Rabu, 25 Maret 2015

Bursa, Ikan Kaleng & Infrastruktur

Sumber: www.marketplus.co.id


Saat menutup perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di hari terakhir 2014, Wakil Presiden Jusuf Kalla membeberkan cerita soal ikankaleng busuk.

“Di pasar modal ini ada cerita orang jual ikan kaleng dengan harga tinggi. Lalu dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi lagi. Begitu dibuka ternyata ikannya busuk,” ujar Jusuf dalam pidatonya, Rabu (30/12). “Lalu ada yang bilang ini kan memang bukan untuk dimakan tetapi untuk diperjualbelikan,” tambahnya.

Di hadapan pelaku pasar modal itulah Wapres menyindir kinerja bursasaham. Memang, performa IHSG menjadi salah satu yang mencatatkan pertumbuhan tertinggi di Asia.  Secara year to date bursa saham kita tumbuh 22%, hanya kalah dari Filipina. Ini jelas kabar menggembirakan di tengah terpaan sentimen global. Tapi rupanya hal itu belum memuaskan orang nomor dua di Republik Indonesia tersebut.

JK mengibaratkan ikan busuk seperti saham emiten. Diperjualbelikan dengan harga tinggi tapi buruk secara fundamental. Kondisi seperti itulah yang harus dihindari oleh pelaku pasar modal di Tanah Air. Jika terjadi, inilah sinyal pertumbuhan yang serba timpang. Investor besar berpesta tetapi masyarakat merana. Ini juga tercermin dari data pertumbuhan indeks yang sangat timpang dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,2%.

Untuk menghindari hal tersebut, emiten diminta menggenjot produksi. Mengalokasikan dana yang didapat dari pasar modal untuk kembali berekspansi. Dengan demikian ekonomi akan terangsang. Konsumsi melonjak. Pertumbuhan ekonomi 7% menjadi bukan sebatas mimpi. Di kondisi inilah harga saham merepresentasikan performa fundamental perusahaan. Bukan seperti ikan busuk yang diceritakan Jusuf Kalla.

Jusuf boleh jadi benar. Selama ini orang kebakaran jenggot jika IHSG merosot. Padahal, itu bukan patokan utama. “Pasar modal memang penting. Tapi perhatikan juga Pasar Tanah Abang, Pasar Klewer, dan pasar-pasar lainnya,” begitu katanya.

Apa yang diungkapkan JK seperti membuka mata kita. Pasar-pasar yang dianggap konvensional itulah yang menggerakkan ekonomi. Permintaan dan penawaran bertemu. Transaksi dilakukan atas dasar kebutuhan hidup. Di pasar-pasar itulah masyarakat kecil, bukan pemilik modal kelas kakap, menggantungkan hidup.

Cerita ikan kaleng busuk dari JK ini kembali dipertegas oleh Presiden Joko Widodo 3 hari kemudian. Dalam pidato pembukaan debut IHSG di 2015, Jokowi memancarkan sinyal optimisme. Ruang fiskal yang kian lebar membuat komitmen percepatan infrastruktur bukan isapan jempol.

“Pengalihan subsidi BBM membuat ruang fiskal kita semakin lebar. Saat ini ada sekitar Rp240 triliun yang bisa dipakai untuk membangun infrastruktur seperti waduk, irigasi, jalan tol, jalur kereta api, pelabuhan, dan airport,” kata Presiden, Jumat (2/1).

Dana segar Rp240 triliun memang terlihat besar, tetapi apakah cukup untuk menyediakan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan? Rasanya tidak. Untuk itulah dibutuhkan sumber pendanaan lain yang relatif mudah diakses. Di sinilah pasar modal mengambil peran. Menyediakan akses bagi korporasi mendanai proyek mereka.

Jokowi memang tidak seperti JK yang langsung menunjuk hidung para pelaku pasar modal. Tapi pesan yang disampaikan Presiden gamblang menggambarkan. Bursa harus bisa mendorong pembangunan infrastruktur. Jika hal itu bisa dilakukan, cerita ikan kaleng busuk dari JK tentu akan jadi sebatas cerita.

Presiden memang tidak menyangkal, tantangan ke depan tidak mudah. Sentimen global cenderung sulit dikalkulasi. Namun, kolaborasi antara efektifitas pasar modal dan percepatan infrastruktur dipercaya akan membuat ekonomi makin kokoh. Tak lekang meski amukan tren negatif global menghadang.

Guna mendukung percepatan investasi, Presiden juga menjanjikan satu hal yang selama ini menjadi barang langka. Kemudahan perizinan. Inilah yang selama ini menjadi benalu investasi. “Bagaimana bisa untuk izin mau bangun pembangkit listrik saja memakan waktu bertahun-tahun. Padahal kita krisis listrik,” ujar Jokowi.

Perizinan yang tidak berbelit-belit memang jadi modal utama menggenjot ekonomi. Siapa investor yang tidak lari jika baru niat saja sudah dipersulit? Maka, ketika Jokowi mengancam akan memecat pejabat yang mempersulit perizinan, tepuk tangan hadirin bergemuruh. Tentu sambil berharap apa yang diucapkan Presiden bukan lip service semata.

Obligasi Infrastruktur

Tentu tidak adil rasanya jika tidak menyebut rencana Bursa Efek Indonesia guna mendukung ambisi pemerintah. Sebagai wasit di pasar modal, otoritasbursa jelas punya peran yang tidak kecil. Ito Warsito, Direktur Utama BEI, mengatakan pembiayaan infrastruktur memang menjadi salah satu fokus utama BEI.

Ito menuturkan pihaknya juga tengah menggodok ketentuan yang mempermudah perusahaan mendapatkan dana segar untuk membangun infrastruktur. Meskipun belum beroperasi, perusahaan-perusahaan ini bisa tetap menerbitkan obligasi, asal sudah punya penjamin yang akan menanggung kupon jika perusahaan tersebut tidak bisa memenuhi kewajibannya.

Memang tidak semua proyek bisa mendapatkan fasilitas ini. BEI akan melakukan penilaian komprehensif dari sisi kelayakan proyek, kebutuhan, kronologi, dan pihak-pihak yang terlibat. “Kalau yang terlibat ternyata bermasalah yang tidak bisa,” katanya.
Emiten yang produktif, harga saham yang melonjak, dan akses pembiayaan infrastruktur yang serba mudah dari pasar modal tentu akan menggairahkan ekonomi. Semoga saja ikan kaleng busuk memang sebatas cerita dari Pak JK.

0 komentar:

Posting Komentar