Rabu, 25 Maret 2015

Reksa Dana Belum Sampai di Pelosok Negeri



Hingar bingar industri reksa dana di Ibukota nampaknya tak sampai menjangkau pelosok negeri. Di Langsa, kota kecil yang berjarak 400 kilo meter dari Banda Aceh, kemudahan berinvestasi justru menjadi barang langka.

Hal itulah yang dirasakan oleh Echa Putri Nesia. Gadis 24 tahun yang tinggal di kota kecil tersebut sejatinya telah lama menggeluti dunia investasi. Sejak masih berstatus mahasiswa di Universitas Syiah Kuala, Echa sudah menjajal deposito. Namun, bunga yang relatif kecil membuatnya tertarik menjajal instrumen investasi lain yang menawarkan return lebih tinggi, reksa dana.

Beberapa hari lalu, Echa lantas mendatangi kantor cabang Bank Mandiri yang terdapat di Kota Langsa untuk membeli reksa dana. Tapi apa daya, niatan tersebut menemui jalan buntu. Kepada Echa, customer service bank pelat merah tersebut menjelaskan bahwa mereka belum melayani pembelian reksa dana. “Katanya mereka enggak pernah melayani nasabah yang mau beli reksa dana sebelumnya. Mereka menyarankan untuk langsung ke Medan,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (1/1).

Apa yang dialami oleh Echa menggambarkan ketimpangan infrastruktur dan informasi instrumen investasi di kota besar dengan daerah. Bahkan menurut Echa, untuk meminta informasi tentang reksa dana di bank tersebut juga tak membuahkan hasil.

Tak hilang akal, perempuan yang baru menjadi sarjana ini lantas menghubungi rekan sejawatnya yang bekerja di sektor perbankan. Hasilnya pun mengecewakan. Tak banyak informasi soal reksa dana yang bisa dikoreknya dari rekan-rekannya tersebut. “Bahkan orang bank sendiri banyak yang belum ngerti soal reksa dana,” tambahnya.

Bagi Echa, pergi ke Medan untuk membeli reksa dana bukan persoalan yang mudah. Untuk menuju ke ibukota Sumatra Utara tersebut membutuhkan waktu sekitar 3 jam. Ini tentu menjadi hal yang tidak mengenakkan bagi orang sepertinya.

Echa bisa jadi bukan satu-satunya calon investor yang kesulitan mengakses instrumen investasi. Di Indonesia, ada banyak sekali Echa-Echa lainnya yang mengalami nasib serupa. Ingin berinvestasi, tapi apa daya infrastruktur di kota tempat tinggalnya  belum memadai.

Beberapa manajer investasi memang sudah memberikan solusi berupa reksa dana yang bisa diakses secara online. PT Indo Premier Securities misalnya, telah meluncurkan portal supermarket reksa dana bagi para pelanggan. Platform yang diberi nama Ipot Fund ini merupakan kumpulan produk-produk reksa dana dari beragam MI yang bisa dibeli lewat transaksi di dunia maya.

Namun, bagi investor pemula seperti Echa, platform online semacam ini belum bisa menjadi solusi. “Informasi soal reksa dana yang biasa saja sulit didapat. Apalagi yang online. Rasanya masih belum percaya,” katanya.

Otoritas Jasa Keuangan selaku wasit di industri ini memang bukan tanpa upaya. Sejak beberapa waktu lalu, wacana untuk memperluas jaringan agen penjual reksa dana telah mengemuka. Rencananya, selain perbankan, produk investasi yang tengah naik daun ini juga akan dijajakan oleh perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan multifinance, pegadaian, dan PT Pos Indonesia.

Pada 29 Desember 2014 lalu, rencana tersebut akhirnya terealisasi. Melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 39/POJK.04/2014 tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana, distribusi reksa dana diperluas.

Direktur Direktorat Pengelolaan Investasi OJK Fahri Hilmi mengatakan aturan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah nasabah. Dia mengakui, selama ini calon investor reksa dana memang terbatas karena hanya mengandalkan manajer investasi dan perbankan. Padahal, tidak banyak MI yang membuka cabang di luar Jakarta.
“Ini merupakan upaya kami untuk meningkatkan pendalaman pasar,” katanya, Selasa (30/12).

Dengan membuka kesempatan bagi perusahaan asuransi, multifinance, dan PT Pos Indonesia untuk menjual reksa dana, OJK berharap bisa menjaring calon investor yang tidak terjangkau MI maupun perbankan. Ini tentu menjadi angin segar bagi orang-orang seperti Echa.

Menilik data OJK, tingkat kepercayaan investor terhadap industri reksa dana sebenarnya semakin meningkat. Ini terlihat dari jumlah unit penyertaan yang terus menunjukkan perkembangan positif. Pada Januari 2014, jumlah unit penyertaan yang beredar sebanyak 120,64 miliar yang kemudian membengkak 18,70% menjadi 143,20 miliar pada 24 Desember 2014.

Sementara itu, dari sisi jumlah reksa dana, sampai 29 Desember 2014 mencapai 890 produk, di mana 202 diantaranya aktif sepanjang tahun ini. Keseluruhan reksa dana tersebut dikelola oleh 77 manajer investasi melalui 17 bank kustodian.

Menanggapi aturan baru tersebut, Wakil Ketua Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) Prihatmo Hari Mulyanto mengatakan langkah OJK ini akan membawa dampak positif bagi industri terutama untuk menmbah jumlah investor.

“Semakin banyak institusi yang menyuarakan reksa dana akan semakin bagus untuk meningkatkan product awareness yang saat ini masih rendah,” katanya melalui pesan singkat kepada Bisnis, Selasa (30/12).

Kendati demikian, Prihatmo yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Danareksa Investment Management ini meminta OJK untuk mempertahankan prinsip kehati-hatian untuk semua institusi penjual reksa dana.

Kendati menjadi angin segar bagi calon investor potensial di seantero negeri, aturan ini patut diperhatikan lebih lanjut. Apakah perusahaan asuransi dan multifinance tertarik menjajakan reksa dana? Bagaimana juga menerapkan prinsip kehati-hatiannya? Di balik itu, Echa-Echa lainnya di Indonesia bisa sedikit bernafas lega. Jika kantor pos saja sudah bisa menjual reksa dana, sekelas Bank Mandiri di kota kecil seharusnya jauh lebih agresif.

0 komentar:

Posting Komentar