT sendiri seperti ingin menjawab kritik yang dilontarkan Nonot.
Kisruh Iklan Sisipan
Tapi masalah rupanya tidak berhenti hanya dengan menggenjot
lini bisnis VAS. Jika tidak cermat, lini bisnis ini bisa menjadi boomerang dan
menyerang balik operator. Salah satunya adalah bisnis mobile advertising yang kian menggeliat.
Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P3I) merilis angka Rp7 triliun sebagai nilai bisnis iklan
digital di Indonesia tahun ini. Angka tersebut bahkan naik hampir dua kali
lipat dari tahun lalu yang hanya Rp3,7 triliun.
Dengan potensi yang sedemikian besar, wajar jika operator
ingin mencicipi kue bisnis tersebut. Tapi langkah ini justru membuat industri
telekomunikasi agak memanas beberapa minggu terakhir. Pemicunya adalah protes
beberapa asosiasi terkait dengan praktik iklan sisipan interstitial dan off deck ads
yang dilakukan oleh PT Telekomunikas
Seluler (Telkomsel) dan PT XL Axiata Tbk.
Setelah hampir setahun diskusi dengan kedua operator
tersebut menemui jalan buntu, Asosiasi e-Commerce Indonesia (Idea) dan
Indonesian Digital Association (IDA) akhirnya angkat bicara. Bak bola salju,
kisruh soal intrusive ads ini terus
bergulir dan menyeret berbagai pihak. Tidak hanya Idea dan IDA, beberapa
asosiasi lain seperti Pengelola Nama Domain Indonesia (Pandi), Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Asssociation of Asia Pasific
Advertising Media (AAPAM), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I)
turut mengecam praktik tersebut.
Bagi para pengguna Internet, iklan sisipan memang kerap
ditemui. Iklan berbentuk banner tersebut biasanya muncul saat pengunjung
mengakses situs tertentu. Dalam hal ini, pengguna dipaksa untuk melihat iklan
tersebut sebelum memasuki alamat situs yang dituju.
Ketua Umum IDA Edi Taslim mengatakan pratik pemasangan iklan
tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse power) yang dilakukan operator telekomunikasi terhadap
pemilik situs. Apalagi tidak ada koordinasi antara operator dan pemilik situs
terkait pemasangan iklan tersebut.
Polemik kian memanas ketika operator telekomunikasi enggan
disalahkan. Asosiasi penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI)
menegaskan praktik tersebut tidak melanggar hukum. Direktur Utama Telkomsel
Alex J. Sinaga bahkan memastikan akan melanjutkan praktik tersebut selama belum
ada keputusan final dari regulator.
Ini tentu mengecewakan bagi para pemrotes. Edi Taslim
menegaskan pihaknya siap membawa kasus ini ke ranah hukum jika operator tetap
ngotot dengan pendiriannya. Bagi industri, kondisi ini seperti jelas bukan
sinyal yang baik. Ketika operator tengah merajut asa di bisnis VAS, kondisi
seperti ini jelas harus diselesaikan dengan kepala dingin.
Sebagai pemilik jaringan, operator mungkin memang berhak
menempatkan iklan tersebut. Tetapi pemilik situs tentu tidak mau “rumah” mereka
terganggu. Belajar dari kasus Black October, kedua pihak harus bisa mencari
kompromi.