Minggu, 26 September 2010

Sengketa Agraria dan Pengentasan Kemiskinan

Sumber: www.rimanews.com



Jumat 24 September 2010 ribuan orang petani turun ke jalan-jalan di ibukota untuk memperingati Hari Tani Nasional (HTN) yang jatuh pada hari itu. 24 September 50 tahun silam, merupakan tonggak perjuangan petani Indonesia. Sebab pada hari itulah disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU.PA).

Dengan usianya yang sudah setengah abad ini, UU. PA nampaknya belum menjadi pijakan bagi pengambil kebijakan di negri ini. Terbukti dengan masih banyaknya permasalahan yang dialami petani. Mulai dari tidak tersedianya lahan, harga bibit dan pupuk yang melangit, harga jual hasil panen yang rendah hingga masalah yang rawan namun seringkali diabaikan, sengketa agraria.

Jika dicermati lebih lanjut, sengketa agraria seringkali disertai dengan kekerasan dan penangkapan terhadap petani kecil. Menurut data yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), dari tahun 2000-Juni 2010 sedikitnya ada 1012 kasus sengketa yang melibatkan petani dan nelayan di Indonesia (Kompas, 29 Juli 2010). konflik agraria biasanya terjadi antara petani dengan perusahaan besar dan sudah terjadi puluhan tahun tanpa ada penyelesaian. Akibatnya, sengketa agraria cenderung disertai pelanggaran HAM terhadap petani.

Dalam banyak kasus, kekerasan ini dilakukan oleh aparat kepolisian. Mulai dari kasus penembakan petani di Desa Rengas, Ogan Ilir Sumsel, Buton Sulawesi Tenggara, Banggai Sulawesi Tengah, dan Kuala Senggigi Riau. Tak kurang dari 80 orang petani meninggal dalam aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama semester pertama tahun 2010 di seluruh Indonesia.

Jika disederhanakan, konflik agraria bermuara pada perebutan hak kepemilikan dan hak pengusahaan atas tanah sebagai sumber penghidupan. Pada awalnya, kepemilikan tanah di mana pun di dunia ini dimulai dengan kemampuan manusia dalam menggarap dan membuka tanah terlantar untuk penghidupannya. Asumsinya, kepemilikan tanah ditentukan oleh tanaman yang ditanam di atasnya.

Dalam semangat seperti inilah UU. PA terlahir. Undang-Undang inilah yang menjadi pedoman pengelolaan agraria sekaligus menjadi undang-undang payung hukum bagi UU agraria lain yang terbit setelahnya. Sayangnya, selama masa Orde Baru, UU PA ini dipetieskan dan keberadaannya antara ada dan tiada. Hal ini karena meskipun tidak dihapuskan, UU ini tidak lagi digunakan dan menerbitkan UU yang bertolak belakang dengan UU PA seperti UU Penanaman Modal Asing (UU PMA), UU perkebunan, dan UU Sumberdaya Air.

Dengan lahirnya UU PMA, perusahaan-perusahaan agribisnis berskala besar mulai berinvestasi membuka perkebunan berorientasi ekspor seperti sawit, karet, tebu, dan sebagainya. Dalam prosesnya, lahan yang dialihkan menjadi perkebunan seringkali merupakan lahan produktif para petani kecil. Dengan menggandeng pejabat dan aparat setempat, perusahaan-perusahaan ini memaksa warga melepaskan tanah mereka tanpa ganti rugi ataupun dengan ganti rugi yang tidak rasional.

Sebagai contoh, dalam proses advokasi sengketa agraria yang terjadi antara PT. Perkebunan Nusantara VII (PT.PN VII) dan masyarakat Ogan Ilir Sumsel diketahui bahwa proses ganti rugi yang dilakukan PTPN VII pada tahun 1982 disertai dengan intimidasi oleh militer. Selain itu, hanya lahan yang ada tanam tumbuhnya dan lahan yang bersertifikat saja yang diganti rugi, sebesar Rp. 150.000/ha. Padahal dalam PP no 24 tahun 1997 ditegaskan bahwa surat-surat tanah bukan satu-satunya pedoman kepemilikan tanah.

Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa baru 30 % tanah di Indonesia yang sudah bersertifikat. Oleh karena itu UU Pokok Agraria menjelaskan, bahwa hak yang paling tinggi merupakan hak milik, yaitu hak turun temurun. Hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang hanya bisa dimiliki warga negara Indonesia.
Program Pembaruan Agraria Nasional

Sengketa Agraria yang disertai dengan kekerasan terhadap petani ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Hampir diseluruh negara bercorak agraris pernah mengalami konflik serupa. Hal ini disebabkan pasca berakhirnya masa-masa penjajahan, struktur agraria di negara-negara bekas jajahan ini sangatlah timpang. Ada satu orang yang menguasai ratusan bahkan ribuan hektar tanah, disisi lain banyak yang tidak punya tanah sama sekali sehingga hanya menjadi buruh tani.

Melihat permasalahan tersebut, reforma agraria (landreform) menjadi agenda mendesak yang sangat penting. Dalam sebuah dokumen penting Bank Dunia yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP), Bank Dunia mengakui bahwa program Land Reform adalah sebuah jalan yang penting dalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negara dan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomi pedesaan.

Reforma agraria sebenarnya juga sudah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2007 lewat Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Sebelumnya, pemerintah juga sudah mengeluarkan Tap. MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun seperti yang sudah diduga sebelumnya implementasi dari program penting tersebut sangat minim.

Reforma agraria sejati, berprinsip pada penataan ulang ketimpangan kepemilikan tanah. Esensi dari reforma agraria adalah membagikan tanah kepada para petani kecil dan tak bertanah dengan seadil mungkin. Dari sini, tentu saja dibutuhkan kemauan politik yang sangat kuat dari pemerintah.

Dengan menjalankan reforma agraria, kita akan merasakan efek domino. Pertama, reforma agraria akan memberikan kesejahteraan pada para petani tak bertanah di pedesaan. Kedua, Dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga memuluskan kenaikan perekonomian nasional. Ketiga, Dengan tersedianya lapangan pekerjaan di pedesaan maka secara otomatis akan menekan angka urbanisasi. Sehingga penumpukan penduduk di Ibukota dan kota-kota besar lainnya bisa ditekan. Keempat, Dengan menurunnya angka urbanisasi maka permasalahan-permasalahan sosial seperti kriminalitas, kemacetan, polusi, kaum gelandangan dan pengemis di kota-kota besar lebih mudah diatasi. Kelima, Pengelolaan tanah oleh para petani kecil, ikut berdampak pada pengurangan emisi demi menjaga suhu bumi. Hal ini karena, petani berbasis keluarga biasanya mengguanakan teknologi sederhana yang ramah lingkungan. Keenam, reforma agraria akan menyelesaikan sengketa-sengketa agraria yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga tingkat pelanggaran HAM terhadap petani bisa dikurangi.

Sabtu, 25 September 2010

Urbanisasi dan Reforma Agraria




Untuk menjawab persoalan Urbanisasi, tentu kita harus mengetahui latar belakang dari terjadinya urbanisasi itu sendiri. Urbanisasi pada dasarnya diartikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Perpindahan ini biasanya bersifat masif dan berkaitan erat dengan masalah ekonomi. Orang-orang dari berbagai daerah berdatangan ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung maupun Surabaya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.

Ada dua hal yang membuat Urbanisasi kini menjadi masalah. Pertama, Setiap tahunnya tingkat urbanisasi semakin meningkat. Hal ini membuat kota-kota besar tak lagi mampu menampung arus kaum urban yang ingin mencari pekerjaan. Jakarta misalnya, pada malam hari penduduknya mencapai 8,5 juta jiwa dan akan lebih membludak lagi pada siang hari mengingat datangnya para pekerja dari kota-kota satelit seperti Tangerang, Depok maupun Bekasi. Maka wajar saja jika kemudian ada wacana pemindahan ibukota, sebab dengan kepadatan hampir 13000 jiwa/km2 Jakarta tentu saja sudah kelebihan muatan.

Kedua, Banyak dari warga daerah yang melakukan Urbanisasi ini tidak dibekali pendidikan dan ketrampilan yang memadai. Mereka hanya bermodalkan kenekatan dan bayang-bayang akan perubahan nasib yang akan mereka dapatkan di kota besar. Sayangnya, kehidupan keras di perkotaan membuat persaingan menjadi tidak rasional dan akhirnya bukan kesejahteraan yang diperoleh malah kesengsaraan.

Berbagai faktor urbanisasi inilah yang kini ditenggarai menjadi pemicu permasalahan sosial di kota-kota besar. Mulai dari kemacetan, tingginya angka kriminalitas, menjamurnya pemukiman kumuh di bantaran sungai dan rel-rel kereta, pedagang kaki lima dikawasan terlarang, praktek prostitusi, hingga beredarnya kaum gelandangan dan pengemis anak-anak dan lansia.

Berbagai permasalahan diatas, memang mau tak mau akan dihubungkan dengan urbanisasi. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah. Mulai dari penggusuran, razia KTP dan gepeng, hingga mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum yang menuai kontroversi karena salah satu isinya melarang siapapun untuk memberikan sumbangan bagi gelandangan, pengemis, pengamen dan pengelap mobil.

Sayangnya, berbagai upaya itu nampaknya tidak berhasil untuk menekan angka urbanisasi. Sebab, upaya-upaya tersebut hanya menyentuh kulit luarnya saja tanpa mengkaji lebih dalam latar belakang dari urbanisasi itu sendiri.

Mengapa orang-orang sampai melakukan urbanisasi?..pertanyaan itulah yang harus dijawab terlebih dulu jika kita memang ingin mengatasi persoalan urbanisasi. Kebanyakan kaum urban beralasan ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar. Lantas mengapa mereka ingin mencari pekerjaan dikota-kota besar meski tentu mereka tahu segala resikonya ? Tentu ini bukan sekedar mencari pengalaman belaka. Hal ini ternyata disebabkan karena didaerah mereka sudah sulit mencari pekerjaan. Kata kunci inilah yang harus dipahami oleh semua pihak.

Negara kita adalah Negara agraris, hampir seluruh masyarakat yang tinggal di pedesaan bekerja sebagai petani. Kecuali yang tinggal dikawasan pantai tentu saja. Sayangnya, masih ada jutaan petani gurem diluar sana yang hanya menguasai 0,5 ha untuk penghidupannya. Disisi lain, kurang lebih 470 perusahaan perkebunan telah menguasai 56,3 juta ha lahan produktif di Indonesia. Ini tentu saja sebuah ironi.
Ketimpangan dalam pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria inilah yang sebenarnya mengakibatkan tingkat urbanisasi begitu tinggi setiap tahunnya. Sebab, lahan-lahan produktif para petani ini banyak yang dialihfungsikan menjadi perumahan, pabrik-pabrik maupun menjadi lahan perkebunan perusahaan-perusahaan besar yang berorientasi ekspor. Jadi wajar saja jika masyarakat pedesaan memilih hijrah ke perkotaan karena memang mereka tidak memiliki pekerjaan atau hanya menjadi buruh tani yang penghasilannya jauh dari cukup.

Sebenarnya, pemerintah sudah pernah menelurkan program yang berpotensi menekan angka urbanisasi. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan tahun 2007 lalu. Pada intinya, PPAN bertujuan membagikan 9,3 juta hektar tanah terlantar kepada para petani di pedesaan. Jika satu Kepala keluarga mendapat jatah 2 hektar, maka akan ada lebih dari 4,5 juta KK yang akan terselamatkan dan mendapat pekerjaan.

Sayangnya, Program ini hanya tinggal program belaka. Sampai sekarang belum ada realisasinya. Maka wajar saja jika angka kemiskinan di pedesaan yang berujung pada urbanisasi dan akhirnya mengakibatkan permasalahan sosial diperkotaan tak kunjung usai. Daripada repot-repot melakukan penggusuran disana-sini yang bertentangan dengan nurani tentu akan lebih bijaksana jika pemerintah kembali menggalakkan program Pembaruan Agraria Nasional ini untuk menekan angka pengangguraan di pedesaan.

Nb: Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia (25 September 2010)