Rabu, 25 Maret 2015

Wantina, Motor Butut & Perlawanan

Spanduk perlawanan petani Ogan Ilir

Suatu malam, Juni 2010, puluhan orang berkumpul membentuk lingkaran di satu rumah panggung milik Abdul Muin. Ruangan selebar setengah lapangan badminton itu, panas oleh debat.

Suasana makin tak terkendali. Belum selesai orang berbicara, lainnya sudah menimpali.
Sebagian besar adalah penduduk Dusun Lubuk Bandung, Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir,
Sumatra Selatan. Saat suara makin meninggi, seorang pria dengan kain sarung dan kaus oblong memasuki ruangan. Tubuhnya kurus dan berkulit sawo matang. Wajahnya tirus. Dia duduk di antara orang-orang yang berdebat. Tangannya kemudian teracung mencoba menengahi debat yang tak berkesudahan. “Motor sudah ku jual,” ujarnya singkat.

Kalimat singkat itu berhasil membuat puluhan pasang mata mengarah padanya. Pria bersarung itu berhasil menguasai suasana dalam waktu singkat. Senyap tibatiba menjalar. Orang itu sering dipanggil Wantina. Wantina bukan nama sebenarya. Dalam kartu identitas, namanya tertulis
Sriwansyah. Sapaan Wantina didapatnya setelah menikahi bernama Khotina, istri tercintanya.

Entah siapa yang memulai, tetapi nama itu terlanjur melekat menjadi panggilan sehari-hari. Umurnya baru di awal 30-an. Namun, malam itu, dia menjadi penengah di antara orang-orang yang jauh lebih tua. Wantina adalah salah satu petani Lubuk Bandung yang berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII) Unit Usaha Cinta Manis.

Embrio perseteruan dimulai pada 1980-an saat perusahaan pelat merah ini membuka lahan tebu seluas 20.000 hektar di enam rayon. Ini meliputi Kecamatan Inderalaya, Lubuk Keliat, Muara Kuang, Payaraman, Rantau Alai, Tanjang Raja dan Tanjung Batu.

Dusun Lubuk Bandung yang ditinggali Wantina termasuk rayon 6 bersama Dusun Rengas dan Dusun Betung. Masyarakat mengklaim hanya 375 hektare yang baru diganti rugi dari total 1.495 hektare. Alhasil, Wantina dan warga lainnya menuntut PTPN VII untuk mengembalikan 1.020 hektare tanah yang saat ini ditanami tebu.

PTPN VII adalah perusahaan milik negara yang dibentuk pada 1996, serta memfokuskan bisnisnya di sektor perkebunan kelapa sawit, karet, tebu dan teh. Berdasarkan situs resminya, cakupan wilayah korporasi itu terdiri dari Provinsi Lampung, Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Bengkulu.

Masing-masing memiliki sepuluh unit usaha, 14 unit usaha serta tiga usaha. PTPN VII juga adalah hasil penggabungan empat PTPN, dan salah satunya merupakan milik Belanda yang dinasionalisasi pada 1957. Pada Oktober 2008, konflik memanas. Ini adalah saat PTPN VII memaksa penduduk untuk mengosongkan kawasan sekitar payau atau area rawa yang selama ini dimanfaatkan untuk berkebun. Wantina juga berkebun di wilayah itu.

Dia mulai mengorganisirwarga untuk mempertahankan hak mereka. Eskalasi semakin memanas hingga tahun berikutnya. Tak hanya dari Lubuk Bandung, ratusan petani dari Dusun Rengas dan Dusun Betung pun bergabung. Operasi perusahaan terganggu karena warga menutup akses ke perkebunan. Pada Januari 2009, Bupati Ogan Ilir Mawardi Yahya memerintahkan perusahaan untuk mengembalikan tanah di sekitar payau Mungkin saja, ini adalah satu kemenangan kecil. Aksi pun berlanjut.

Mereka bergerilya melakukan sabotase terhadap aktivitas perusahaan. Akses jalan ditutup. Truk pengangkut tebu dihentikan. Praktis pada masa-masa itu Wantina banyak menghabiskan waktunya untuk melawan. Ditemani sepeda motor bututnya, Wantina bertemu dengan banyak petani lainnya. Ini pun ada hasilnya.

Pada 29 Desember 2009, Badan Pertanahan Nasional Sumatra Selatan mengeluarkan surat penting. PTPN VII Cinta Manis diumumkan hanya memiliki lahan beralaskan hak guna usaha (HGU) sebesar 6.500 hektare dari total sekitar 20.000 hektare.

Berbekal dari surat BPN, warga mulai melakukan pendudukan di atas lahan yang diklaim. Mereka menebas tebu. Pondok-pondok didirikan. Kelompok-kelompok kecil mulai dibentuk. Setiap Jumat, puluhan petani Lubuk Bandung berbondong-bondong memasuki lahan tebu. Aksi tersebut, tetap dilakukan walaupun perusahaan sudah memberikan peringatan. Wantina menjadi motor dari gerakan itu.

Setelah berjalan beberapa minggu, tantangan demi tantangan lainnya berdatangan. Kepolisian Resor Payaraman akhirnyamengeluarkan surat perintah penangkapan kepada 12 petani Lubuk Bandung dengan tuduhan perusakan lahan tebu. Surat itu sedikit banyak mempengaruhi perlawanan warga. Tidak sedikit yang memilih mundur karena takut ditangkap. Namun,tak sedikit pula yang masih melawan.

Pada 23 Maret 2010, belasan polisi memasuki dusun pada malam hari untuk menangkap ke-12 buronan tersebut. Dua tokoh pimpinan, Busrah dan Djamaludin berhasil diciduk malam itu.

***
Wantina adalah sosok yang periang. Dia suka berkelakar meski terkadang agak keterlaluan. Wantina juga memiliki reputasi buruk pada masa lalu. Dia identik dengan judi, minuman keras, dan berbagai tindak kriminal. Mencuri hewan ternak seperti ayam, bebek, dan sapi sudah menjadi hal yang biasa. Saat masih bekerja sebagai satuan pengaman PTPN VII, dia juga rajin menggasak berkarung-karung pupuk yang disimpan di gudang perusahaan.

Namun,sejak melawan, dia menjadi primadona. Keberaniannya menonjol di antara petani lainnya. Meski tidak secara formal, Wantina dianggap sebagai salah satu pemimpin. Dengan pengalamannya bertahun-tahun di dunia kriminal, Wantina punya banyak kawan.

Hobinya menjelajah dari satu dusun ke dusun lain dengan sepeda motor butut kebanggaannya. Sepeda motor Suzuki Smash pada 2004 itu sudah tidak memiliki badan utuh. Rangka badannya macam tengkorak. Rem pun diganti dengan kaki. Jika bepergian pada malam hari, dia harus membawa senter karena lampu si butut tak berfungsi.

Malam itu, di pertengahan Juni 2010, Wantina tidak terlihat seperti biasanya. Wajahnya kuyu tampak kurang gairah. Kali ini, dia datang bukan dengan celetukan iseng dan bikin orang terpingkal-pingkal. Namun, di antara orang-orang yang berdebat, dia justru lebih realistis.

Pangkal persoalan ini sebenarnya pada soal uang. Kedua pimpinan yang ditangkap, Busrah dan Djamaludin saat ini sedang mendekam di rumah tahanan Merdeka, Palembang. Persidangan demi persidangan sudah tiap minggu dilakukan.

Setiap minggu pula warga berbondong-bondong mendatangi lokasi persidangan menggunakan truk mendukung kedua pesakitan tersebut. Masa-masa ini adalah masa yang sulit bagi warga Lubuk Bandung. Keduanya dihukum 15 bulan. Dana untuk perlawanan terus membengkak.

Selain membiayai ongkos persidangan, warga juga menanggung hidup keluarga Busrah dan Djamaludin. Kini, mereka baru saja mendapatkan kabar harus menyediakan uang beberapa juta rupiah dalam waktu satu minggu. Bagi warga Lubuk Bandung yang hanya berpenghasilan
Rp500 ribu—Rp800 ribu per bulan, biaya itu menambah beban.

Di tengah kebingungan itulah Wantina mengabarkan telah menjual sepeda motor bututnya seharga Rp1 juta. Si butut yang selama ini menemaninya menggalang perlawanan. Si butut itu pula yang dipakai istrinya, Tina, untuk memanen getah karet. Sang istri hanya bisa pasrah. Beberapa tahun terakhir, saat sang suami disibukkan pada aktivitas perjuangan, Tina yang menjadi tumpuan keluarga.

Setiap pagi dia harus menuju kebun karet sejauh 3 kilometer dan pulang menjelang siang. Kini dia harus berjalan kaki sejauh 6 kilometer. Walaupun kesal, dia menganggap ini adalah bentuk
dukungan kepada sang suami. “Ya begitulah kelakuan kakakmu itu,” ujarnya sambil tertawa.

Dan begitulah, Wantina yang saya kenal.



0 komentar:

Posting Komentar