Seperti daun yang
rontok di musim gugur, satu per satu media cetak tersungkur. Era digital
memaksa mereka untuk bertransformasi atau mati.
#LastPrintIssue.
Tulisan itu terpampang cukup besar pada halaman depan majalah berita mingguan
Newsweek edisi Desember tahun lalu. Gedung kantor lama Newsweek di Manhattan
New York yang menjadi latar belakang dicetak buram, seakan menggambarkan betapa
nelangsanya majalah yang didirikan oleh Thomas J.C Martin ini beberapa tahun
terakhir.
Setelah 80 tahun tanpa henti mewartakan berita dalam 12
bahasa, riwayat Newsweek harus terhenti setelah berusaha bertahan menghadapi
serbuan digital. Newsweek memang tidak mati. Newsweek hanya bertransformasi
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan tuntutan bisnis. Mulai awal 2013, majalah
ini akan beralih ke format digital dan online. Versi digital majalah ini akan
dijual sama dengan harga cetaknya (sekitar US$4,99).
Langkah drastis ini memang mau tidak mau harus diambil oleh
pihak manajemen. Pasalnya, sejak tahun 2005 sirkulasi Newsweek merosot 50%
hingga menjadi 1,5 juta eksemplar saja. Sementara pengiklan juga anjlok hampir
80%. Tak pelak, Newsweek juga harus kehilangan potensi keuntungan hingga US$40
juta per tahun.
Gonjang-ganjing Newsweek mulai sangat terasa saat Washington
Post Co.—pemilik Newsweek sejak 1961—menjual majalah ini kepada seorang pengusaha
stereo, Sydney Harman pada 2010. Sebelum meninggal, Harman akhirnya
menggabungkan Newsweek dengan The Daily Beast yang saat itu dipimpin oleh Tina
Brown.
Bukan Yang Pertama
Apa yang menyebabkan media sebesar dan sekelas Newsweek
bangkrut, dan mengakhiri penetrasinya selama 80 tahun ke kios-kios majalah di
seantero jagat? Benarkah era digital
yang menjadi “malaikat maut” bagi sekumpulan majalah cetak konvensional, yang
menghabiskan banyak sekali uang untuk biaya produksi dan distribusi?
Sebagai media konvensional, eksistensi media cetak sangat
bergantung pada oplah dan pemasang iklan. Saat kedua elemen penting tersebut
hilang, maka saat itulah sebuah media terancam eksistensinya. Hal itulah yang harus dialami bahkan oleh
media dengan pengalaman segudang seperti Newsweek.
Newsweek memang bukan yang pertama. Sebelumnya sudah tak
terhitung jumlah media cetak yang harus gulung tikar ataupun mengganti platform
cetak menjadi digital. Mulai dari Chicago Tribune, Los Angeles Time, The Rocky Mountain News,
San Juan Stars hingga Kentucky Post adalah contoh-contoh media cetak di Amerika
yang tak lagi hadir di tengah masyarakat.
Berbagai upaya untuk membendung kerugian dari media cetak
sudah dilakukan. Mulai dari mengurangi jumlah halaman serta ukuran
kertas—seperti yang dilakukan oleh The Tribune Company di Amerika—hingga
mengurangi durasi penerbitan dari setiap hari menjadi 3 kali seminggu—seperti yang
dilakukan oleh harian New Orleans Times Picayune.
Senada dengan di Amerika, media-media asal Inggris pun
mengalami nasib serupa. Media terkemuka seperti The Independent, Daily Mail,
The Derby Telegraph, The Bristol Evening Post dan Leicester Mercury ramai-ramai
menyatakan akan merumahkan sebagian besar pekerjanya. Beban operasional yang
semakin besar, membuat nafas media cetak kembang-kempis.
Selain bukan menjadi yang pertama, banyak kalangan memandang
Newsweek juga bukan media cetak terakhir yang akan pindah haluan. Dua media
besar asal Inggris—The Guardian dan The Observer—juga diprediksi akan segera
mengikuti langkah Newsweek. Beberapa tahun terakhir, pemilik The Guardian harus
berjuang untuk membendung kerugian yang mencapai ₤44 juta.
Senjakala media cetak juga tergambar dari hasil riset yang
dilakukan oleh USC Annenberg Center for
the Digital Future. Dengan tingkat penetrasi internet yang luar biasa
pesatnya di Amerika, lembaga riset ini berani memprediksi media cetak Amerika
akan mati dalam kurun waktu 5 tahun.
“Hanya 4 media besar seperti The New York Time, USA Today,
the Washington Post dan the Wallstreet Journal yang akan bertahan pada versi
cetak,” ujar Jeffrey I. Cole, direktur USC Annenberg.
Rupert Murdoch, sang taipan pemilik raksasa media dunia—News
Corporation—bahkan berani memprediksi media massa akan mati dalam 20 tahun
lagi.
Bukan Hal Yang buruk
Lantas apa yang salah dari konversi media cetak ke ranah
digital? Tentu tidak ada. Apa yang dilakukan oleh Newsweek sebenarnya merupakan
sebuah strategi untuk bertahan hidup. Dalam sejarah perjalanannya, bukan sekali
media cetak diproyeksikan akan runtuh.
Media cetak terlahir dari pergulatan sejarah yang panjang.
Riwayatnya merentang jauh mulai dari era sebelum masehi, hingga mengalami
perkembangan pesat saat Johannes Gutenberg hadir dengan mesin cetak inovasinya.
Dengan pengalaman panjang ini, media cetak sebenarnya memiliki karakteristik
tersendiri.
Saat Marconi menemukan radio pada 1895 banyak yang
memprediksi media cetak akan kehilangan pamornya. Tapi ternyata gulungan koran
dan majalah tetap dibaca banyak orang. Begitupula ketika televisi mulai
menjajah rumah-rumah di seantero jagat. Banyak media cetak yang gugur, tapi tak
sedikit pula yang bertahan.
Kini saat orang mulai meneriakkan new media, muncul kekhawatiran untuk kesekian kalinya bahwa media
cetak tak akan bertahan. Pro dan kontra bermunculan. Tapi jika bertransformasi
untuk menjadi yang lebih baik bagi pembaca, tak ada yang salah bukan?
------------
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Teknopreneur edisi Maret 2013