Selasa, 23 Maret 2010

Ruang Publik Dalam Dunia Maya



Dalam bahasa Jurgen Habermas, negri ini mempunyai sebuah ruang publik yang menyimpan kekuatan-kekuatan demokratis. Ruang publik ini bersifat independen dan bersih dari intervensi-intervensi. Didalamnya suara-suara rakyat saling berkomunikasi dan berwacana demi satu cita-cita luhur, demokrasi deliberatif.

Demokrasi deliberatif yang menjadi wacana Habermas sebagai efek berjalannya ruang publik akan mengakomodir dan meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pembentukan aspirasi dan opini, agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.

Namun dalam kenyataannya, ruang publik yang terlembaga dalam DPR RI seperti kehilangan perannya sehingga kebijakan-kebijakan yang dilahirkan tidak lagi legitimate. Dalam kasus terbaru perseteruan antara POLRI vs KPK saja DPR terlihat memble. Suara-suara yang dilontarkan masyarakat dari balik megahnya gedung perwakilan rakyat yang menuntut penyelesaian kasus dugaan kriminalisasi KPK hanya ditanggapi sekilas dan setelah itu hilang begitu saja. Hal ini menandakan bahwa intensitas partisipasi masyarakat tidak mendapatkan tempat.

Tak heran jika fenomena yang muncul saat ini, masyarakat lebih suka menyuarakan aspirasinya lewat dunia maya. Dalam kasus Chandra Hamzah-Bibit S. Riyanto saja lebih dari 1000.000 orang Facebooker turut berpartisipasi. Belum lagi jutaan komentar, status dan artikel yang tersebar di berbagai situs seperti Facebook, Twitter maupun Blog.

Hal ini memang tidak bisa dilepaskan dari revolusi media pada paruh abad ke-20. Bermula dari perkembangan teknologi komunikasi sejak masa Yunani hingga penemuan mesin cetak oleh Gutenberg, pola komunikasi memang selalu berubah sebagai efek revolusi industri. Ditambah lagi dengan merajalelanya internet, kini dunia sudah menjadi global village (kampung global).

Dalam unsur komunikai, source, message, channel, receiver (SMCR), internet memang menjadi channel atau saluran komunikasi yang paling mudah dan murah bagi terlaksananya komunikasi horizontal antar masyarakat maupun komunikasi vertikal dari masyarakat kepada kaum elite politik. Ketika ruang publik DPR dibungkam dan media-media seperti koran dan TV tidak lagi objektif, internet memang bisa menjadi tempat pelarian yang pas. Sikap kritis yang dilontarkan masyarakat lewat dunia maya membuat batas-batas ruang publik itu tak lagi kentara.

Gejala-gejala yang muncul memang sudah mengubah persepsi orang tentang konsep media. Televisi dan koran kini tak lagi menjadi arus utama. Internet yang menjanjikan kemudahan dan kecepatan berkomunikasi menjadi tempat menjamurnya beragam fenomena sosial di masyarakat. Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang akan muncul gerakan-gerakan grasroot lewat pemanfaatan dunia maya.

Dengan mengarus-utamanya internet dalam kehidupan sehari-hari bukan tidak mungkin masyarakat akan terjebak periode akhir sosial di mana manusia tidak lagi merasa nyata. Jika sudah begitu, pergerakan dalam ranah praksis akan semakin berkurang. Padahal dunia akan menjadi tidak seimbang jika suara-suara kritis dan pergerakan sosial hanya terkonsentrasi di wilayah virtual.

Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah untuk mempertimbangkan fungsi yang dijalankan dunia maya sebagai pranata sosial. Sebab suara-suara kritis masyarakat yang terdengar dari balik layar monitor yang membuat dunia semakin sempit itu adalah suara rakyat yang peduli terhadap bangsanya. Selain itu, pemerintah juga harus membuka kembali keran-keran komunikasi vertikal yang selama ini tersumbat beragam kepentingan. Hal ini menjadi penting agar kasus penangkapan Prita Mulyasari dalam kasus dengan RS Omni International beberapa waktu lalu yang berusaha menjalankan parlemen online tak lagi terulang.

Seputar Indonesia 18 November 2009