Selasa, 24 November 2009

Reformasi Institusi Penegak Hukum Ala Presiden

Apa yang salah dengan negri ini hingga bisa terjadi kasus memalukan yang melibatkan tiga institusi bergengsi (Polri, Kejaksaan Agung dan KPK) serta bahkan presiden sekalipun?. Bagi banyak kalangan, jawaban atas pertanyaan ini bisa saja sangat beragam. Namun yang pasti, sedang terj$adi krisis kemanusiaan, keadilan dan kebenaran di tubuh institusi penegak hukum republik ini.

KIni pertentangan bukan lagi terjadi diantara kelas borjuis dan kelas pekerja seperti kata Marx, namun pertentangan juga sudah merambah antara elite politik yang seharusnya mengurusi rakyat Indonesia .

Bak pertunjukan drama ataupun adegan film-film Hollywood , kasus bank Century menggelinding seperti bola liar menyeret pengusaha, kepolisian, Makelar Kasus (Markus), Jaksa, pemberantas korupsi hingga presiden dan media untuk terjerumus ke dalamnya. Dan yang paling mencengangkan tentu saja keberanian polisi untuk memperkarakan dua pimpinan KPK nonaktif, Bibit S. Riyanto dan Chandra Chamzah meskipun tidak ada cukup bukti.

Meskipun pada akhirnya presiden menginstruksikan kepada polisi untuk mengehentikan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas rekomendasi Tim 8, citra polisi sebagai institusi penegak hukum yang tidak professional sudah terlanjur berkembang. Ditambah lagi dengan pemanggilan dua buah Koran nasional Seputar Indonesia dan Kompas oleh Mabes Polri.

Disaat masyarakat sedang geleng-geleng kepala menyaksikan ketidakmampuan polisi menyeret Anggodo yang sudah jelas-jelas memproklamirkan dirinya di berbagai media massa sebagai pelanggar hukum, masyarakat dikagetkan dengan kasus dipenjaranya seorang nenek tua yang mengambil tiga biji kakao untuk ditanam dirumah. Disini terlihat jelas bahwa kaum pengusaha sudah bisa “membeli” kepolisian untuk memudahkan mereka mengeruk keuntungan.

Oleh karena itu, inilah saat yang tepat bagi presiden SBY untuk mereformasi lembaga penegak hukum di Indonesia . Sebelum Polri dan kejagung terlanjur jauh berubah dari lembaga penegak hukum menjadi lembaga “penjual hokum”, pemerintah terutama SBY harus segera meluruskan kedua lembaga penegak hukum ini.

Dukungan yang diberikan oleh masyarakat, harus segera dijawab dengan tegas. Reformasi institusi penegak hukum bukan hanya pencopotan jabatan orang per orang. Reformasi juga harus menyentuh aspek paling dasar dari institusi penegak hukum. Keberadaan Makelar kasus dan mafia peradilan yang membuat citra polisi menjadi buruk harus segera diberantas.

Sayangnya, presiden SBY tidak bisa mengambil momen perubahan itu dalam konfrensi pers untuk menanggapi rekomendasi tim 8 di Istana Merdeka kemarin. SBY bukannya menegaskan langkah reformasi institusi hokum malah semakin membuat bingung masyarakat.Statemen yang keluar pada peristiwa penting itu terlalu bertele-tele dan tidak tegas seperti menangani kasus biasa yang tidak penting.

Hal inilah yang akan semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap penindakan hukum di Indonesia. Seharusnya sebagai pemimpin tertinggi presiden harus mampu menjamin keberpihakan pemerintah terhadap rakyat. Tentu kita masih harus menunggu seberani apa SBY mampu mereformasi institusi penegakkan hukum di Indonesia.