Kamis, 01 Maret 2012

Mencari Damai Di Cikuray

Cikuray si kerucut. Begitulah gunung tertinggi ke-4 di Jawa Barat ini dikenal. Dengan tinggi 2818 mdpl, Cikuray menjadi salah satu pilar dari trio pegunungan Garut bersama Papandayan dan Guntur. Dilihat dari sudut manapun, Cikuray memang terlihat menjulang tegak simetris seperti kerucut. Tak heran jika si kerucut ini juga dikenal dengan jalur pendakianya yang cukup ekstrim.
Hari itu, 17 Februari 2012 aku, Eko, Barkah dan Hamdi yang dipertemukan nasib di Gunung Guntur sepakat untuk berkunjung kje Cikuray. Matahari baru saja terbit ketika kami bertemu di terminal Guntur Garut. Belum banyak aktivitas terminal pagi itu. Di sebuah masjid di belakang terminal, belasan pemuda dengan ransel-ransel besar bersenda gurau menunggu terang. Mereka adalah rombongan yang akan ke Papandayan.
Setelah mengisi perut dengan seporsi lontong kari di sekitar terminal, kami memulai perjalanan dengan menumpang angkot ke daerah Patrol. Suasana begitu sejuk dengan matahari yang masih malu-malu menyinari bumi. Garut merupakan kota yang dibentengi gunung-gunung. Tak heran jika paru-paru ku merasa gembira diisi udara kota ini.
Kami sampai Patrol disaat para pelajar hendak berangkat ke sekolah. Gadis-gadis manis dengan seragam abu-abu putih berjalan anggun sambil bercanda. Beberapa dari mereka menarik perhatianku.Hiburan di pagi itu menambah semangat kami.
Patrol merupakan desa terakhir sebelum mencapai pos Pemancar yang menjadi gerbang Cikuray. Dari Patrol, biasanya para pendaki menyewa mobil pick up ataupun ojek dengan ongkos sekitar Rp 30.000 untuk mencapai Pemancar. Namun, atas nama penghematan kami pun sepakat untuk berjalan kaki saja menuju Pemancar.
Dari Patrol, Pemancar beberapa stasiun TV itu terlihat gagah menjulang. Ia terlihat begitu dekat. Namun semua itu menipu. Kami keluar masuk rumah penduduk, melewati hamparan sawah menghijau, menginjak ladang-ladang hingga menyusuri perkebunan teh yang masih berembun sebelum sampai di Kampung Nyampai. Kampung ini sebenarnya merupakan rumah singgah sementara bagi para pemetik teh. Lambat laun, kampung ini menjadi tempat tinggal permanen . Kampung Nyampai terlihat sepi seperti tak ada kehidupan pagi itu. Hanya gonggongan anjing yang meyakinkan kami bahwa ada kehidupan disini.
Dari sebuah Musholla di Kampung Nyampai, aku memandang Pemancar yang berwarna merah menyala. Di belakangnya, Cikuray masih berselimut kabut. Perpaduan warna hijau pepohonan dan putihnya kabut seperti memanggil kami untuk segera mendaki. Kami melanjutkan perjalanan. Hembusan angin dingin di hamparan kebun teh mengiringi langkah kami. Jarak yang terlihat dekat jelas sangat menipu. Sepanjang awal perjalanan, aku mengutuki diri karena malas olahraga. Langkah kaki yang berat, nafas yang tidak teratur jelas menjadi indikasi betapa tubuhku sudah mulai manja.
Dengan peluh menetes deras, kami sampai di Pemancar setelah dua jam lebih berjalan. Segelas kopi panas menjadi pengusir dingin pegunungan. Pemancar akan menjadi awal perjalanan kami. Disini pula, kami harus mulai mengangkut air karena tidak akan ada lagi air setelah Pemancar.
Sekitar pukul 10.00 WIB kami mulai berjalan. Kami harus melewati tanjakan curam kebun teh sebelum masuk ke kawasan hutan Cikuray. Jalur pendakian terlihat cukup jelas meski di beberapa tempat pohon-pohon tumbang turut menghalangi jalan. Tak beberapa lama setelah memasuki kawasan hutan, kami bertemu dengan rombongan pendaki dari SMA 8 Jakarta.
Jujur saja, aku cukup senang menyaksikan antusiasme anak-anak SMA itu mendaki ke Cikuray. Menikmati dinginnya angin gunung jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu bersama dinginya AC supermarket. Di beberapa tempat, kami sempat menyingkirkan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalan. Untung saja kawanku Hamdi selalu membawa golok.
Semakin lama pendakian terasa makin menyulitkan. Jalur pendakian yang ekstrim tidak diimbangi dengan kekuatan fisik yang prima. Meski demikian, bayangan akan permadani awan di puncak tak menyurutkan langkah kami. Cuaca yang cukup cerah turut membantu kami dalam pendakian ini. Hutan disini tergolong rapat dengan vegetasi yang cenderung beragam.
Setelah letih berjalan, kami akhirnya tiba di puncak bayangan sekitar pukul 17.00. Hawa dingin mulai terasa menusuk tulang. Di ketinggian ini, angin meliuk-liuk memeluk kami. Masing-masing dari kami merapatkan jaket sambil menikmati segelas kopi jahe panas. Hmmm….nikmatnya. Selama perjalanan, kami bertemu dengan banyak rombongan. Nampaknya di puncak nanti keramaian Cikuray akan menyamai keramaian di mall-mall.
Setelah ngopi-ngopi dan diskusi soal trangia cola, kami melanjutkan perjalanan. Disinilah ujian yang sebenarnya untuk mencapai puncak. Dari puncak bayangan, titik tertinggi Cikuray memang menjulang tinggi menantang. Benar saja, kami harus merayap melalui jalur ini. Pohon-pohon tumbang dan akar-akar pohon menjadi ciri khas. Jalur ini mengingatkanku pada jalur pendakian Ciremei via Linggarjati. Sungguh menguras tenaga dan menciutkan mental.
Satu jam lebih kami habiskan untuk mencapai puncak. Dan lihatlah kawan,,siluet senja menyambut kami dengan ramah. Di ketinggian seperti ini, langit terlihat begitu menawan. Gradasi oranye mewarnai langit sore yang akan semakin gelap. Sering ada orang yang bertanya padaku tentang keuntungan naik gunung. Maka inilah jawabannya. Tak bisa kulukiskan dengan kata-kata karena kalian sendiri yang harus merasakannya.
Setelah sinar menghilang dan langit menjadi muram, kami bergegas mencari tempat mendirikan tenda. Dan benar saja, puncak Cikuray sudah dipenuhi oleh para pendaki. Akhirnya kami menemukan tempat terbaik setelah agak turun dari puncak. Mulailah kami membuka tenda. Si oranye Lafuma mendapat teman si oranye Triton. Ini pertama kalinya Lafuma oranye ini berpetualang denganku. Semoga kita menjadi teman baik kawan..!!
Malam itu diiringi dengan udara yang dingin menyerbu, kami memasak. Nasi sarden ditambah tempe goreng terasa begitu nikmat. Tak lupa pula kopi dan teh hangat menjadi teman kami malam itu. Bahkan nasi mentah pun terasa nikmat di gunung. Sekitar pukul 21.00 kami mulai masuk ke dalam tenda. Meski sudah memakai jaket dan sleeping bag, hawa dingin tetap saja menggigit. Wajar saja, malam itu suhu tercatat hingga 5° celcius. Tidur adalah cara terbaik kami mengusir dingin.
Keesokan harinya, sunrise memang tertutup awan. Sebagai gantinya, kami disuguhi hamparan permadani awan yang putih memukau. Di arah barat, gunung Papandayan dan kawah Kamojang terlihat jelas mengundang kami. Kota Garut terlihat seperti semut. Sementara di timur, sinar mentari berusaha mati-matian menembus hamparan awan yang bergulung-gulung. Setelah disuguhi siluet senja kemarin, kali ini kami disuguhi hamparan permadani awan yang indah menawan.
Sungguh sebuah kebanggaan berdiri disi. Perjuangan bersama kawan-kawan belasan jam kemarin terbayar lunas. Pemandangan ini bagaikan mimpi. Semua keletihan menghilang bersama hembusan angin pagi yang mengepung. Ditengah keramaian puncak pagi itu, aku merasa sendiri. Terbawa suasana seakan ini adalah surga.
Kami tidak berlama-lama di puncak. Persediaan air yang semakin menipis membuat kami harus bergegas turun. Sekitar pukul 10.00 kami mulai bersiap turun meninggalkan puncak Cikuray yang mulai tertutup kabut. Tak jauh dari puncak kami bertemu dengan rombongan pendaki Jepang bersama dengan guide-nya. Jika pukul 10.30 mereka sudah sampai puncak, pukul berapa mereka mulai mendaki?
Pertanyaan tentang pendaki Jepang itu terus membuatku penasaran. Jawabannya baru kutemukan saat kami mencapai pemancar sekitar pukul 13.30. Ternyata mereka memulai pendakian mulai pukul 08.00. What???? Aku geleng-gelang kepala saking tak percaya. Kami harus menghabiskan waktu 8 jam untuk sampai puncak. Tapi mereka hanya butuh 2 jam 30 menit..!!!
Ketakjubanku semakin menjadi saat pukul 14.00 rombongan pendaki Jepang itu turun dari puncak. Artinya, mereka hanya membutuhkan waktu 6 jam untuk pergi ke puncak Cikuray PP. Aku tidak tahu dengkul racing macam apa yang mereka gunakan. Tapi jika ada yang jual, aku ingin juga memilikinya.
Perjalanan kami belum usai. Setelah turun ke Patrol, kami pun menyempatkan mampir ke Pondok Pesantren Darul Arqom yang tak jauh dari kaki Cikuray. Rupanya, Hamdi yang berambut gondrong sebahu itu merupakan anak seorang ustadzah. Kami membersihkan diri dan makan malam di rumah Hamdi. Jamuan malam itu sungguh menggugah selera.
Di terminal Garut, aku berpisah dengan Eko dan Barkah yang langsung ke Kp. Rambutan. Aku harus ke Cileunyi dulu untuk mengejar bis jurusan Lebak Bulus. Sungguh, naik mobil elf dari Garut ke Cileunyi menjadi pengalaman buruk. Sang sopir terus saja memaksa memasukkan penumpang meski sudah melebihi kapasitas. Selama dua jam, kedua kakiku mati rasa karena terjepit tak bisa dikeluarkan.
Sekitar pukul 01.00 aku kembali ke Jakarta. Menghirup polusi udara khas ibukota dan akan menjalani rutinitas yang itu-itu saja. 2 hari di Cikuray mengajarkanku banyak hal. Perjuangan, kesabaran, keindahan dan tentu saja persahabatan. Bravo pendakian Indonesia..!!!

3 komentar:

  1. Keren gan perjalanan lo kali ini.. apa lagi Orang jepang yang punya Dengkul racing.

    Next Time mungkin gw ikut gan.

    BalasHapus
  2. hahaha 8 jam jalannya ngesot ya ja? :p papandayan yuk?

    BalasHapus
  3. wih lafuma nya boleh pinjem gak om?

    BalasHapus