Rabu, 22 Mei 2013

Usai Newsweek Siapa Lagi?...



Seperti daun yang rontok di musim gugur, satu per satu media cetak tersungkur. Era digital memaksa mereka untuk bertransformasi atau mati.

#LastPrintIssue. Tulisan itu terpampang cukup besar pada halaman depan majalah berita mingguan Newsweek edisi Desember tahun lalu. Gedung kantor lama Newsweek di Manhattan New York yang menjadi latar belakang dicetak buram, seakan menggambarkan betapa nelangsanya majalah yang didirikan oleh Thomas J.C Martin ini beberapa tahun terakhir. 

Setelah 80 tahun tanpa henti mewartakan berita dalam 12 bahasa, riwayat Newsweek harus terhenti setelah berusaha bertahan menghadapi serbuan digital. Newsweek memang tidak mati. Newsweek hanya bertransformasi menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan tuntutan bisnis. Mulai awal 2013, majalah ini akan beralih ke format digital dan online. Versi digital majalah ini akan dijual sama dengan harga cetaknya (sekitar US$4,99).  

Langkah drastis ini memang mau tidak mau harus diambil oleh pihak manajemen. Pasalnya, sejak tahun 2005 sirkulasi Newsweek merosot 50% hingga menjadi 1,5 juta eksemplar saja. Sementara pengiklan juga anjlok hampir 80%. Tak pelak, Newsweek juga harus kehilangan potensi keuntungan hingga US$40 juta per tahun.
Gonjang-ganjing Newsweek mulai sangat terasa saat Washington Post Co.—pemilik Newsweek sejak 1961—menjual majalah ini kepada seorang pengusaha stereo, Sydney Harman pada 2010. Sebelum meninggal, Harman akhirnya menggabungkan Newsweek dengan The Daily Beast yang saat itu dipimpin oleh Tina Brown.

Bukan Yang Pertama
Apa yang menyebabkan media sebesar dan sekelas Newsweek bangkrut, dan mengakhiri penetrasinya selama 80 tahun ke kios-kios majalah di seantero jagat?  Benarkah era digital yang menjadi “malaikat maut” bagi sekumpulan majalah cetak konvensional, yang menghabiskan banyak sekali uang untuk biaya produksi dan distribusi?

Sebagai media konvensional, eksistensi media cetak sangat bergantung pada oplah dan pemasang iklan. Saat kedua elemen penting tersebut hilang, maka saat itulah sebuah media terancam eksistensinya.  Hal itulah yang harus dialami bahkan oleh media dengan pengalaman segudang seperti Newsweek.

Newsweek memang bukan yang pertama. Sebelumnya sudah tak terhitung jumlah media cetak yang harus gulung tikar ataupun mengganti platform cetak menjadi digital. Mulai dari Chicago Tribune,  Los Angeles Time, The Rocky Mountain News, San Juan Stars hingga Kentucky Post adalah contoh-contoh media cetak di Amerika yang tak lagi hadir di tengah masyarakat.

Berbagai upaya untuk membendung kerugian dari media cetak sudah dilakukan. Mulai dari mengurangi jumlah halaman serta ukuran kertas—seperti yang dilakukan oleh The Tribune Company di Amerika—hingga mengurangi durasi penerbitan dari setiap hari menjadi 3 kali seminggu—seperti yang dilakukan oleh harian New Orleans Times Picayune.

Senada dengan di Amerika, media-media asal Inggris pun mengalami nasib serupa. Media terkemuka seperti The Independent, Daily Mail, The Derby Telegraph, The Bristol Evening Post dan Leicester Mercury ramai-ramai menyatakan akan merumahkan sebagian besar pekerjanya. Beban operasional yang semakin besar, membuat nafas media cetak kembang-kempis.

Selain bukan menjadi yang pertama, banyak kalangan memandang Newsweek juga bukan media cetak terakhir yang akan pindah haluan. Dua media besar asal Inggris—The Guardian dan The Observer—juga diprediksi akan segera mengikuti langkah Newsweek. Beberapa tahun terakhir, pemilik The Guardian harus berjuang untuk membendung kerugian yang mencapai ₤44 juta.

Senjakala media cetak juga tergambar dari hasil riset yang dilakukan oleh USC Annenberg Center for the Digital Future. Dengan tingkat penetrasi internet yang luar biasa pesatnya di Amerika, lembaga riset ini berani memprediksi media cetak Amerika akan mati dalam kurun waktu 5 tahun.

“Hanya 4 media besar seperti The New York Time, USA Today, the Washington Post dan the Wallstreet Journal yang akan bertahan pada versi cetak,” ujar Jeffrey I. Cole, direktur USC Annenberg. 
Rupert Murdoch, sang taipan pemilik raksasa media dunia—News Corporation—bahkan berani memprediksi media massa akan mati dalam 20 tahun lagi.

Bukan Hal Yang buruk
Lantas apa yang salah dari konversi media cetak ke ranah digital? Tentu tidak ada. Apa yang dilakukan oleh Newsweek sebenarnya merupakan sebuah strategi untuk bertahan hidup. Dalam sejarah perjalanannya, bukan sekali media cetak diproyeksikan akan runtuh.

Media cetak terlahir dari pergulatan sejarah yang panjang. Riwayatnya merentang jauh mulai dari era sebelum masehi, hingga mengalami perkembangan pesat saat Johannes Gutenberg hadir dengan mesin cetak inovasinya. Dengan pengalaman panjang ini, media cetak sebenarnya memiliki karakteristik tersendiri.
Saat Marconi menemukan radio pada 1895 banyak yang memprediksi media cetak akan kehilangan pamornya. Tapi ternyata gulungan koran dan majalah tetap dibaca banyak orang. Begitupula ketika televisi mulai menjajah rumah-rumah di seantero jagat. Banyak media cetak yang gugur, tapi tak sedikit pula yang bertahan.

Kini saat orang mulai meneriakkan new media, muncul kekhawatiran untuk kesekian kalinya bahwa media cetak tak akan bertahan. Pro dan kontra bermunculan. Tapi jika bertransformasi untuk menjadi yang lebih baik bagi pembaca, tak ada yang salah bukan? 
------------
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Teknopreneur edisi Maret 2013